Cerpen satire politik – fiksi reflektif atas fenomena kekuasaan dan korupsi.
Oleh Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com-Opini | Malam itu, rumah dinas Gubernur di pojok utara republik ini mendadak berubah menjadi arena gladiator. Suara pintu dibanting lebih nyaring dari pidato kenegaraan. Di tengah kemewahan marmer Italia dan lukisan Napoleon bonceng tuyul, berdirilah Kayangan Mulyono, istri sang gubernur, dengan mata membara seperti meteor gagal orbit.
“Mas Rob-Byyyy!!! Kau ini gubernur atau bos mafia infrastruktur?! Lima anak buahmu ditangkap KPK! Si Badai! Si Angin! Si Petir! Si Tornado! Bahkan Petir dua kali! Apa Itu Semacam Boyband Baru?!”
Robby Maspion, gubernur dengan dahi licin seperti aspal tol hasil mark-up, masih duduk santai di sofa berbulu yak Mongolia. Ia menyisipkan kopi luwak hasil musyawarah mufakat dengan oligarki, lalu menghela napas panjang seolah mau menjelaskan rumus relativitas hukum di Indonesia.
“Sayang, tenanglah. Ini negara hukum, bukan negara murahan. Semua bisa diatur. Aku bukan sembarang Robby. Aku Robby Maspion! Menantu tokoh bangsa. Kader utama partai penguasa. Sahabat sekamar Ketua KPK waktu diklat praja!”
“Justru itu masalahnya!” teriak Kayangan, tangisnya sudah seperti opera sabun Korea yang ditulis oleh Machiavelli. “Mereka akan seret kamu juga! Nama keluargaku akan jadi lelucon nasional! Aku cucu Pahlawan Reformasi, sepupu paman Ketua Mahkamah, mantan Duta Kode Etik! Kamu mau rusak semua itu demi main proyek jalan?!”
Robby tertawa. Tertawa seperti gajah yang disuntik morfin.
“Sayang, kamu terlalu polos. Lembaga-lembaga itu… itu hanya hutan, dan kita adalah pemburu bersenjata. Yang penting bukan benar atau salah. Yang penting: siapa yang pegang remote kontrol!”
Kayangan terdiam. Bukan karena sepakat, tapi karena sedang menahan keinginan melempar piring royal bone China ke kepala suaminya.
Di televisi, berita terus menggaungkan nama-nama konyol. “Hari ini KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus pembangunan jalan fiktif sepanjang 42 kilometer. Jalan yang dimaksud diketahui hanya sepanjang 8 meter dan digunakan sebagai tempat parkir truk es krim.”
Anak-anak mereka di lantai atas mulai bertanya: “Bunda, apa Papa bakal masuk tipi kayak Om Petir?”
“Tidak, sayang,” jawab Kayangan, “Papa itu bukan masuk tipi. Dia bikin isi tipi.”
Malam makin larut, tapi debat suami-istri terus menggelora. Suasana seakan mencairkan keramik elit dari Turki. Robby bangkit dari sofa dan berjalan angkuh seperti ingin jadi presiden warteg.
“Kamu tahu apa itu hukum?” katanya penuh falsafah palsu, “Hukum adalah seperti donat. Yang penting adalah lubangnya. Lubang itu yang kita isi. Aku punya banyak tepung dan gula.”
“Rob,” bisik Kayangan getir, “Aku lebih takut pada kejujuran dari pada vonis. Karena kalau jujur, kita harus mengakui kita ini sampah.”
Robby diam. Sekejap, keheningan seperti doa palsu melanda ruang tamu.
Namun sebelum drama ini tamat, suara dari televisi membuyarkan segalanya:
“Breaking News: KPK Telah Kantongi Bukti Aliran Dana ke Pejabat Tertinggi Daerah, Termasuk Gubernur R.M.”
Mata Kayangan membelalak. Robby menatap layar dengan ekspresi beku seperti nugget tenggelam di freezer.
“R.M. itu siapa, Robby?!”
Robby tak menjawab. Ia hanya menggenggam ponselnya, menelepon seseorang.
“Halo… Bang Hukum? Siapkan pasal tafsir level dewa. Kita mulai operasi ‘Suci Mendadak’.”
Tapi malam itu, langit Medan Merdeka Barat menangis dengan hujan keras. Petir menyambar. Entah Petir yang tersangka, atau petir sungguhan.
Di atas sana, Tuhan tersenyum getir, “Lihatlah anak-anakku… Mereka lebih takut pada penjara dari pada pada neraka.”
Disclaimer: Ini hanya fiksi, tidak ada di dunia nyata. Bila ada kesamaan nama, itu teman ngopi saya, wak!
#camanewak