Juni Bulan Bung Karno : Soekarno Dan Siti Oetari, Pemberontakan Pada Kekolotan

Breaking News

- Advertisement -

Mudanya.com OPINI –  Salah satu kisah menarik tentang Bung Karno adalah tentang hari pernikahan. Siti Oetari adalah perempuan pertama dalam hidup Soekarno yang dinikahinya. Perempuan yang merupakan putri sulung dari HOS (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto.

Sebagai sang mempelai, Soekarno hadir dengan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat dandanan Soekarno penghulu berkeberatan.

”Anak muda, dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen… tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.” ucap penghulu.

Soekarno membela diri dan mengatakan cara berpakaian kini ”sudah diperbaharui”

“Pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas. Buka dasi itu sekarang” bentak penghulu.

Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas.
“Biar Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”, kata Bung Karno sambil berdiri lalu bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi.

Ketika penghulu tak mau mundur, Soekarno yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu berkata:
“Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya.”

Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu.

Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia zaman itu. Bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut Bung Karno dengan ”pendirian yang kolot”.

Ada orang yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat.

Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain. Melihat ke depan, karena Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas. Berpuluh tahun raja raja melawan kolonialisme dengan gaya kolot termasuk apa agamamu apa agamaku. Hasilnya penjajahan dan kolonialis mampu memupus perjuangan dengan jalan memecah belah.

Kekolotan atas nama agama adalah celah yang berhasil dimanfaatkan untuk memecah belah.

Penulis : Dahono Prasetyo
Sumber : Buku “Istri-istri Soekarno” 2007 Reni Nuryanti

Berita Terkini