Mudanews.com – Opini | Dalam sunyi rimba dan bukit berundak, sejarah bergema pelan –antara kekuasaan dan pengampunan, antara jalan-jalan baru dan luka lama yang tak sembuh sempurna. Pasaman Barat bukan sekadar wilayah administratif di ujung barat Sumatera Barat. Ia adalah mosaik sejarah yang memuat jejak kekuasaan, pengasingan, dan pembangunan.
Di masa orde baru, Presiden Soeharto menanamkan pengaruhnya melalui militer, rekonsiliasi terbatas, dan pembangunan yang berpacu melawan waktu dan keterpencilan. Hal ini menjadi cermin –untuk kita renungkan bersama, bahwa stabilitas tanpa keadilan adalah duri, dan pembebasan– selalu dimulai dari keberanian kecil.
Artikel ini membongkar kisah di balik tatanan orde baru, menegaskan jejak kekuasaan Presiden Soeharto bukan hanya di pusat, tapi dirasakan –dengan cara yang paling personal– di pelosok Pasaman Barat, di mana rakyat menatap mata kekuasaan dan menolak dipaksa bungkam.
Bayang Militer di Tapal Batas
Di lembah Pasaman Barat yang hijau dan lembap, bergema langkah-langkah tentara –seakan bayang-bayang berkelindan di pepohonan. Pasaman Barat menjadi pangkalan militer yang strategis, menjadikan Kodam 17 Agustus sebagai alat pengendali sosial politik.
Bayang Kodam 17 Agustus bukan sekadar bangunan dan seragam, namun semacam rezim yang menembus batas ruang publik –membisik, mengawasi, mencengkram– untuk melanggengkan stabilitas ala orde baru.
Kodam 17 Agustus bukan hanya pasukan, ia adalah pesan kekuasaan yang ditulis dengan barak, pos penjagaan, dan parade baret hijau. Kodam 17 Agustus –yang merupakan bagian dari sistem komando teritorial TNI AD di Sumatera Barat– memiliki peran strategis di Pasaman Barat. Wilayah ini berbatasan langsung dengan provinsi tetangga dan berada di kawasan yang dahulu dianggap “Merah” karena sejarah pemberontakan.
Kodam 17 Agustus menjadi ujung tombak keamanan dan pengawasan, terutama dalam menghadapi sisa-sisa perlawanan ideologi dan gerakan separatis. Barak-barak kecil, pos pengamanan, dan kegiatan sosial militer mulai menjamur, terutama di wilayah seperti Talu, Simpang Empat, dan Gunung Talamau, Ofir dan Pasaman.
Keberadaan Kodam 17 Agustus juga membawa dampak pembangunan, jalan-jalan logistik dibuka, komunikasi dimajukan, dan kehadiran militer menjadi semacam penyeimbang kekuasaan pusat di daerah yang dahulu liar dan jauh dari Jakarta.
Hal ini merupakan strategi pengawasan dan pembinaan terhadap Tahanan Politik Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sebagai bentuk dari rekonsiliasi setengah jalan. Mereka yang dahulu dibuang, kini hidup dalam senyap, di ladang dan sawah, mereka menggali bukan hanya tanah, tetapi juga harga diri yang pernah dirampas.
Pasaman Barat, terutama daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, menjadi tempat pembinaan dan penempatan mantan tahanan politik dari dua poros sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Mereka ditempatkan dalam skema pembinaan di bawah pengawasan militer. Tidak semua dalam status tahanan resmi –banyak yang telah dibebaskan, tetapi tetap diawasi dan dikondisikan dalam program-program transmigrasi, kerja sosial, hingga perkebunan.
Di antara mereka ada yang menjadi guru, petani, buruh sawit –berjuang merebut kembali martabat di tengah stigma. Program pembinaan ini dibungkus dengan narasi pembangunan nasional dan stabilitas. Namun di baliknya, ada luka batin yang mengendap panjang. Negara memberiku tanah, tapi mencabut namaku dari sejarah –itulah sebuah catatan dari eks PRRI yang hidup di Nagari Batahan, di era 1980-an.
Membuka Isolasi Sebagai Jalan Pembebasan
Pasaman Barat, dulu hanya hutan dan tebing curam, kini terbuka jalan –tempat roda-roda negara berpacu dengan waktu. Presiden Soeharto memahami bahwa stabilitas tak akan tumbuh di tempat yang terisolasi. Maka dibukalah jalan, jembatan, dan arus informasi.
