Penilis : Erizeli Bandaro
Mudanews.com OPINI – Saya bersama Awi, Afin, Tias ke restoran yang ada di Kawasan Jayakarta. Di halaman depan restoran itu ada pria baya menjual Petis, buah mentah diiris dan dicampur gula aren. Saya dekati pedagang itu. “ Pak berapa harganya ? tanya saya. Saya tidak suka petis. Namun saya berempati dengan pedagangnya. Dia menyebut harga dan Awi bayar pakai uang lembaran Rp. 100.000. “ untuk bapak aja kembaliannya. “ Kata Awi menyerahakan uang
“ Terimakasih pak”
“ Sampai jam berapa dagangnya pak” tanya saya saat dia menyiapkan irisan buah untuk dibungkus.
“ Setutup restoran itu aja.” Jawabnya menunjuk restoran tempat saya akan makan.
“ Punya anak berapa pak.” Tanya saya.
“ Satu. “ Katanya tersenyum. “ Ini dagangan dia yang siapkan. Saya tinggal jual aja. Suaminya kerja, gaji UMR. Engga cukup untuk bayar sewa rumah. Jadi saya bantuin mereka. Lagian kan engga enak numpang begitu saja sama anak mantu. Mana cucu saya masih kecil” Katanya.
“ Sama istri tinggalnya ” tanya saya lagi.
“ Engga. “ Dia menggeleng. “ Istri saya sudah meninggal” Sambungnya. Usai terima bungkusan petis itu saya termenung. Survei Populix 2023 menunjukkan sekitar 61 % individu berusia 24–39 tahun mengalami kesulitan memiliki rumah. Karena inflasi harga rumah setahun di kota kota besar berkisar 10-15%. Lebih tinggi dari kenaikan UMR. Mau beli rumah lewat KPR udah jelas engga sanggup dengan DP yang tinggi. Sementara sewa rumah berkisar Rp 1-2 juta sebulan untuk satu kamar. Memang malang nasip mereka. Beli sulit, sewa mencekik.
“ Saya membayangkan kehidupan bapak pendagang petis tadi. Usianya mungkin sama dengan kita. Dia usia tuanya, dia tinggal sama anak dan mantunya. Pasti dia tidak punya rumah sepanjang usianya. Dia merasa risih numpang. Makanya dia dagang petis itu untuk membantu meringankan beban anaknya. “ Kata saya setelah di table untuk makan, dengan wajah miris. Awi dan Afin nampak berusaha menyelami suasana hati saya.
“ Sekarang pemerintah malah berencana membangun rumah ukuran 18 meter. Mungkin pusing mereka gimana caranya turunkan harga agar terjangkau bagi orang miskin atau yang punya penghasilan UMR.” Kata Afin. “ kebayang engga rumah ukuran segitu. Lebih kecil dari kamar tidur di rumah gua.” Lanjut Afin.
“ Kemarin udah seneng dengar Qatar katanya siap invest. Engga tanggung tanggung. Mau bangun 4-6 juta rumah murah bagi kaum duafa. Tapi hanya rame dibicarakan. Realisasi nya juga engga jelas. “ Kata Awi. Memang banyak orang bicara uang tetapi dia tidak paham sifat dasar uang terutama jumlah besar. Selalu akal sehat. Tidak ada yang too good to be true. Walau seiman sekalipun.
“ Problem utama pengadaan rumah bagi rakyat miskin itu dari dulu dan di negara manapun selalu sama, yaitu soal biaya kontruksi yang sudah terlanjur mahal. Harga tanah yang bersifat rente. Mudah sekali naik saat ada rencana proyek perumahan mau dibangun. Itu juga karena factor urbanisasi dan keterbatas ruang. Opsi pendanaan terbatas. “ Kata Tias. Dia memang team Awi yang terbiasa berhubungan dengan pejabat. S3 ekonomi. Melek wawasannya.
“ Ah kendala itu engga big deal. Negara lain bisa kok atasi. “ Kata Awi mengibaskan tangan. “ Saat sekarang ada banyak tekhhnologi kontruksi dengan material yang murah. Seperti mengganti cement dengan Abu Vulkanik. Material ini bisa juga untuk beton ringan. Bisa dipakai untuk dinding dan atap. Sumber daya abu vulkanik di Indonesia sangat banyak.
