Darah di Balik Bendera: Hipokrasi Amerika dari Genosida Indian Hingga Klaim HAM

Breaking News
- Advertisement -

Oleh Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht

MUDANEWS.COM-OPINI | 𝘈𝘴 𝘢 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥, 𝘐 𝘸𝘢𝘴 𝘤𝘢𝘱𝘵𝘪𝘷𝘢𝘵𝘦𝘥 𝘣𝘺 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘤𝘰𝘸𝘣𝘰𝘺𝘴 𝘪𝘯 𝘞𝘦𝘴𝘵𝘦𝘳𝘯 𝘧𝘪𝘭𝘮𝘴. 𝘛𝘩𝘦𝘺 𝘢𝘱𝘱𝘦𝘢𝘳𝘦𝘥 𝘨𝘢𝘭𝘭𝘢𝘯𝘵 𝘢𝘴𝘵𝘳𝘪𝘥𝘦 𝘵𝘩𝘦𝘪𝘳 𝘩𝘰𝘳𝘴𝘦𝘴, 𝘨𝘭𝘦𝘢𝘮𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘴𝘵𝘰𝘭𝘴 𝘪𝘯 𝘩𝘢𝘯𝘥, 𝘷𝘢𝘯𝘲𝘶𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨 “𝘸𝘪𝘭𝘥 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢𝘯𝘴” 𝘱𝘰𝘳𝘵𝘳𝘢𝘺𝘦𝘥 𝘢𝘴 𝘵𝘩𝘦 𝘳𝘰𝘰𝘵 𝘰𝘧 𝘤𝘩𝘢𝘰𝘴. 𝘜𝘯𝘣𝘦𝘬𝘯𝘰𝘸𝘯𝘴𝘵 𝘵𝘰 𝘮𝘦, 𝘵𝘩𝘦 𝘨𝘳𝘦𝘢𝘵𝘯𝘦𝘴𝘴 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦𝘴 – 𝘯𝘰𝘸 𝘩𝘦𝘳𝘢𝘭𝘥𝘦𝘥 𝘢𝘴 𝘢 𝘣𝘦𝘢𝘤𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘥𝘦𝘮𝘰𝘤𝘳𝘢𝘤𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘩𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴 – 𝘸𝘢𝘴 𝘣𝘶𝘪𝘭𝘵 𝘶𝘱𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘴𝘶𝘧𝘧𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘧 𝘮𝘪𝘭𝘭𝘪𝘰𝘯𝘴. 𝘛𝘩𝘦 𝘣𝘭𝘰𝘰𝘥 𝘰𝘧 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯𝘴, 𝘸𝘩𝘰 𝘩𝘢𝘥 𝘪𝘯𝘩𝘢𝘣𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘦𝘯𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘮𝘪𝘭𝘭𝘦𝘯𝘯𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘧𝘰𝘳𝘦 𝘊𝘰𝘭𝘶𝘮𝘣𝘶𝘴 𝘴𝘵𝘳𝘢𝘺𝘦𝘥 𝘪𝘯𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘢𝘳𝘪𝘣𝘣𝘦𝘢𝘯, 𝘴𝘢𝘵𝘶𝘳𝘢𝘵𝘦𝘴 𝘦𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘴𝘵𝘪𝘵𝘤𝘩 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘵𝘢𝘳-𝘚𝘱𝘢𝘯𝘨𝘭𝘦𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳.

Waktu kecil, aku terpukau oleh koboi-koboi Amerika di film-film Barat. Mereka gagah menunggang kuda, pistol berkilat di tangan, membasmi “orang Indian liar” yang digambarkan sebagai biang kekacauan. Tak kusadari, kebesaran Amerika Serikat yang kini digaungkan sebagai kiblat demokrasi dan HAM itu, dibangun di atas penderitaan jutaan jiwa. Darah penduduk asli Amerika yang telah menghuni benua itu ribuan tahun sebelum Columbus tersesat ke Karibia meresap dalam setiap jahitan bendera bintang-bintang.

Sejarah kelam ini bermula ketika kapal-kapal Eropa merapat di “Dunia Baru”. Dengan nafsu ekspansi dan keangkuhan rasial, orang Spanyol memulai teror.

Di tahun 1513, Juan Ponce de León menginjakkan kaki di Florida, membuka jalan bagi conquistador seperti Hernando de Soto.

Antara 1539–1542, De Soto dan pasukannya meluluhlantakkan desa-desa Indian di Tenggara AS.