Jalan-jalan utama, Simpang Empat – Air Bangis, Talu – Bonjol, Kinali – Silaping – Batahan adalah jalan-jalan yang membelah rimba, meruntuhkan isolasi, dan membuka akses transportasi, ekonomi, dan kontrol militer. Pembangunan jalan bukan hanya proyek fisik, melainkan strategi politik, mendekatkan pusat ke pinggiran, menancapkan cakar negara ke daerah.
Bersamaan dengan itu, dibangun juga pos transmigrasi, sekolah, kantor camat, dan jaringan komunikasi radio. Pasaman Barat mulai terbentuk sebagai wilayah yang “tersambung” ke Sumatera Barat, dan lebih jauh lagi, ke Jakarta.
Tetapi tetap dalam catatan bahwa, kala pembangunan megah berpijak di tanah ini, tertulislah luka yang tak hilang dipotret waktu —rakyat kehilangan ruang suaranya, hanya suara senapan merebut panggung utama. Rezim menetapkan zona militer sebagai area bebas kritik, menjadi mantra yang membungkam mulut, bukan hanya di penjara sempit, tapi di setiap sudut desa —pasar, mesjid, balai, menjadi saksi bisu. Pengasingan bukan selalu jarak, kadang ia adalah ruang yang diserbu tanpa disadari —dimensi baru kekuasaan bergerak halus, menggerogoti asa lewat ketakutan terpola.
Meski luka mendalam, akar asa tetap tembus retakan —melalui gerakan lokal, forum rakyat terbentuk sunyi, di sela kerlip mata aparat, aspirasi menyusun jaringan pembebasan. Agenda pembebasan dilancarkan lewat forum-forum rakyat, meski terus diawasi ketat, yang menegaskan bahwa pembebasan adalah karya bersama, dilakukan di belakang layar, lewat suara-suara kecil, keberanian tanpa sorotan. Setiap pertemuan, setiap diskusi, adalah pijakan batu pertama menuju tatanan baru —kita torehkan sejarah bukan dengan senjata, tapi dengan percakapan dan kesadaran bersama.
Terbukanya isolasi di satu sisi membuka jalan pula bagi suatu pembebasan, bahkan sebelum orde baru berakhir dan runtuh, kontrol militer di Pasaman Barat telah mulai luruh dengan dibubarkannya Kodam 17 Agustus di Sumatera Barat.
Kisah ini menjadi tapak sejarah bahwa di lereng Gunung Talamau, Ofir Pasaman, kopi dan padi tumbuh bersama rintihan pasrah, bayang tentara menari di sela daun, menyisakan luka sejarah yang tak pernah memudar. Namun tiap bait aspirasi yang terdengar —disebut selatan kesejukan— adalah jembatan pembebasan bagi rindunya rakyat akan merdeka.
Luka ini, kita rayakan bukan untuk membenci, tapi untuk mengingat siapa dirimu di masa lalu. Bayang Kodam 17 Agustus dan Jejak Kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat kita ingat bukan untuk takut, bukan untuk menyusun kekuatan dan pemberontakan tetapi agar kita waspada setiap saat dan setiap waktu pada kekuasaan yang sentralistik dan represif.
Penutup
Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat diantara pengawasan dan pembebasan tak selalu berupa prasasti atau patung. Kadang, ia berupa jalan sunyi, rumah kayu bekas tahanan, atau pos TNI yang diam-diam mengawasi ladang.
Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat bukan hanya pembangunan infrastruktur atau transmigrasi, tapi juga pengendalian atas narasi sejarah. Mereka yang pernah menentang negara dibina dalam diam, dipelihara agar tidak lagi menyulut api lama. Sementara militer menjadi pelindung sekaligus penjaga garis batas ideologis.
Namun, di tengah pengawasan dan proyek pembangunan itu, masyarakat lokal pun bangkit. Mereka memanfaatkan peluang, menanam sawit, membuka toko, menyekolahkan anak-anaknya. Di tengah kekuasaan yang kuat dan tertutup, tumbuh juga semangat untuk hidup. Pasaman Barat adalah catatan kaki dari sejarah besar orde baru —terlupakan dari pusat, tapi menjadi panggung bagi banyak kisah yang tak pernah ditulis penuh. [WT, 28/6/2025].**[]
Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS. Akademisi dan Praktisi Kebijakan Publik, Founder CIA dan LEADER Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri.