Mudanews.com-Opini | “Tak semua jejak kekuasaan tercetak di prasasti. Sebagian tertinggal di tanah yang basah darah, di malam-malam tanpa bulan, dan di doa-doa kuno yang tak lagi dipahami orang kota.” Pasaman Barat, tanah di ujung barat ranah Minang, menyimpan lebih dari sekadar sawit dan sungai.
Di balik rindangnya pohon-pohon karet dan kabut pagi dari kaki Gunung Talamau, Ofir dan Pasaman, pernah terjadi gelombang sejarah yang tak tertulis dalam buku pelajaran. Ketika kekuasaan orde baru datang dengan bayang militer dan pembangunan, tanah ini tak sepenuhnya tunduk. Ia memberontak secara diam, melalui suku, darah, mistik, dan mantra.
Pasaman Barat di Awal Orde Baru
Pasaman Barat di awal orde baru adalah jejak-jejak harapan di lembah Minang. “Di setiap jengkal tanah yang dibelah, terbitlah harapan, di setiap langkah pembangunan, tertanam mimpi.” Ketika Orde Baru bersemi, mentari baru mulai menyingsing di ufuk Indonesia. Presiden Soeharto, sang pengawal stabilitas, membuka lembaran baru bagi bangsa ini, termasuk di pelosok Sumatera Barat, khususnya Pasaman Barat —sebuah wilayah yang kaya akan budaya Minangkabau dan alam yang menawan.
Pasaman Barat di awal orde baru dapat dicatat beberapa hal mendasar diantaranya: Pertama, Awal orde baru pemerintah menjamin stabilitas dan janji pembangunan. Pasaman Barat di awal kekuasaan orde baru menghadapi tantangan klasik daerah-daerah pinggiran, seperti keterbatasan infrastruktur, akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang belum merata. Namun, di bawah bayang-bayang kebijakan sentralisasi dan pembangunan terpadu, daerah ini mulai berdenyut dengan geliat pembangunan. Pembangunan bukan sekadar fisik yang berdiri,
tapi roh sebuah bangsa yang kembali hidup.
Pemerintah Orde Baru memprioritaskan pembangunan fisik sebagai simbol kemajuan. Jalan-jalan penghubung antar kecamatan mulai dibuka, menyambungkan kampung-kampung yang dahulu terasa terisolasi. Jembatan dan irigasi dibangun demi menghidupkan ekonomi pertanian yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Kedua, Membangun infrastruktur jalan membelah lembah. Jalan-jalan setapak berubah menjadi jalur aspal yang mengukir masa depan. Di Pasaman Barat, proyek pembangunan jalan menghubungkan ibu kota kabupaten dengan daerah-daerah terpencil. Dengan kata lain, infrastruktur menjadi nadi baru, mengalirkan darah kehidupan dan ekonomi ke seluruh penjuru. Jalan-jalan berliku menjadi nadi harapan, menyambung tangan-tangan yang dulu terpisah.
Ketiga, hadirnya pendidikan dan kesehatan sebagai pilar pembangunan manusia. Di tengah deru pembangunan fisik, Orde Baru juga menaruh perhatian pada pembangunan manusia. Sekolah-sekolah dasar dan menengah didirikan dengan semangat membuka pintu ilmu bagi anak-anak Pasaman Barat. Pos kesehatan desa dan puskesmas berdiri, menyentuh kehidupan masyarakat yang lama merindukan layanan kesehatan. Ilmu bagaikan sungai yang mengalir, menumbuhkan ladang-ladang harapan di benak generasi.
Keempat, Tumbuhnya perekonomian lokal melalui pertanian dan perkebunan. Pasaman Barat dikenal dengan potensi agrarisnya. Program transmigrasi dan peningkatan produksi hasil pertanian didorong agar memberi dampak nyata pada kesejahteraan. Sistem irigasi yang dibangun mengairi sawah dan ladang, meningkatkan hasil panen dan menggugah semangat petani. Sawah menguning, ladang bermekaran, tangan-tangan petani menari di pangkuan tanah.
Kelima, Orde baru membangun citra di Pasaman Barat, diantara harapan dan realita. Walau janji pembangunan terpatri di tiap sudut tanah Pasaman Barat, tak jarang juga persoalan muncul. Keterbatasan sumber daya, birokrasi yang kaku, dan dominasi sentralisasi menjadi tantangan tersendiri. Namun, warga Pasaman Barat tetap menaruh harapan pada masa depan yang cerah. Di balik awan kelabu, mentari tetap menyinari, langkah kecil menuju kemajuan tak pernah berhenti.
Pembangunan di Pasaman Barat pada awal kekuasaan orde baru adalah cerita tentang upaya menganyam masa depan di tengah keterbatasan. Jalan, sekolah, sawah, dan Puskesmas bukan sekadar bangunan, mereka adalah simbol harapan dan nyanyian kemajuan. Di tanah Minang yang kaya budaya dan sejarah, semangat itu tetap hidup, mengalir dalam darah dan jiwa masyarakatnya. Bila pembangunan adalah sajak yang ditulis oleh waktu, Pasaman Barat adalah bait indah di dalamnya.
Bara di Balik Pembangunan
Beberapa catatan yang menggembirakan berkaitan dengan Pasaman Barat di awal orde baru, tetapi tetap menyisakan bara di balik pembangunan untuk melihat jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat.