Untuk pengganti kayu, kita bisa gunakan limbah batang Jerami dan limbah ranting kayu atau bamboo. Dengan tekhnologi press, kayu bisa dihasilkan lewat moulding sesuai ukuran. China punya tekhnologi itu semua dan sudah mereka terapkan di Afrika, biaya contruksi per unit rumah ukuran 36 hanya USD 5000. Undang aja China minta bantuan. Pasti maulah mereka
Nah soal tanah. Di desa tidak ada masalah. Yang masalah di Kota. Tidak mudah dapatkan tanah yang murah. Memang saya dengar ada rencana mau sita tanah yang berkasus sengketa dengan negara. Itu bagus aja. Tetapi kalau itu diandalkan bisa wasting time. Untuk kota besar di Jawa bisa gunakan lahan PT.KAI. Karena lahan terbatas, ya bangun rusun. Jangan terlalu tinggi sehingga tidak perlu ada lift. Ya maksimum 4 lantai. “ kata Awi bergaya konsultan kelas dunia. Afin senyum aja.
“ Kendalanya sebagian besar lahan PT.KAI diserobot oleh penduduk.” Kata Tias. “ Itu engga mudah,boss” sambung Tias.
“ Ah itu engga ada masalah. ” Awi kembali kibaskan tangan. ” Buat aja program revitalisasi Kawasan pinggir real itu. Ubah jadi Kawasan rusun. Itu bisa jadi solusi tanpa mengusir warga yang sudah tinggal disana namun memberi peluang lebih banyak orang punya rumah tinggal disana. Di luar jawa tentu masalah tanah tidak ada, hanya saja pemerintah harus subsidi harga perolehan tanah agar cost rumah jadi murah. Itupun engga besar amat subsidinya.. “Kata Awi.
“ Nah, dengan adanya tekhnologi low cost itu, kalaupun pemerintah keluarkan dana stimulus untuk program rumah murah bagi si miksin, engga akan ada dampak dengan inflasi. “ Kata saya seraya menikmati makanan terhidang.
“ Stimulus gimana “ Tanya Tias.
“ Ya seperti Rusia dan China dalam membiayai rumah murah. Mereka gunakan skema quantitative berupa thematic SBN non tradable. ” Kata saya.
” Apa itu SBN thematic.?
“Oh itu jenis obligasi pemerintah yang diterbitkan untuk mendanai tema pembangunan spesifik – misalnya, pangan, infrastruktur hijau, energi terbarukan, pendanaan UKM, atau proyek ramah lingkungan dan lain lain. Thematic SBN berbeda dari SBN konvensional karena dana yang diperoleh dialokasikan langsung ke program atau Use of Proceeds/UoP, seperti fasilitas gudang untuk petani atau instalasi energi terbarukan atau pengadaan rumah murah.
Namun Skema SBN Thematic ini pra syaratnya adalah value. Umumnya karena tekhnologi dan efisiensi. Jadi engga bisa dipakai untuk proyek yang hanya mengandalkan rente seperti tambang atau pinjol atau toll. Skema proyek harus secure. Biasanya engga tunai. Hanya bersifat enhancement dan trigger untuk terjadinya peluang leverage. ” Kata saya.
” Gimana likuiditas nya ?
” Untuk menjamin likuiditas, bank bisa gunakan SBN thematic itu untuk mengkaskes fasilitas macroprudential dari BI. Namun collateral utama tetap proyek rumah itu sendiri. Artinya bank tetap menerapkan prinsip prudential dalam menyalurkan kredit kontruksi kepada kontraktor. Karena kalau sampai proyek rumah tidak jadi, resiko ada pada bank. Engga bisa SBN dicairkan.” Kata saya.
” Konkritnya ?
” Dari skema ini peserta KPR hanya bayar premium collateral dan fee asset management 1% per tahun. Tanpa bayar bunga. Karena sebenarnya uang berputar berkat adanya stimulus lewat SBN structure. Dan itu tidak akan berdampak inflasi. Mengapa? Karena dana tersalurkan langsung ke project real, yang melibatkan Angkatan kerja luas di sektor kontruksi dan Industri yang memproduksi material bangunan.
Tias mengerutkan kening.
