Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews.com-Opini |Matahari terik menyinari bumi yang subur, perut bumi yang gemuk dengan minyak, emas, dan mineral berharga.
Di atas kertas, negara-negara (Negara-negara yang akan di bahas dalam tulisan ini red) ini adalah calon raksasa ekonomi.
Namun, di balik kilau sumber daya alam (SDA) yang melimpah, sering kali tersembunyi kisah pilu kebangkrutan dan kemiskinan sistematis.
Ironi pahit ini bukanlah takdir alam, melainkan hasil dari permainan berbahaya yang dimainkan oleh elit politik dan ekonomi yang, entah karena keserakahan, kebodohan, atau menjadi pion dalam skema global, mengubah berkah menjadi kutukan.
Mari kita telusuri beberapa panggung drama ekonomi-politik yang kelam ini.
𝐀𝐟𝐫𝐢𝐤𝐚: 𝐇𝐚𝐫𝐭𝐚 𝐊𝐚𝐫𝐮𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐠𝐚𝐝𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐈𝐬𝐭𝐚𝐧𝐚 𝐌𝐞𝐠𝐚𝐡.
Bayangkan Republik Demokratik Kongo (dulu Zaire), tanah yang mungkin paling kaya SDA di dunia – koltan untuk ponsel, berlian, tembaga, kobalt.
Namun, di era Mobutu Sese Seko (1965-1997), kekayaan itu menguap seperti kabut di pagi hari.
Mobutu membangun istana megah di tengah hutan (Gbadolite) dan rekening bank pribadi yang menggurita, sementara infrastruktur negara hancur dan rakyat terpuruk dalam kemiskinan.
𝙆𝙡𝙚𝙥𝙩𝙤𝙠𝙧𝙖𝙨𝙞 adalah kata kuncinya. Dia menciptakan sistem di mana semua aliran SDA harus melalui tangannya atau kroninya.
Perusahaan-perusahaan negara menjadi sapi perah, kontrak tambang diberikan kepada sekutu asing dengan imbalan uang tunai atau dukungan politik, sementara pendapatan riil negara hanya sebagian kecil dari nilai sebenarnya.
Hasilnya? Utang menumpuk, ekonomi ambruk, dan Kongo tetap menjadi salah satu negara termiskin dunia meski duduk di atas gunung emas.
Mobutu bukan hanya korup; dia adalah arsitek kehancuran yang sistematis, didukung diam-diam oleh kekuatan asing yang berkepentingan menjaga akses murah ke mineral strategis di tengah Perang Dingin.
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐚𝐭𝐢𝐧: 𝐑𝐞𝐯𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐌𝐢𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐡𝐚𝐧𝐜𝐮𝐫𝐚𝐧
Bergeser ke Amerika Latin, Venezuela menyajikan tragedi terkini yang menyayat hati.
Memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, negara ini seperti ditakdirkan untuk makmur.
Di bawah Hugo Chávez (1999-2013) dan kemudian Nicolás Maduro, janji redistribusi kekayaan minyak untuk rakyat miskin berubah menjadi mimpi buruk hiperinflasi, kelangkaan parah, dan eksodus massal.
Kebijakan ekonomi Chávez, meski awalnya populer, mengandung benih kehancuran.
Nasionalisasi besar-besaran tanpa manajemen yang kompeten merusak tulang punggung industri minyak PDVSA.
Perusahaan yang dulu canggih itu dijadikan mesin ATM politik, diisi dengan loyalis, dan diabaikan investasinya demi mendanai program sosial jangka pendek yang tidak berkelanjutan.
Ketika harga minyak jatuh, bangunan kartu itu rubuh. Kebijakan kontrol harga dan mata uang yang kacau mematikan sektor produktif non-migas.
Yang lebih parah, korupsi merajalela di sekitar bisnis minyak, seringkali melibatkan kontrak dengan perusahaan asing atau entitas bayangan yang mengeruk keuntungan besar sementara negara kebobolan.
Maduro melanjutkan dan memperburuk warisan ini, mengunci Venezuela dalam krisis kemanusiaan yang dalam, sebuah negeri bangkrut di atas lautan minyak, di mana elit politik dan militer serta mitra bisnis asing tertentu diuntungkan, sementara rakyat berjuang untuk sekadar makan.
𝐀𝐬𝐢𝐚: 𝐃𝐢𝐤𝐭𝐚𝐭𝐨𝐫, 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐬
Jauh sebelum Venezuela, Filipina telah menunjukkan bagaimana satu keluarga bisa menjarah sebuah bangsa.
