Kedaulatan dan Ketahanan Nasional di Era Perang Dagang AS-China : Membangun Identitas Bangsa yang Mandiri

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Siska Dwi Purwanti Mahasiswa S2 Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Mudanews.com OPINI – Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dimulai sejak 2018 bukan hanya berdampak pada dua negara adidaya tersebut, tetapi juga memengaruhi ekonomi global, termasuk Indonesia. Meski narasi “perang dagang” kini telah beralih bentuk menjadi perang teknologi dan dominasi geopolitik, intensitas ketegangan ekonomi tetap tinggi dan menciptakan tantangan serius terhadap ketahanan nasional Indonesia, baik di sektor ekonomi, teknologi, maupun identitas bangsa.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan posisi strategis di Asia Tenggara, menghadapi dilema tersendiri. Di satu sisi, kita menjalin hubungan ekonomi yang erat dengan Tiongkok, yang pada 2024 menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan total perdagangan bilateral mencapai $147,8 miliar, meningkat 6,1 persen dari tahun ke tahun (Yin Yeping, 2025). Di sisi lain, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar ekspor utama kita, terutama untuk komoditas seperti tekstil, kayu, kopi, karet, dan elektronik. Ketergantungan ini menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap gejolak eksternal. Hal seperti inilah, yang harus diwaspadai oleh negara kita agar tidak ikut terseret dalam pusaran perang dagang tersebut.

Jika dilihat dari ketahanan nasional dalam konteks globalisasi tidak lagi cukup hanya mengandalkan kekuatan militer. Ia kini menuntut penguatan ekonomi domestik, penguasaan teknologi, dan kemandirian dalam rantai pasok global. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam sektor industri, di mana 60% bahan baku industri manufaktur masih diimpor, sebagian besar dari Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam penyediaan bahan baku untuk sektor industrinya. Sebagai contoh, dalam krisis semikonduktor global, industri otomotif dan elektronik dalam negeri mengalami gangguan serius karena minimnya suplai dari luar negeri. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya ketahanan teknologi kita. Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan program substitusi impor melalui Making Indonesia 4.0, namun realisasinya masih jauh dari harapan. Kendala utama yang dijumpai dalam mengimplementasikan Making Indonesia 4.0 dapat dilihat dari kurangnya infrastruktur digital yang memadai, kurangnya keterampilan tenaga kerja terkait teknologi, masalah pendanaan, regulasi yang tumpang tindih, serta kesenjangan digital antar daerah.
Selain itu, perang dagang AS-China juga berdampak pada harga komoditas strategis seperti nikel dan batubara, yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Ketika Tiongkok menurunkan permintaan atau AS mengenakan tarif tinggi pada produk turunan logam, Indonesia harus menghadapi ketidakpastian pendapatan negara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa nilai ekspor Indonesia turun 11,33% dibandingkan tahun sebelumnya karena tekanan global (BPS, 2024). Di tengah kondisi ini, urgensi membangun identitas bangsa yang mandiri menjadi sangat penting. Kemandirian tidak hanya berarti berdiri sendiri secara ekonomi, tetapi juga berani menentukan arah pembangunan, teknologi, dan pendidikan sesuai dengan kebutuhan nasional, bukan semata-mata mengikuti agenda global. Dalam konteks ini, pendidikan karakter dan nasionalisme modern menjadi fondasi penting. Dengan adanya kekuatan dalam karakter sumber daya manusia maka, Indonesia akan menjadi negara digdaya dari segi SDA dan SDM.

Disisi lain, Indonesia juga perlu memperkuat diplomasi ekonomi dan memainkan peran sebagai penyeimbang di tengah rivalitas dua kutub kekuatan dunia. Sebagai anggota G20 dan negara terkuat di ASEAN, Indonesia memiliki ruang untuk mempromosikan agenda pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada negara berkembang, termasuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan (Global South). Salah satu upaya nyata adalah dorongan hilirisasi industri. Pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel mentah demi meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Meski menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO, kebijakan ini menunjukkan bahwa Indonesia mulai berani bersikap. Namun, kebijakan ini harus dibarengi dengan peningkatan teknologi, pelatihan tenaga kerja, dan iklim investasi yang stabil agar tidak sekadar menjadi wacana. Karena, setiap langkah strategi internasional harus didasarkan pada kepentingan nasional dan dikoordinasikan untuk mencapai dan menjaga apa yang diklasifikasikan atau ditetapkan sebagai kepentingan nasional. Jika dilihat dalam masalah ini, Indonesia sebagai sebuah negara mengambil sebuah kebijakan mengenai pelarangan ekspor nikel yang tentunya didasari atas kepentingan nasional yang dimiliki Indonesia (Juliastica & Akim, 2023).

Dalam sektor pertanian dan pangan, ketahanan nasional masih lemah. Ketergantungan ini rentan mengganggu kestabilan nasional bila terjadi krisis pangan global. Oleh karena itu, reformasi sistem pertanian berbasis teknologi dan efisiensi harus menjadi prioritas utama dalam visi kemandirian bangsa.Ketahanan energi pun harus menjadi perhatian. Indonesia saat ini masih mengimpor sekitar 35% kebutuhan BBM dari luar negeri. Transisi energi dari fosil ke energi terbarukan menjadi langkah strategis yang bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga memperkuat kedaulatan energi. Sayangnya, investasi dan infrastruktur energi hijau masih terbatas dan memerlukan komitmen politik yang lebih kuat. Selain investasi dan komitmen politik, tantangan lain termasuk ketersediaan energi hijau itu sendiri. Banyak perusahaan multinasional yang ingin menggunakan energi hijau dalam rantai pasokan mereka, namun ketersediaan energi terbarukan di Indonesia masih terbatas. Hal ini membuat perusahaan hijau enggan berinvestasi karena tidak ada jaminan bahwa energi yang mereka gunakan akan bersih.

Dalam dunia digital, dominasi perusahaan teknologi asing dari AS dan Tiongkok juga menjadi tantangan tersendiri. Penggunaan aplikasi dan platform digital yang tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah menyisakan persoalan data, keamanan siber, dan kedaulatan informasi. Indonesia perlu membangun ekosistem digital yang kuat, aman, dan berpihak pada kepentingan nasional. Kesadaran akan pentingnya identitas bangsa di tengah perang dagang global bukanlah retorika semata. Ia harus diwujudkan melalui kebijakan yang konkret, lintas sektoral, dan partisipatif. Pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil harus bersama-sama membangun kemandirian nasional yang berbasis pada keunggulan lokal dan nilai-nilai kebangsaan.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak boleh menjadi korban dari pertarungan dua raksasa ekonomi dunia. Kita harus mampu menciptakan jalur pembangunan sendiri yang berdaulat, inklusif, dan berkelanjutan. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat menjaga ketahanan nasional sekaligus membangun identitas bangsa yang kuat di panggung global. Akhirnya, ketahanan nasional bukan hanya soal pertahanan fisik, melainkan juga kemampuan untuk berdiri tegak menghadapi arus globalisasi, mempertahankan prinsip, dan menjaga masa depan anak bangsa. Di era perang dagang dan kompetisi geopolitik ini, saatnya Indonesia bangkit menjadi bangsa yang mandiri, percaya diri, dan berdaulat dalam segala aspek kehidupan.

Berita Terkini