𝐊𝐞𝐫𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍: 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐭𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐓𝐡𝐚𝐢𝐥𝐚𝐧𝐝-𝐊𝐚𝐦𝐛𝐨𝐣𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐔𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐒𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐊𝐚𝐰𝐚𝐬𝐚𝐧

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs.Muhammad Bardansyah Ch.Cht

Mudanews.com-Opini | Di jantung Asia Tenggara, retakan tua kembali menganga. Thailand dan Kamboja, dua saudara dalam keluarga ASEAN, terkunci dalam sengketa perbatasan yang berulang kali memanas—terakhir pada Mei 2025—di sekitar Kuil Preah Vihear (Prasat Preah Vihear bagi Kamboja, Khao Phra Viharn bagi Thailand).

Konflik ini bukan sekadar perselisihan tanah, melainkan ujian nyata bagi semangat persatuan ASEAN yang digagas pendirinya di tengah bara Perang Dingin.

Ironisnya, justru warisan kolonial dan api nasionalisme mengancam fondasi perdamaian yang sedianya menjadi roh utama asosiasi ini.

Akarnya terbenam dalam peta usang era kolonial, ketika Prancis (penguasa Kamboja) dan Siam (Thailand) membuat garis batas ambigu. Keputusan Mahkamah Internasional 1962 yang menyerahkan kuil kepada Kamboja—meski akses utamanya dari Thailand—tak pernah meredam sentimen nasionalis Bangkok.

Bara ini menyala keras pada 2008 ketika UNESCO menetapkan kuil sebagai Situs Warisan Dunia milik Kamboja.

Protes dan bentrokan bersenjata segera menyusul, memuncak dalam baku tembak 2011 yang menewaskan puluhan orang dan mengusir warga sipil.

Mediasi ASEAN berupaya meredam, namun akar masalah—klaim historis yang dipicu nasionalisme—tetap membara seperti bara dalam sekam.

Di sinilah ASEAN menghadapi paradoks memilukan. Organisasi yang lahir dari semangat Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas (ZOPFAN) ini justru terlihat gamang menghadapi konflik internal.

Prinsip sakral non-intervensi yang ditujukan membangun kepercayaan, berbalik menjadi bumerang ketika kepentingan nasional mengalahkan solidaritas regional.

Jika konflik berkepanjangan, retakan bisa melebar: Vietnam mungkin berpihak pada Kamboja karena ikatan sejarah, sementara Laos dan Myanmar cenderung netral atau mendukung Thailand.

Perpecahan seperti ini akan melumpuhkan ASEAN sebagai blok yang kohesif, terutama di tengah tarik-menarik geopolitik Amerika Serikat dan Tiongkok.

Ancaman perpecahan tak hanya datang dari medan perang, tapi juga dari lapangan sepak bola. Persaingan tidak sehat antar suporter Indonesia, Malaysia, dan Vietnam di media sosial—yang bermula dari fanatisme Timnas—telah meluas menjadi hinaan rasial, ekonomi, bahkan politik.

Ini adalah efek Algoritma Media Sosial yang cendrung lebih menekankan Enggagement dan celakanya enggagement itu justru membesar pada konten-kontent kontroversial, Rasis dan kebencian.

Mereka yang larut dalam kebencian dangkal ini sering lupa bahwa ancaman sesungguhnya adalah infiltrasi asing yang menggerogoti stabilitas regional. Inilah pengkhianatan halus terhadap semangat “kekitaan” (we-feeling) yang diperjuangkan para pendiri ASEAN.

Konflik lokal ini berpotensi menyulut krisis global. Kamboja, dengan ketergantungan tinggi pada investasi dan bantuan Tiongkok, mungkin akan makin merapat ke Beijing jika ketegangan memuncak. Sementara Thailand, sekutu tradisional AS, dapat mengandalkan dukungan militer Washington.

Campur tangan kedua raksasa ini berisiko mengubah sengketa perbatasan menjadi proxy war—memecah kawasan menjadi kubu-kubu yang dimanipulasi kekuatan luar.

Rusia pun bisa masuk sebagai penjual senjata atau penengah oportunis, memperkeruh medan diplomasi.

Dampak jangka panjangnya mengkhawatirkan. Ketidakstabilan di perbatasan Thailand-Kamboja bukan hanya tragedi bilateral; ia bisa memicu efek domino.

Sengketa Laut China Selatan yang sudah panas atau persaingan pengaruh di Lembah Mekong bisa ikut terpicu.

ASEAN harus segera bertindak: memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa yang selama ini lemah, mendorong dialog konkret, dan mengembalikan kesadaran bahwa—seperti diingatkan sejarah 1967—perdamaian kawasan adalah tanggung jawab kolektif.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Konflik Preah Vihear adalah cermin kerapuhan ASEAN menghadapi ujian internal. Warisan kolonial dan nasionalisme sempit terus menggerogoti semangat perdamaian pendirinya,

sementara lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa memperdalam ketidakpercayaan.

