Penulis : Nurul Azizah
Mudanews.com OPINI | Membuka lagi dokumen saat diadakan Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) ke-30 yang diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur tepatnya tanggal 21-26 November 1999. Pada muktamar tersebut menghasilkan suatu keputusan penting dengan menetapkan KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggantikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih menjadi presiden RI ke-4. Keputusan penting lainnya adalah peran kritis NU kepada pemerintah dalam konteks dinamika politik dan sosial saat itu.
Muktamar ke-30 dibuka langsung tanggal 21 November 1999 oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang baru saja dilantik menjadi presiden RI ke-4 dengan Megawati Soekarno Putri sebagai wakilnya.
Dalam sambutannya Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa “NU jangan sampai lupa mengkritik pemerintahan yang ada”.
“Saya harapkan para muktamirin hendaknya melihat masalah ini dengan jernih dan menyadari bahwa Nahdlatul Ulama ini adalah sebuah organisasi agama yang juga menjalankan tugas memberikan kritik dan mengawasi jalannya pemerintahan dari sudut agama”, jelas Gus Dur.
Bahkan sebelum memberikan sambutan pada acara tersebut Gus Dur sempat membaca harian Kompas terdapat kata-kata saudara dari PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) Liwa Lampung Barat. Kata-katanya “NU jangan sampai lupa mengkritik pemerintahan yang ada”, jelas Gus Dur.
“Ini sudah dijalankan NU lama sekali, bahkan saya mengalami selama 15 tahun rasanya diinjek-injek karena tidak cocok dengan pemerintah”, pesan Gus Dur kala itu.
“Ketika NU baik dengan pemerintah, ya boleh baik tetapi tetap kritis. Hubungan baik tetapi tetap kritis akan menjadi landasan demokrasi di negeri kita, bukannya kita mencari muka kepada orang untuk bisa tetap berkuasa”, demikian arahan Gus Dur saat muktamar NU ke-30.
Apakah PBNU Gus Yahya melakukan kritik terhadap pemerintah era Jokowi dan Prabowo? PBNU yang dinahkodai oleh Gus Yahya Cholil Tsaquf era presiden Jokowi malah mengumpulkan pimpinan wilayah (setingkat provinsi atau PWNU) di Surabaya Jawa Timur, 7 Januari 2024. Dalam kegiatan itu diduga pimpinan pusat memberikan instruksi kepada pimpinan wilayah untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden RI.
Instruksi ini tentunya bertolak belakang dengan pernyataan Ketua Umum PBNU Gus Yahya usai terpilih saat Muktamar ke-34 di Lampung. Saat itu Gus Yahya meminta agar PBNU tetap bersikap netral serta tidak tertarik di dalam politik praktis.
Belakangan beberapa petinggi PBNU justru menjadi pendukung Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto.
Lantas ke manakah arahan Gus Dur agar PBNU jangan sampai lupa mengkritik pemerintahan yang ada. Apakah karena PBNU mendapatkan bantuan dari Jokowi, lalu lupa mengkritik kesalahan pemerintah? Apa sih bantuan yang diberikan Jokowi kepada PBNU? Salah satunya terkait pengembangan Universitas NU di Yogyakarta dan tentunya banyak bantuan yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada NU, termasuk memberikan ijin pengolahan tambang.
Dengan adanya bantuan-bantuan tersebut, Gus Yahya memiliki harapan hubungan Jokowi dengan NU tetap dilanjutkan meskipun Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden RI.
“Kami berharap nanti walaupun sudah tidak menjabat sebagai presiden masih tetap bisa dilanjutkan kerja sama antara kami dengan pak Jokowi pribadi,” jelas Gus Yahya (dikutip dari Viva news & Insights, 15 Agustus 2024).
Setelah Jokowi tidak menjabat lagi maka muncullah banyak kegaduhan di masyarakat karena ulah Jokowi.
Dalam pemerintahan Jokowi, PBNU tidak pernah mengkritik pemerintahan Jokowi. Padahal dosa-dosa Jokowi banyak dan dikritik serta digugat di Mahkamah Rakyat.
Mengutip dari Majalah Tempo edisi 26 Juni 2024 tentang daftar 9 ‘Dosa’ Jokowi yang digugat oleh Mahkamah Rakyat. Gugatan rakyat disebut sebagai “Nawadosa”.
Dosa-dosa Jokowi adalah kebijakan perampasan ruang hidup dan penyingkiran masyarakat contohnya Proyek Strategis Nasional (PSN), Undang-undang Cipta Kerja, hilirisasi tambang nikel, food estate, bansos yang diduga sebagai alat politik Jokowi. Dosa yang lain adalah soal kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskriminasi. Dalam pemerintahan Jokowi diduga pemerintah tidak serius menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Belum lagi tentang mahalnya biaya kuliah di Perguruan Tinggi. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme selama pelaksanaan pilpres 2024 dan masih banyak lagi, yang saat ini Tuhan membuka satu persatu.
Kemudian eksploitasi sumber daya alam dari banyaknya penambangan dengan dalih hilirisasi tambang. Tentunya dari keuntungan hilirisasi tambang tidak didistribusikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Malah dibagikan ke kroni dan oligarki serta pejabat yang mendukung Jokowi. Bagaimana dampak kerusakan alam dengan adanya hilirisasi tambang di berbagai daerah?
Mengapa PBNU diam seribu bahasa atas dosa-dosa Jokowi. Apakah Gus Yahya dan pejabat struktural NU lainnya memberikan kritik atas dosa-dosa yang telah dilakukan Jokowi? Jawabannya: tidak, karena PBNU pro dengan Jokowi, maka teman-teman nasionalis religius memberikan pendapat bahwa “Gus Yahya menjadi periode terburuk kepemimpinan PBNU”. Mengapa ini terjadi, ya karena Gus Yahya mengabaikan pesan Gus Dur.
Sudah tidak menjadi rahasia lagi pada Muktamar ke 34 di Lampung, 23-25 Desember 2021 Jokowi totalitas mendukung KH. Yahya Cholil Tsaquf menjadi Ketua Umum PBNU 2021-2026.
Bahkan Prof Dr. KH. Said Agil Siraj mengungkapkan “Jokowi cawe-cawe di Muktamar NU Lampung”. Hal ini disampaikan Kiai Said Agil Siradj di kanal YouTube “Akbar Faizal Uncensored”. Menurutnya, Jokowi tidak menginginkan Kiai Said terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU.
“Pak Jokowi tidak senang saya, kalau saya terpilih lagi di PBNU. Maka di Lampung, semua itu ya diatur, sehingga saya harus kalah”, ungkapnya, Selasa (1/4/2025).
Ya dari sini sudah tampak kalau PBNU Gus Yahya tidak akan memberikan kritik pada pemerintah Jokowi dan sekarang Prabowo. Ya karena sudah ada kesepakatan bersama antara PBNU Gus Yahya dan Jokowi.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.