Pertama, Terjadi konflik sosial dan perang antar suku. “Kami tidak hanya membangun jalan dan sekolah. Kami membangun Benteng dari prasangka dan pagar dari darah yang mengering.” Di era Presiden Soeharto, terutama dekade 1970–1980-an, berbagai kelompok suku di Pasaman Barat —baik Minangkabau, Mandailing, Jawa transmigran, Batak, hingga komunitas lokal seperti Aek Gadang— terjebak dalam pusaran konflik laten. Program transmigrasi dan pembukaan hutan seringkali menggeser batas adat, memperuncing sengketa tanah, dan memicu bentrok.
Ketika tanah ulayat diklaim negara untuk perkebunan atau proyek negara, api kecil pun menyala. Di belakang ladang sawit, kadang terdengar isak ibu yang kehilangan anak dalam tawuran antar kampung. Kadang perang tidak dengan senjata api, tapi dengan parang, panah, atau bahkan racun dari akar-akar yang tak dikenal. “Kami berperang diam-diam, dalam gelap dan dengan cara yang tidak diajarkan di sekolah.” —Ucap seorang tetua suku di Gunung Tuleh.
Kedua, Perebutan sumber daya, hutan, emas, dan tanah yang berdarah. “Hutan bukan hanya pohon dan tanah. Ia adalah ibu, warisan, dan kadang menjadi medan perang tak bersuara.” Presiden Soeharto membuka Pasaman Barat untuk investasi. Perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan izin tambang diberikan ke perusahaan yang dekat dengan elite kekuasaan. Namun, rakyat lokal, terutama kaum adat dan petani, merasa tanah mereka dirampas secara halus.
Konflik tanah meletus. Hutan yang dulu jadi tempat berburu dan mencari kayu kini dipagari, dijaga aparat, dan dibuldoser menjadi jalan logging. Lahan sawit dibuka, sungai berubah warna, dan sungai-sungai kecil mengering. Di saat itulah, perang yang tak terlihat mulai terjadi.
Ketiga, Terjadi pertarungan para jawara, dari silat ke santet. “Ketika hukum tak berpihak, maka tangan-tangan sakti mulai bicara.” Di saat negara memperkuat sistem dengan tentara dan polisi, masyarakat tradisional masih mempercayakan urusan kehormatan pada para jawara —pesilat, pendekar, dan dukun. Pertarungan tak hanya terjadi di pasar atau jalan setapak, tapi juga dalam ritual malam Jumat, dengan asap kemenyan dan pisau yang direndam dalam racun hutan.
Banyak kisah beredar, seorang kepala kampung tewas mendadak setelah menolak menjual tanah, seorang pejabat transmigrasi lumpuh seketika, bayi meninggal dengan mata membelalak. Semua itu bukan sekadar kebetulan. Dalam bisik-bisik, disebutkan, santet, racun dari akar merawa, dan “isi” dari Gunung Talamau, Ofir dan Pasaman.
Para jawara tak hanya pandai bersilat. Mereka menyimpan mantra dari surau-surau tua, ilmu kebal dari hutan, dan kekuatan dari warisan nenek moyang yang tak tersentuh modernisasi. “Negara datang dengan peluru, kami bertahan dengan doa-doa rahasia dan kemenyan dari puncak rimba.”
Keempat, Kisah spiritual, mistik, penunggu, dan pagar gaib. “Ketika dunia terlalu bengis, orang-orang bersembunyi dalam dunia yang tak kasat mata.” Di Pasaman Barat, spiritualitas adalah jalan hidup, bukan sekadar kepercayaan. Banyak warga percaya bahwa setiap bukit ada penunggunya, setiap pohon tua ada ruhnya. Maka ketika hutan dibuka paksa, terjadi ketidakseimbangan.
Ada kisah pabrik sawit yang tak jadi berdiri karena “diganggu.” Ada desa yang tak kunjung damai karena tempat keramat dibuldoser. Banyak tokoh pembangunan bahkan harus “meminta izin” ke dukun tua sebelum membangun jalan atau jembatan.
Kekuasaan negara tak mampu menembus semua batas itu. Di satu sisi aparat berjaga, di sisi lain jimat dan garam dipasang di tiang rumah. Pemerintah datang dengan proyek, masyarakat menjawab dengan pagangan, pusaka, dan ruwatan.
Penutup
Jejak Kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat adalah kisah tentang negara, darah dan doa. “Presiden Soeharto membangun jalan, kami membangun perlindungan dari dunia lain.”
“Ia memberi listrik, kami menyalakan dupa.” Jejak kekuasaan Presiden Soeharto di Pasaman Barat adalah jejak yang rumit. di permukaannya ada jalan dan irigasi, di dalamnya ada darah dari suku yang berselisih, di sudut-sudut gelapnya ada jawara dan santet, di langit malamnya ada doa-doa panjang yang tak dimengerti Jakarta.
Pasaman Barat bukan hanya daerah yang dibangun. Ia adalah tanah yang bertahan, yang kadang berperang, kadang menyembuhkan diri, dan kadang menunduk hanya kepada kekuatan yang lebih tua dari negara —yakni alam dan ruh-ruh leluhur. “Di bawah jalan aspal dan bendera, tersembunyi mantra, darah, dan sejarah yang tak pernah diresmikan.” [WT, 24/6/2025].
Ditulis Oleh: Wahyu Triono KS. Praktisi Kebijakan Publik, Founder LEADER dan CIA Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.[]