Mereka bukan cuma membawa pedang, tapi juga wabah cacar yang disebarkan lewat selimut terkontaminasi.

David Stannard dalam American Holocaust (1992) menegaskan: “Dalam 100 tahun, 90% populasi asli Amerika musnah, sebuah pembasmian yang disengaja melalui senjata biologis dan pembunuhan massal.”

Sementara catatan kelam juga ditorehkan Inggris di belahan dunia lain. Pada 1637, tragedi Pembantaian Mystic menjadi bukti kekejaman kolonial ketika pasukan Inggris beserta sekutu pribuminya membakar permukiman suku Pequot.

Sekitar 700 warga didominasi perempuan, anak-anak, dan lansia yang sedang tidur tewas mengenaskan. Yang menusuk hati, Gubernur Massachusetts justru menetapkan peristiwa ini sebagai hari syukur.

Sejarawan Roxanne Dunbar-Ortiz (An Indigenous Peoples’ History of the United States, 2014) mengungkap ironi kelam ini: ia menyebut ritual Thanksgiving Amerika berakar pada genosida.

Pola kekerasan sistematis makin mengkristal pasca-kemerdekaan AS tahun 1776. Andrew Jackson yang wajahnya terpampang di uang $20—menjadi otoritas kunci di balik kebijakan pemindahan paksa suku asli.

Tahun 1830, Indian Removal Act yang ditandatanganinya menggusur Cherokee, Choctaw, dan lainnya dari tanah leluhur.

Peristiwa “Jejak Air Mata” (𝘛𝘳𝘢𝘪𝘭 𝘰𝘧 𝘛𝘦𝘢𝘳𝘴) mencatat penderitaan 15.000 orang Cherokee yang digiring dari Georgia ke Oklahoma.

Menurut Russell Thornton (American Indian Holocaust and Survival, 1987), sekitar 4.000 jiwa tewas dalam perjalanan akibat kelaparan, penyakit, dan penganiayaan sebuah pemusnahan etnis yang dilembagakan negara.

Kekejaman mencapai puncaknya di wilayah Barat. Tahun 1864, milisi AS pimpinan John Chivington melancarkan penyerbuan mendadak ke perkemahan Cheyenne dan Arapaho di Sand Creek.

Sebanyak 230 jiwa Kembali di bantai, didominasi perempuan dan anak-anak. Ari Kelman (A Misplaced Massacre, 2013) mengungkap kekejian ekstrem: prajurit memutilasi korban untuk diambil sebagai trophi sementara bendera AS berkibar di antara mayat-mayat bergelimpangan.

Puncak tragedi terjadi tahun 1890 di Wounded Knee, ketika tentara AS menembaki 300 anggota suku Lakota yang telah menyerah.

Dee Brown (Bury My Heart at Wounded Knee, 1970) menggambarkan pemandangan suram: jasad-jasad membeku di salju yang diinjak kuda kavaleri sebuah eksekusi massal, bukan pertempuran.

Genosida tak hanya fisik. Amerika melancarkan perang terhadap identitas Indian. Sekolah asimilasi didirikan sejak 1879 dengan motto mengerikan: “Bunuh orang Indian, selamatkan manusianya” (𝘋𝘢𝘷𝘪𝘥 𝘞𝘢𝘭𝘭𝘢𝘤𝘦 𝘈𝘥𝘢𝘮𝘴, 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘧𝘰𝘳 𝘌𝘹𝘵𝘪𝘯𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯, 1995).

Anak-anak dipaksa meninggalkan bahasa, mencukur rambut panjang, dan dilarang berdoa dengan cara leluhur.

Sementara Dawes Act (1887) merampas 90 juta hektar tanah suku yang mereka sebut “individualisasi”, padahal penjajahan lewat hukum (𝘕𝘦𝘥 𝘉𝘭𝘢𝘤𝘬𝘩𝘢𝘸𝘬, 𝘛𝘩𝘦 𝘙𝘦𝘥𝘪𝘴𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢, 2023).

Di sinilah hipokrisi Amerika mencapai puncaknya. Negeri yang menyanyikan lagu kebebasan ini baru mengakui genosida Indian secara resmi pada 2021, itu pun tanpa reparasi.

