Penulis: Agung Adhi Laksana, S.Sos.
Penikmat Politik dan Sosial
Muhammad Hasan di Tiro atau Hasan Tiro, seorang remaja kritis, pernah menempuh pendidikan di Normal Islam Institute Bireuen, yang didirikan oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. Suatu hari, dua kelompok pelajar salah satunya dipimpin Hasan Tiro, tengah menanam pohon kapas atas perintah tentara Jepang. Namun, Hasan Tiro menolak perintah tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Dan perseteruan terjadi. Hingga berakhir dengan kekalahan kelompok Hasan Tiro.
Beberapa waktu kemudian, T.M. Daud Beureueh menerbangkan Hasan Tiro ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi, di bawah bimbingan Wakil Perdana Menteri Indonesia, Sjarifudin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi. Hasan Tiro kemudian menjadi staf khususnya. Pada awal 1950-an, Sjarifudin merekomendasikan Hasan Tiro untuk melanjutkan pendidikan ke Columbia University, Amerika Serikat, sekaligus menjadi staf Perutusan Tetap Indonesia di PBB. Hasan menyebut dirinya sebagai nasionalis dan republiken yang anti-kolonial.
Ia juga pernah memimpin Badan Pemuda Indonesia, organisasi yang lahir dalam semangat mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda. Selain itu, Hasan Tiro dikenal sebagai motor penggerak pelajar Islam di Aceh dan mengusung semangat nasionalisme Indonesia.
Pada tahun 1950-an, terjadi konflik besar antara masyarakat Aceh dan pemerintah pusat karena penghapusan status provinsi Aceh dan penggabungannya ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Jabatan Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo yang dipegang oleh T.M. Daud Beureueh dibekukan oleh Soekarno. Masyarakat Aceh merasa diperlakukan tidak adil dan menuntut otonomi kembali. Akibatnya, Daud Beureueh bersama para pengikutnya bergabung dengan gerakan Darul Islam/TII yang dipimpin Kartosuwiryo dan pada tahun 1953 memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.
Pada saat yang sama, Hasan Tiro, yang sedang menempuh studi di luar negeri, merasa kecewa terhadap pemerintahan Soekarno. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Jakarta mengirim tentara ke berbagai wilayah untuk menumpas gerakan Darul Islam, termasuk ke Aceh. Kemarahan Hasan Tiro memuncak setelah mendengar tragedi Februari 1954, di mana 99 warga sipil Aceh, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas dalam operasi militer sebagai balasan atas kematian 12 tentara yang ditembak oleh DI/TII. Hasan Tiro menilai pemerintah telah gagal membedakan gerilyawan dengan rakyat sipil.
Sebagai respons, Hasan Tiro mengirim surat terbuka yang ditayangkan oleh The New York Times dan dimuat pula di beberapa media nasional seperti Tempo, Abadi, dan Indonesia Raya. Dalam surat tersebut, ia menuduh pemerintah Indonesia melakukan percobaan genosida di Aceh dan menyatakan kabinet Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa ke jurang kehancuran ekonomi dan politik. Ia juga mengirimkan protesnya ke PBB, namun ditolak oleh pemerintah pusat. Ali Sastroamidjojo memintanya kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan surat itu. Hasan Tiro menolak dan justru mendaftarkan dirinya sebagai duta besar Negara Islam Indonesia di PBB, sekaligus merangkap Menteri Luar Negeri. Akibatnya, paspor Hasan Tiro dibekukan dan kewarganegaraannya dicabut.
Wartawan senior Mochtar Lubis pernah menemui Hasan Tiro di New York. Dalam percakapan mereka, Hasan menyatakan bahwa jalan konstitusional telah buntu dan tidak ada pilihan lain selain berjuang: “Jika kami diam, maka kami akan habis. Semua jalan konstitusional sudah tertutup. Protes parlemen Aceh diabaikan, media tidak berhasil. Maka tidak ada cara lain selain berkelahi.”
Meski kecewa terhadap pusat, jiwa nasionalisme Hasan Tiro tetap menyala. Tahun 1958, ia menulis buku Demokrasi untuk Indonesia. Di dalamnya ia mengkritik demokrasi Barat sebagai mekanisme dominasi elite, yang tidak sesuai dengan konteks bangsa Indonesia. Ia menyebut bahwa rakyat lebih sering menjadi objek pembangunan, bukan subjek. Ia juga menekankan pentingnya Demokrasi Pancasila sebagai sistem yang lebih sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Hasan Tiro yang diasingkan oleh rezim Orde Lama tidak pernah kembali ke Indonesia. Ia menetap di New York sebagai konsultan bisnis dan menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara. Upaya untuk membawanya kembali sempat dilakukan oleh Abdul Rachman Ramly, Duta Besar Indonesia untuk AS, setelah Soekarno tumbang. Namun, pada tahun 1970 pemerintah Orde Baru menolak izin kepulangan Hasan Tiro.
Pada tahun 1976, ia akhirnya kembali ke Aceh, meninggalkan kehidupan mewahnya di New York demi mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976 di Pidie. Pemerintah pusat menganggapnya pemberontak. Tahun 1979, ia melarikan diri kembali ke Amerika dan memimpin perlawanan dari luar negeri. Pada 1986, ia dan Malik Mahmud berangkat ke Libya untuk membangun jaringan militer. Mereka bertemu dengan Muammar Khadafi dan meminta pelatihan militer bagi pemuda Aceh. Libya setuju dan melatih 50 orang pertama di Kamp Tanzura. Hingga akhirnya lebih dari 1.000 personil GAM berhasil dilatih di sana.
Tahun 1990-an, Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Ribuan rakyat melarikan diri ke Malaysia dan Thailand. Pada 1995, banyak milisi GAM kembali ke Aceh, termasuk Muzakir Manaf. Konflik bersenjata kembali pecah, menyebabkan ribuan orang menjadi janda dan yatim piatu. Ketika Orde Baru tumbang, konflik justru memanas. Reformasi tidak menjamin keadilan bagi rakyat Aceh.
Pada 2003, perundingan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia di Tokyo gagal karena GAM menolak status otonomi khusus dalam bingkai NKRI. Pemerintah menetapkan status Darurat Militer di Aceh yang diumumkan oleh Menkopolhukam Susilo Bambang Yudhoyono. Perang pun kembali pecah.
Bencana tsunami tahun 2004 menjadi titik balik. Dunia internasional turun tangan, dan Presiden SBY mencabut status darurat militer dan menggantinya dengan status tertib sipil. Pada 2005, perjanjian damai antara GAM dan pemerintah RI disepakati di Helsinki. GAM bersedia menyerahkan 840 senjata dan menarik 3.000 pasukan sebagai komitmen damai. Pemerintah memberi Aceh status kekhususan dan mengakui kembali wilayah itu secara resmi dalam bingkai NKRI.
Tahun 2008, Hasan Tiro kembali ke Aceh setelah 30 tahun dalam pengasingan. Ribuan orang menyambutnya. Dalam pidato yang dibacakan oleh Malik Mahmud, ia menyampaikan: “Biaya perang mahal, dan biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Maka peliharalah perdamaian demi kesejahteraan kita bersama.”
Hasan Tiro wafat pada awal Juni 2010 di Rumah Sakit Banda Aceh pada usia 85 tahun. Ia dimakamkan di dekat leluhurnya, Tgk. Cik Ditiro. Di hari wafatnya, status kewarganegaraannya yang dulu dicabut, resmi dipulihkan kembali oleh negara. (*)