Mudanews.com OPINI – Hubungan persaudaraan Bung Karno dan kakaknya, Ibu Wardoyo, sangatlah dekat. Bahkan, anak-anak Bung Karno juga sangat dekat dengan budenya.
Tak heran, manakala Fatmawati meninggalkan Istana, karena Bung Karno menikahi Hartini, frekuensi kunjungan Ibu Wardoyo ke Istana menjadi semakin intens.
Sebaliknya, Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh senang jika kedatangan budenya.
Cinta Bung Karno terhadap ibu Wardoyo sangatlah besar, namun demikian kecintaannya terhadap negeri ini jauh lebih besar dari kecintan terhadap apapun bahkan terhadap dirinya sendiri.
Itulah Bung Karno yang terlahir serta tumbuh dan begitu mencintai apa yang disebut Indonesia.
Saking dekat dan cintanya Bung Karno pada kakaknya pernah suatu ketika marah besar. Kemarahan karena rasa cintanya pada negeri ini.
Kemarahan ditunjukkan Bung Karno ketika ia mengetahui Ibu Wardoyo berlatih main tenis lapangan, dan kemudian menggemari tenis lapangan sebagai olahraga rutin.
Permainan tenis lapangan, oleh Bung Karno disebut sebagai permainan mewah dan jauh dari suasana batin rakyat Indonesia. Maklumlah, pada waktu itu, sekitar tahun 50-an, olahraga tenis lapangan memang hanya dimainkan kalangan orang-orang kaya.
Bung Karno tidak mau salah satu anggota keluarganya memainkan olahraga orang kaya itu. Sebagai sosok panutan, dia harus memberi tauladan yang dimulai dari diri dan keluarganya sendiri.
Begitu pula saat Bung Karno sedang berada di puncak karir politiknya menjadi Presiden. Ibu Wardoyo untuk kedua kalinya membuat Bung Karno harus bertindak tegas.
Dipicu dari upaya seorang pengusaha Belanda untuk memasukkan proposal proyek kepada pemerintah Republik Indonesia. Kemudian, dalam rangka mengegolkan proposal tersebut, pengusaha Belanda itu melakukan pendekatan khusus kepada Ibu Wardoyo.
Celakanya, Ibu Wardoyo menyanggupi permintaan pengusaha Belanda itu, membawa proposal tadi kepada Sukarno, adiknya. Kemudian, diserahkanlah proposal itu kepada ajudan, untuk diteruskan kepada Sukarno.
Satu hal, Ibu Wardoyo lupa, Sukarno dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia, adalah Presiden bagi bangsa dan negaranya, bukan presiden untuk saudaranya. Karenanya, ia sangat marah ketika menerima proposal itu dari ajudan, dan sang ajudan mengatakan bahwa proposal itu merupakan titipan Ibu Wardoyo, kakaknya. Dengan geram, Bung Karno meremas proposal itu dan membantingnya ke lantai
Bung Karno paling anti dengan nepotisme
–
Dahono Prasetyo
(Rangkuman dari berbagai sumber)