Oleh: Andrea Salsalova, Mahasiswa S2 Pendidikan Sejarah UNS Surakarta
Mudanews.com OPINI – Budaya akademik adalah fondasi utama dalam membangun peradaban intelektual suatu bangsa. Ia bukan sekadar ritual ilmiah dalam seminar atau publikasi jurnal, melainkan seperangkat nilai, etika, dan perilaku yang mengatur seluruh aktivitas sivitas akademika. Di Indonesia, budaya akademik idealnya menjadi pilar utama dalam mewujudkan cita-cita pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam tri dharma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa budaya akademik Indonesia menghadapi tantangan serius. Salah satu tantangan terbesar adalah menguatnya hierarki dan budaya senioritas di lingkungan kampus. Dalam banyak kasus, relasi kuasa ini membungkam kebebasan akademik yang seharusnya menjadi jiwa dari universitas. Dosen muda dan mahasiswa kerap enggan menyampaikan pandangan kritis karena takut dianggap “melawan arus.” Padahal, sebagaimana ditegaskan Darmaningtyas (2004), kebebasan akademik merupakan hak fundamental setiap insan akademik untuk mengemukakan pendapat secara ilmiah selama masih dalam batas etika dan logika.
Di sisi lain, integritas akademik kini berada dalam ancaman serius akibat maraknya plagiarisme. Plagiarisme bukan hanya sekadar menyalin karya orang lain tanpa mencantumkan sumber; ia mencerminkan kemalasan berpikir, hilangnya kejujuran ilmiah, serta lemahnya budaya intelektual dalam pendidikan tinggi. Sayangnya, praktik ini tidak hanya marak, tetapi juga sering dianggap lumrah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa, tetapi juga menjangkiti sebagian dosen yang tergoda mengambil jalan pintas demi memenuhi tuntutan administratif seperti angka kredit atau kewajiban publikasi.
Tekanan untuk memenuhi target publikasi yang sering kali hanya berorientasi kuantitas turut memperparah situasi. Sistem penilaian yang menekankan jumlah publikasi mendorong munculnya praktik tidak etis, seperti menerbitkan karya di jurnal predator, manipulasi data, hingga jual-beli artikel. Tilaar (2009) mengingatkan bahwa tanpa etika, aktivitas akademik hanya akan menjadi kegiatan tanpa moral, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan etika ilmiah di kampus. Plagiarisme kerap tidak ditindak secara serius, sehingga menimbulkan kesan permisif dan bahkan menjadi budaya diam. Ketika pelanggaran dibiarkan, kualitas lulusan menjadi taruhan. Kita bisa saja mencetak sarjana-sarjana hebat di atas kertas, tetapi rapuh dalam integritas dan tidak siap menghadapi tantangan dunia nyata.
Maka dari itu, upaya penanggulangan plagiarisme dan pembenahan budaya akademik harus dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan :Â
Pertama, setiap perguruan tinggi perlu memasukkan pelatihan anti-plagiarisme secara wajib di awal masa studi. Mahasiswa harus dibekali pemahaman mendalam tentang pentingnya kejujuran ilmiah, teknik parafrase, penggunaan kutipan yang tepat, dan penulisan daftar pustaka yang sesuai standar.
Kedua, pemanfaatan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme seperti Turnitin, iThenticate, atau Grammarly harus dimaksimalkan dan tidak sekadar sebagai formalitas administratif.
Ketiga, sistem evaluasi akademik perlu menitikberatkan pada proses, bukan semata produk akhir. Dosen harus memberikan penilaian secara bertahap terhadap logika berpikir, konsistensi argumen, dan orisinalitas ide, bukan hanya hasil final.
Meski tantangannya besar, harapan tetaplah ada. Pertumbuhan publikasi ilmiah Indonesia yang meningkat 15% per tahun sejak 2019 (Kemenristekdikti, 2024). Hal tersebut menunjukkan geliat positif. Kebebasan akademik dan otonomi kampus mulai dipahami sebagai kebutuhan mendasar, bukan sekadar slogan. Inisiatif seperti pelatihan anti-plagiarisme, perbaikan sistem rekrutmen, serta penguatan forum diskusi ilmiah merupakan langkah konstruktif yang patut terus digalakkan.
Budaya akademik yang sehat tidak bisa dibentuk secara instan. Ia harus dirawat melalui etos kejujuran, keberanian berpikir kritis, serta semangat kolaboratif antargenerasi. Mahasiswa dan dosen harus saling menginspirasi, bukan saling mengintimidasi. Pendidikan tinggi bukan semata soal mengumpulkan IPK atau publikasi, tetapi tentang membentuk karakter dan nalar dalam berpikir kritis.