“ Nih gua jelasin maksud Ale. ” Kata Awi. “ Jadi orang dengan upah dibawah Rp 4 juta sebulan bisa punya rumah. Karena mereka engga bayar bunga. Selama rumah belum lunas statusnya milik negara. Setelah rumah lunas, rumah itu status nya jadi milik sendiri. Dan collateral SBN yang ada di bank dikembalikan ke negara. “ Sambung Awi.
“ Apa mungkin skema itu applicable ? Tanya Tias.
“ Kan Ale bilang dari awal. Itu udah diterapkan di China dan Rusia. Gua dengar juga Vietnam dan sebagian di Afrika, termasuk Amerika latin, udah terapkan. Tiru aja mereka. Susah amat mikirnya.” Jawab Awi.
“ Walau bersifat stimulus namun bisa mempercepat proses kemakmuran lewat pengaruh bergandanya. Ya maklum dengan adanya pembangunan fisik serta infrastruktur kawasan perumahan akan memperbesar pasar domestik dan lapangan pekerjaan. “ Kata saya menambahkan.
“ Belum lagi orang kalau sudah punya rumah hidupnya akan tentram. Gairah kerja meningkat, tentu memacu produktivitas. Lingkungan yang nyaman akan membuat mereka sehat lahir batin. Problem stunting tidak akan ada lagi. “Afin menimpali.
Tias mengangguk. Lanjut makan lagi.
“ Sebenarnya pemerintah sudah ada solusi pendanaan pengadaan rumah bagi orang miskin. “Kata Tias. “ Baca aja UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan pemukiman. Disitu kan jelas aka skema subsidi silang orang kaya kepada si miskin pada izin developer membangun Kawasan Real estate. Satu rumah mewah berbanding paling sedikit dua rumah menengah, serta tiga rumah sederhana. “ Kata Tias.
“ Kemungkinan semua developer besar, tidak penuhi aturan itu “ Kata Awi cepat dengan senyum mencibir.
“ Tetapi kan itu UU. Negara harus paksa developer patuhi.” Kata Tias.
“ Kenapa engga kamu sebutkan juga UUD 45 pasal 33 dan 34? “ Kata Awi tersenyum “ Di negeri ini, jangankan UU, UUD saja seenaknya dilanggar demi nepotisme. Dan lagi kalau UUD dan UU diterapkan secara konsisten, udah lama negeri ini makmur dan sejahtera “ Kata Awi ketawa.
“ Tagih itu. Seperti Ahok tagih developer besar di Jakarta untuk bayar fasum. Ahok bangun rusun tanpa APBN/D. “ Tias tambahkan tanpa peduli sarkasme Awi.
“ Dan akhirnya Ahok dikriminalisasi, masuk bui. Tamat karir politiknya. “ Awi menimpali dengan cepat. “ Kalau orang baik bisa menjadi pemimpin di negeri ini, udah lama kita makmur.” Kata Awi lagi.
“ Benar lue Wi. “ Kata Afin. “ Bisa dilihat denga kasat mata. Tuh lihat PIK, Pantai Mutiara dan lain lain. Mana ada Kawasan itu bersanding dengan rumah sederhana. Alasan mereka takut jatuh kelas Kawasannya. Jangan jangan semua melanggar aturan. “ Sambung Afin menggambarkan kelakuan mantiko developer besar.
“ Iya lah. Bagi boss developer kan mikirnya sederhana. Daripada keluar uang besar untuk subsidi silang, mending keluar uang sedikit untuk elus telor pejabat. Cincai juga urusannya.” Kata Awi lagi.
Tias tersenyum masam. Menu datang lagi. “ Pak Ale, seru Tias. “ Saya tertarik dengan thematic SBN. Bisa jelaskan secara sederhana aspek legalnya. “ Pintanya.
“ Pembiayaan negara itu terdiri dari tiga. Pertama , dari tabungan pemerintah. Kedua. Soverign fund. Ketiga, monetization PDB. “ kata saya. Namun dia segera sela omongan saya. “ Maaf Pak Ale, boleh saya rekam omongannya. Saya mau belajar dan cari referensinya nanti “ Katanya. Saya senyum aja.
“ Dari tabungan pemerintah itu kan biasa disebut dengan SAL atau sisa anggaran lebih. SAL kan akumulasi dari SiLPA. Nah ini bisa jadi sumber pembiayaan pada anggaran periode berikutnya. Itupun penggunaannya engga mudah. Skema nya tetap hutang kepada Menteri keuangan. Misal Lembaga atau BUMD/N atau Pemda perlu tambahan dana, mereka bisa ajukan pinjaman ke Menkeu.