Mereka menolak Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat hingga 2010, dan itupun dengan syarat (𝘚𝘩𝘦𝘳𝘺𝘭 𝘓𝘪𝘨𝘩𝘵𝘧𝘰𝘰𝘵, 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘨𝘦𝘯𝘰𝘶𝘴 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴, 2016).

Sementara itu, AS gemar menuding negara lain sebagai “pelanggar HAM”. Ned Blackhawk (2023) menyimpulkan dengan pedas: “Amerika lahir dari perbudakan dan genosida. Klaim HAM-nya bagai perampok yang memberi ceramah kejujuran.”

Sejarah tak bisa dibungkam. Di bawah tanah negara adidaya ini, 12 juta jiwa penduduk asli berseru dari kubur (Dunbar-Ortiz, 2014). Sampai Amerika berani berhadapan dengan cermin kelamnya, sampai ia mengembalikan tanah yang dirampas, hingga ia mengakui bahwa “tanah kebebasan” itu dibangun di atas kuburan massal, selama itu pula, bendera bintang-bintangnya akan tetap ternoda darah.  **[]

𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢

1. 𝘈𝘥𝘢𝘮𝘴, 𝘋. 𝘞. (1995). 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘧𝘰𝘳 𝘦𝘹𝘵𝘪𝘯𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢𝘯𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘰𝘢𝘳𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘤𝘩𝘰𝘰𝘭 𝘦𝘹𝘱𝘦𝘳𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦. 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴 𝘰𝘧 𝘒𝘢𝘯𝘴𝘢𝘴.

2. 𝘉𝘭𝘢𝘤𝘬𝘩𝘢𝘸𝘬, 𝘕. (2023). 𝘛𝘩𝘦 𝘳𝘦𝘥𝘪𝘴𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢: 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘱𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘶𝘯𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘧 𝘜.𝘚. 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺. 𝘠𝘢𝘭𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

3. 𝘉𝘳𝘰𝘸𝘯, 𝘋. (1970). 𝘉𝘶𝘳𝘺 𝘮𝘺 𝘩𝘦𝘢𝘳𝘵 𝘢𝘵 𝘞𝘰𝘶𝘯𝘥𝘦𝘥 𝘒𝘯𝘦𝘦: 𝘈𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘞𝘦𝘴𝘵. 𝘏𝘰𝘭𝘵, 𝘙𝘪𝘯𝘦𝘩𝘢𝘳𝘵 & 𝘞𝘪𝘯𝘴𝘵𝘰𝘯.

4. 𝘋𝘶𝘯𝘣𝘢𝘳-𝘖𝘳𝘵𝘪𝘻, 𝘙. (2014). 𝘈𝘯 𝘪𝘯𝘥𝘪𝘨𝘦𝘯𝘰𝘶𝘴 𝘱𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦𝘴’ 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦𝘴. 𝘉𝘦𝘢𝘤𝘰𝘯 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

5. 𝘒𝘦𝘭𝘮𝘢𝘯, 𝘈. (2013). 𝘈 𝘮𝘪𝘴𝘱𝘭𝘢𝘤𝘦𝘥 𝘮𝘢𝘴𝘴𝘢𝘤𝘳𝘦: 𝘚𝘵𝘳𝘶𝘨𝘨𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘦𝘮𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘚𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘳𝘦𝘦𝘬. 𝘏𝘢𝘳𝘷𝘢𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

6. 𝘓𝘪𝘨𝘩𝘵𝘧𝘰𝘰𝘵, 𝘚. (2016). 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘥𝘪𝘨𝘦𝘯𝘰𝘶𝘴 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴: 𝘈 𝘴𝘶𝘣𝘵𝘭𝘦 𝘳𝘦𝘷𝘰𝘭𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.

7. 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘯𝘢𝘳𝘥, 𝘋. 𝘌. (1992). 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘏𝘰𝘭𝘰𝘤𝘢𝘶𝘴𝘵: 𝘛𝘩𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘲𝘶𝘦𝘴𝘵 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘕𝘦𝘸 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

8. 𝘛𝘩𝘰𝘳𝘯𝘵𝘰𝘯, 𝘙. (1987). 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘩𝘰𝘭𝘰𝘤𝘢𝘶𝘴𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘴𝘶𝘳𝘷𝘪𝘷𝘢𝘭: 𝘈 𝘱𝘰𝘱𝘶𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘴𝘪𝘯𝘤𝘦 1492 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘧 𝘖𝘬𝘭𝘢𝘩𝘰𝘮𝘢 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

Berita Terkini