Jika dibiarkan, konflik ini bukan hanya mengancam stabilitas perbatasan, tetapi juga berpotensi:

1. Memecah-belah solidaritas ASEAN menjadi kubu-kubu,
2. Menjadi pintu masuk intervensi kekuatan global (AS-Tiongkok-Rusia),
3. Memicu krisis domino di kawasan yang sarat sengketa.

ASEAN perlu transenden dari retorika menuju aksi nyata—memperkuat diplomasi preventif dan mengingatkan seluruh bangsa bahwa persatuan, bukan permusuhan, adalah jalan bertahan di panggung geopolitik yang makin keras.

Penting pula di cermati oleh pemerintah negara-negara ASEAN akan bahaya Algoritma pemecah belah dari Medsos yang makin lama makin membahayakan .**()

𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘊𝘰𝘶𝘳𝘵 𝘰𝘧 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦. (1962). 𝘊𝘢𝘴𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘤𝘦𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘩𝘦 𝘛𝘦𝘮𝘱𝘭𝘦 𝘰𝘧 𝘗𝘳𝘦𝘢𝘩 𝘝𝘪𝘩𝘦𝘢𝘳 (𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢 𝘷. 𝘛𝘩𝘢𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥). 𝘔𝘦𝘳𝘪𝘵𝘴, 𝘑𝘶𝘥𝘨𝘮𝘦𝘯𝘵. 𝘐.𝘊.𝘑. 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵𝘴 1962.

2. 𝘜𝘕𝘌𝘚𝘊𝘖. (2008). 𝘋𝘦𝘤𝘪𝘴𝘪𝘰𝘯: 32𝘊𝘖𝘔 8𝘉.102 – 𝘗𝘳𝘦𝘢𝘩 𝘝𝘪𝘩𝘦𝘢𝘳 𝘛𝘦𝘮𝘱𝘭𝘦 (𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢). 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘏𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘨𝘦 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘪𝘵𝘵𝘦𝘦.

3. 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘦𝘺, 𝘐. (2011). 𝘛𝘩𝘢𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥’𝘴 𝘣𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳 𝘤𝘰𝘯𝘧𝘭𝘪𝘤𝘵 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘳𝘪𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘦𝘴𝘦 𝘪𝘯𝘧𝘭𝘶𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢. 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘉𝘳𝘪𝘦𝘧, 11(5).

4. 𝘛𝘩𝘢𝘺𝘦𝘳, 𝘊. 𝘈. (2011). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘤𝘰𝘥𝘦 𝘰𝘧 𝘤𝘰𝘯𝘥𝘶𝘤𝘵 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢: 𝘈 𝘭𝘪𝘵𝘮𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘴𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺-𝘣𝘶𝘪𝘭𝘥𝘪𝘯𝘨? 𝘛𝘩𝘦 𝘈𝘴𝘪𝘢-𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭, 9(4).

5. 𝘈𝘤𝘩𝘢𝘳𝘺𝘢, 𝘈. (2001). 𝘊𝘰𝘯𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘢 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮 𝘰𝘧 𝘳𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳 (2𝘯𝘥 𝘦𝘥.). 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦. (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘰𝘵𝘪𝘷𝘢𝘴𝘪 𝘬𝘦𝘢𝘮𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘥𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘢𝘴).

6. 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘚𝘦𝘤𝘳𝘦𝘵𝘢𝘳𝘪𝘢𝘵. (𝘯.𝘥.). 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘰𝘶𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘧 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘢𝘴𝘦𝘢𝘯.𝘰𝘳𝘨/𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵-𝘢𝘴𝘦𝘢𝘯/𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺/ (𝘚𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘳𝘦𝘴𝘮𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘦𝘭𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘴𝘪 𝘋𝘦𝘬𝘭𝘢𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘉𝘢𝘯𝘨𝘬𝘰𝘬).

7. 𝘊𝘢𝘣𝘢𝘭𝘭𝘦𝘳𝘰-𝘈𝘯𝘵𝘩𝘰𝘯𝘺, 𝘔. (2005). 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘉𝘦𝘺𝘰𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘸𝘢𝘺. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴. (𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘦𝘷𝘰𝘭𝘶𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘢𝘮𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯).

8. 𝘚𝘦𝘷𝘦𝘳𝘪𝘯𝘰, 𝘙. 𝘊. (2006). 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢 𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘰𝘧 𝘢𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺: 𝘐𝘯𝘴𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘧𝘰𝘳𝘮𝘦𝘳 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘚𝘦𝘤𝘳𝘦𝘵𝘢𝘳𝘺-𝘎𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴. (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘱𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕, 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢).

9. 𝘞𝘦𝘢𝘵𝘩𝘦𝘳𝘣𝘦𝘦, 𝘋. 𝘌. (2019). 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘳𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘛𝘩𝘦 𝘴𝘵𝘳𝘶𝘨𝘨𝘭𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘢𝘶𝘵𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 (4𝘵𝘩 𝘦𝘥.). 𝘙𝘰𝘸𝘮𝘢𝘯 & 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦𝘧𝘪𝘦𝘭𝘥. (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘳𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘭𝘶𝘢𝘴, 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕).

Dengan memahami kompleksitas konflik ini, ASEAN dan negara-negara anggotanya harus bertindak cepat sebelum ketegangan kecil berubah menjadi badai geopolitik yang mengancam seluruh kawasan.

Berita Terkini