Ferdinand Marcos (1965-1986) memerintah dengan tangan besi, didukung oleh Amerika Serikat di tengah Perang Dingin.
Di balik retorika pembangunan, Marcos, istrinya Imelda, dan kroninya membangun kerajaan korupsi yang legendaris.
“𝘊𝘳𝘰𝘯𝘺 𝘤𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮” mencapai puncaknya. Kontrak-kontrak menguntungkan untuk sumber daya alam, proyek infrastruktur raksasa, dan monopoli diberikan kepada sekutu bisnis yang setia, yang kemudian mengalirkan kembali sebagian keuntungannya kepada keluarga Marcos.
Utang luar negeri membengkak untuk membiayai proyek-proyek “prestisius” yang seringkali tidak berguna atau tidak selesai, sementara dana tersebut juga menjadi sasaran penyelewengan.
Hutan ditebang habis-habisan, tambang dikeruk, semuanya untuk memperkaya lingkaran dalam kekuasaan.
Kekayaan yang dicuri Marcos diperkirakan mencapai miliaran dolar – disimpan di rekening bank Swiss, diinvestasikan dalam properti mewah di AS, atau berubah menjadi koleksi ribuan sepatu Imelda yang menjadi simbol keserakahan yang keterlaluan.
Ketika rezimnya jatuh, Filipina ditinggalkan dengan utang besar, ekonomi yang rusak, dan sumber daya alam yang terkuras, sebuah contoh klasik bagaimana kediktatoran dan korporasi (baik lokal maupun asing yang bermain di dalam sistem crony-nya) bersekongkol menghisap darah negeri.
𝐏𝐨𝐥𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠: 𝐊𝐮𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐄𝐥𝐢𝐭
Ketiga contoh di atas, dan banyak lainnya seperti Angola di bawah dos Santos atau Nigeria dalam berbagai rezim militer, menunjukkan pola yang mengerikan: “𝘙𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 𝘊𝘶𝘳𝘴𝘦” seringkali dimediasi oleh tindakan manusia yang jahat atau ceroboh.
Tokoh-tokoh seperti Mobutu, Marcos, Chávez/Maduro bukanlah korban keadaan; merekalah aktor utama dalam drama kehancuran ini.
Korupsi Sistematis: SDA menjadi sumber rente utama, diperebutkan oleh elit untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk pembangunan nasional.
Kebijakan Ekonomi yang Mematikan: Nasionalisasi tanpa kapasitas, subsidi besar-besaran yang tidak terarah, pengabaian investasi di sektor produktif, pencetakan uang liar, semua kebijakan ini menghancurkan fondasi ekonomi.
Kolusi dengan Korporasi Asing: Kontrak-kontrak yang merugikan negara, skema transfer pricing, pembayaran suap, dan eksploitasi tanpa nilai tambah yang berarti bagi ekonomi domestik.
Elit lokal menjadi “antek” yang memfasilitasi pengurasan kekayaan oleh entitas asing, imbalannya adalah kekayaan pribadi dan dukungan politik.
Penghancuran Institusi: Penegakan hukum yang lemah, peradilan yang tidak independen, dan media yang dibungkam memungkinkan praktik-praktik perusak ini berlangsung tanpa kendali.
Kebangkrutan negara-negara kaya SDA ini bukanlah kebetulan atau nasib buruk. Ia adalah konsekuensi yang bisa diprediksi dari kepemimpinan yang korup, kebijakan yang salah arah, dan kolusi mematikan antara elit lokal yang rakus dengan kekuatan korporasi global yang haus keuntungan.
Kekayaan alam yang seharusnya menjadi tangga menuju kemakmuran, di tangan yang salah, berubah menjadi peti mati bagi masa depan sebuah bangsa.
Luka ini dalam, dan pemulihannya membutuhkan lebih dari sekadar perubahan rezim; ia memerlukan pembongkaran sistemik budaya korupsi dan impunitas yang mengakar.
Hingga itu terjadi, paradoks negeri kaya yang miskin akan terus menjadi cerita yang memilukan di panggung dunia.**()
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘈𝘶𝘵𝘺, 𝘙. 𝘔. (1993). 𝘚𝘶𝘴𝘵𝘢𝘪𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘦𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘳𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 𝘤𝘶𝘳𝘴𝘦 𝘵𝘩𝘦𝘴𝘪𝘴*. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.