Kemudian, Soverign Fund. Nah itu pinjaman yang melibatkan negara menjamin langsung utang itu. Yang utang bisa saja BUMN atau Pemerintah. Namun sovereign Fund ini proses nya tidak mudah. Harus dapat izin dari DPR. Selama era SBY dan Jokowi, terbukti skema sovereign fund itu sangat kecil sekali. “ kata saya.
“ Kenapa ?
“ Ya karena partai nasionalis, sososiais dan agama seperti PDIP, PKS, PAN, PKB, Gerindra sangat anti dengan sovereign fund. Di era SBY, dan di era Jokowi juga sama. Mereka solid menolak utang yang mengharuskan negara menjamin resiko. “ kata saya.
“ Ok terus.. Nah monetization PDB gimana ? tanya Tias dengan antusias
“ Monetization PDB ya SBN dan SUN. SBN itu termasuk SUKUK. Kalau SUN tidak termasuk SUKUK. Nah baik SBN atau SUN, itu bukan sovereign fund. Tidak ada jaminan negara. Sama dengan surat utang komersial pada umumnya. Credit rating ditentukan oleh Lembaga pemeringkat surat utang seperti S&P dan lain lain. Value dan trust tergantung market saja. Itu bisa dilihat dari suku Bunga dan Yield. Paham ya.” Kata saya.
“ Paham Pak.” Seru Tias. Awi dan Afin senyum aja.
“ Nah dengan memahami itu, kita kembali kepada skema pembiayaan perumahan untuk rakyat miskin. Kenapa engga pakai aja skema monetization PDB lewat SBN thematic. Tapi harus ada tekhnologi material bangunan dan kontruksi yang menjamin terjadi proses low cost housing. Nah value ini bisa menjadi trade off atas resiko inflasi dari penerbitan SBN thematic.
Karena sifatnya SBN structure atau derivative, jadi pemda atau BUMD atau BUMN bisa jadikan SBN Thematic itu sebagai underlying untuk mendukung skema financing lewat perbankan. Misal, BUMD terbitkan Municipal bond atas dasar alokasi APBN berupa SBN yang Menteri keuangan terbitkan. Municipal bond ini dijadikan collateral oleh BUMD agar peserta KPR yang tidak bankable bisa mendapatkan Rumah.“ kata saya.
“ Artinya cetak uang dong” kata Tias.
“ Bukan cetak tetapi pelonggaran quantitative. Lewat skema pembiayaan stimulus. Itu tidak akan berdampak inflasi. Karena uang tidak diberikan secara tunai tetapi lewat likuiditas perbankan dan terkait langsung dengan proyek perumahan yang sudah jadi. “ kata saya santai dan terus makan.
“ Pak Ale hanya tamatan SMA. Kok paham banget dia..” Kata Tias. ” Gua ngerti makanya gua paham apa yang Pak Ale sebutkan. Tapi implementasi teori kedalam praktek, itu engga mudah. Perlu pengalaman praktis. Sedangkan gua selama ini hanya jadi konsultan pemerintah secara makro.” Sambung Tias.
” Ale itu tage kita. ” Awi melotot ke Tias. ” Kita kita bisa makan dan punya rumah karena otak dia. Ngerti lue” Sambung Awi denga ketus. Saya senyum aja.
Sedang asik makan. Cik Yuli, pemilik restoran datangi table kami.
“ Koh sehat? Tanyanya kepada saya sambil pegang pundak saya.
“ Anak lue sudah selesai kuliahnya di Amerika.” Tanya saya.
“ Udah. Tetapi dia dapat kerjaan di Shanghai. Jadi engga ada rencana pulang batuin gua di restoran” Kata Cik Yuli.
“ Makanya lue cepatan cari suami lagi. Jadi engga ngarepin anak” Kata saya sambil lalu.
“ Udah tua koh. “
“ Noh Afin mau jadi laki lue” Kata Awi ketawa.
“ Ah sudahlah. Itu aja diomongin. Apa engga ada yang laen “ Kata Cik Yuli cemberut dan berlalu. Kami senyum aja.