2. 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘞𝘪𝘵𝘯𝘦𝘴𝘴. (2004). 𝘙𝘶𝘴𝘩 𝘢𝘯𝘥 𝘳𝘶𝘪𝘯: 𝘛𝘩𝘦 𝘥𝘦𝘷𝘢𝘴𝘵𝘢𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘪𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘵𝘳𝘢𝘥𝘦 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘳𝘯 𝘒𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢, 𝘋𝘙𝘊.
3. 𝘎𝘶𝘯𝘪𝘵𝘴𝘬𝘺, 𝘚. (2017). 𝘈𝘧𝘵𝘦𝘳𝘴𝘩𝘰𝘤𝘬𝘴: 𝘎𝘳𝘦𝘢𝘵 𝘱𝘰𝘸𝘦𝘳𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘥𝘰𝘮𝘦𝘴𝘵𝘪𝘤 𝘳𝘦𝘧𝘰𝘳𝘮𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘵𝘩 𝘤𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺. 𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘵𝘰𝘯 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴. (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘋𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘻𝘪𝘮 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘔𝘢𝘳𝘤𝘰𝘴 & 𝘔𝘰𝘣𝘶𝘵𝘶).
4. 𝘐𝘔𝘍. (2019). 𝘝𝘦𝘯𝘦𝘻𝘶𝘦𝘭𝘢: 𝘚𝘦𝘭𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥 𝘪𝘴𝘴𝘶𝘦𝘴. 𝘐𝘔𝘍 𝘊𝘰𝘶𝘯𝘵𝘳𝘺 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵 𝘕𝘰. 19/67. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘪𝘮𝘧.𝘰𝘳𝘨/𝘦𝘯/𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴/𝘊𝘙/𝘐𝘴𝘴𝘶𝘦𝘴/2019/03/11/𝘝𝘦𝘯𝘦𝘻𝘶𝘦𝘭𝘢-𝘚𝘦𝘭𝘦𝘤𝘵𝘦𝘥-𝘐𝘴𝘴𝘶𝘦𝘴-46664
5. 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘥𝘪𝘵𝘩, 𝘔. (2005). 𝘛𝘩𝘦 𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘤𝘢: 𝘈 𝘩𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘧𝘪𝘧𝘵𝘺 𝘺𝘦𝘢𝘳𝘴 𝘰𝘧 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦. 𝘍𝘳𝘦𝘦 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴. (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘭𝘶𝘢𝘴 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘔𝘰𝘣𝘶𝘵𝘶).
6. 𝘙𝘰𝘴𝘴𝘦𝘳, 𝘈. (2006). 𝘛𝘩𝘦 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘳𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦 𝘤𝘶𝘳𝘴𝘦: 𝘈 𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳𝘢𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘷𝘦𝘺. 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴.
7. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (𝘯.𝘥.). 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘦𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘵𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺.𝘰𝘳𝘨/𝘦𝘯/𝘤𝘱𝘪 (𝘚𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘵𝘳𝘦𝘯 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱𝘴𝘪 𝘥𝘪 𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢-𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘢𝘪𝘵).
8. 𝘞𝘦𝘪𝘴𝘣𝘳𝘰𝘵, 𝘔., & 𝘚𝘢𝘯𝘥𝘰𝘷𝘢𝘭, 𝘓. (2008). 𝘛𝘩𝘦 𝘝𝘦𝘯𝘦𝘻𝘶𝘦𝘭𝘢𝘯 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘩á𝘷𝘦𝘻 𝘺𝘦𝘢𝘳𝘴. 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳 𝘧𝘰𝘳 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘤𝘦𝘱𝘳.𝘯𝘦𝘵/𝘳𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵/𝘵𝘩𝘦-𝘷𝘦𝘯𝘦𝘻𝘶𝘦𝘭𝘢𝘯-𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺-𝘪𝘯-𝘵𝘩𝘦-𝘤𝘩𝘢𝘷𝘦𝘻-𝘺𝘦𝘢𝘳𝘴/ (𝘔𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘱𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧 𝘢𝘸𝘢𝘭, 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘬𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢).
𝘊𝘢𝘵𝘢𝘵𝘢𝘯: 𝘚𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳-𝘴𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘞𝘪𝘵𝘯𝘦𝘴𝘴, 𝘐𝘔𝘍 𝘳𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵𝘴, 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘥𝘦𝘮𝘪𝘴 (𝘈𝘶𝘵𝘺, 𝘙𝘰𝘴𝘴𝘦𝘳, 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘥𝘪𝘵𝘩) 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘴𝘪𝘴 𝘥𝘢𝘵𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘪𝘴. 𝘉𝘶𝘬𝘶 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘥𝘪𝘵𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘎𝘶𝘯𝘪𝘵𝘴𝘬𝘺 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴𝘵𝘶𝘢𝘭.