Juni Bulan Bung Karno : Cinta Sejati Soekarno dan Inggit Garnasih

Breaking News

- Advertisement -

Penulis : Arum Kusumaningtyas

Mudanews.com OPINI -Apakah Kusno akan menjadi Sukarno tanpa dirinya? Apakah marhenisme akan lahir dan berkembang menjadi dasar pergerakan PNI tanpa dirinya? Akankah Indonesia ada tanpa pengorbanannya mendampingi salah satu founding father kita dalam prosesnya?

Inggit Garnasih, mojang asli priangan, dengan nama asli Garnasih yang bermakna gunung kasih sayang. Inggit sendiri adalah julukannya dari kakak-kakaknya yang berasal dari kata “seringgit”, karena di masa kecilnya dia bertugas menjajakan keliling barang dagangan keluarganya dengan harga seringgit.

Inggit muda dipersunting salah satu kawan dagang ayahnya, H. Sanoesi yang sudah cukup berumur untuk gadis sepantarannya. H. Sanoesi sudah mapan ketika menikahi Inggit. Jadi sejak menikah, Inggit hidup enak. Tetapi dengan bergabungnya H. Sanoesi dengan Sarekat Islam nya HOS Cokroaminoto, kesibukannya semakin bertambah.

Inggit pada awal-awal karir suaminya di SI, setia mendampingi Sanoesi pergi ke pelosok-pelosok desa di Jawa Barat mensosialisasikan gerakan SI yang berintikan kebangkitan kemandirian masyarakat. Tak heran, Inggit pun menjadi tahu berbagai potensi daerahnya, terutama terkait jejamuan dan bedak dingin.

Terjadi perubahan di keluarga Sanoesi, setelah mereka dititipi oleh Cokroaminoto, sepasang suami istri muda: Kusno dan Oetari.

Mereka ke Bandung karena Kusno hendak melanjutkan pendidikannya. Di saat yang bersamaan, Inggit mulai mengalami kejenuhan mengikuti safari suaminya. Sanoesi yang sebelumnya khawatir meninggalkan Inggit sendiri di rumah, menjadi lega karena Inggit ada yang menemani. Kisah kasih yang terjalin antara Inggit dan Kusno, nama Sukarno muda….pernah ditulis oleh Mas Abdul Gaffar Karim beberapa waktu lalu.

Yang tidak banyak diketahui publik adalah, Sanoesi lah yang memberikan modal kepada Inggit untuk memulai hidup barunya dengan Kusno (Sukarno), si anak mahasiswa. Karena beban rumah tangga akhirnya harus disandang Inggit. Dan bagi Sanoesi, kebahagiaan Inggit lah yang utama.

Inggit Garnasih adalah istri Bung Karno yang terlama, 20 tahun. Dia mendampingi masa transisi Kusno yang seorang young adult dengan pemikiran besar dan masih meledak-ledak hingga menjadi sosok dewasa tangguh yang sudah ‘menep’. Siap melangkah memimpin sebuah bangsa.

Tahukah anda, bagaimana Kusno berjumpa dengan Marhen? Karena Inggit menyuruhnya keluar mencari angin segar, bersepeda, ketika dia suntuk dengan persiapan ujian kuliahnya. Inggit jugalah, satu-satunya Istri Sukarno, yang memanggil dengan nama Kusno. Seperti ayah-bunda dan kakak Sukarno, karena Inggit lah satu-satunya Istri Sukarno yang pergi ke Blitar mengunjungi orang tua dan Sukarni, kakak Sukarno. Inggit banyak kesamaan dengan ibunda Sukarno: Ida Ayu yang membuat mereka berdua akrab.

Cerita tentang kesetiaan Inggit menemani masa pembuangan Sukarno yang hampir 1/4 abad, dari Ende, Bangka, hingga Bengkulu sudah banyak diangkat. Bahkan sudah di filmkan. Tak diragukan lagi bagaimana Inggit berpegang teguh dengan kata-katanya. Bahwa lelaki adalah makhluk manja. Dia perlu direngkuh, disayang, diangkat, dirawat, disenangkan hatinya, dan dilayani untuk kemudian didorong mengejar citanya.

Sosok pribadi Inggit Ganarsih ini sangat menarik karena kecerdasannya dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang dihadapinya tatkala Kusno sudah mulai mengaum di podium dan masuk dalam radar pengawasan Pemerintah Hindia Belanda. Inggit juga menjadi penerjemah pidato-pidato Sukarno dalam bahasa sunda yang membuat pemikiran Sukarno tentang Marhenisme cepat diterima dan menyebar di Jawa Barat.

Inggit sudah memprediksi bahwa Kusno berada dalam radar pengawasan ketat pemerintah, bahkan mempersiapkan anak angkat mereka berdua, Ratna Djuami, yang sangat dekat dengan papi nya, Sukarno. Jadi ketika masa Sukarno ditangkap dan dimasukan dalam penjara berulang kali, Inggit menjadi penopang keluarga dan sekaligus PNI, diakui atau tidak.

Karena Inggit lah yang menemukan cara komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan berbagai info tentang PNI dan tokoh-tokohnya pada Sukarno.

Strategi telur rebus dan telur asin untuk menceritakan berita baik dan buruk terkait tokoh-tokoh PNI. Sedikit banyak Inggit jugalah yang membuat Sukarno menjadi seorang muslim sejati dengan ‘memaksanya’ membaca Al Quran dengan sebenar-benarnya.

Inggit buta huruf latin, tetapi dia mampu membaca Al Quran. Dan Al Quran pula yang menjadi satu-satunya buku yang bisa dibaca oleh Bung Karno di penjara. Inggit mengirimkan pesan morse dan cerita tentang kondisi di luar dengan memilih bacaan Kusno pada surat dan ayat yang relevan. Tentunya diperlukan kecerdasan dan pemahaman tentang Al Quran yang mendalam agar mampu melakukannya.

Dan setiap malam menjelang hari untuk menengok Kus tersayangnya, Inggit akan mengumpulkan seluruh info dari tokoh partai dan menuliskannya di Al quran dengan menitik dengan jarum di bawah Surat dan Ayat yang harus dibaca Sukarno.

Peran Inggit dalam proses melahirkan Indonesia sangat luar biasa. Dialah spionase terbaik. Dilakukan secara elegan semua info bisa masuk dengan bebas. Sehingga membuat Pemerintah Hindia Belanda heran dan memutuskan bahwa Sukarno harus dibuang ke luar Jawa dan dicerabut dari akarnya.

Sebagai manusia bebas, Inggit bisa tidak ikut. Tetapi dengan kerelaannya dia ikut mendampingi Sukarno. Dan dengan tabungan dan kembali bantuan dari Sanoesi, Inggit tetap menjalankan bisnis kecilnya: dagang batik, jamu dan bedak dingin. Dimana bedak dingin juga digunakan sebagai sarana mengirim pesan pada Sukarno walau memakan waktu berbulan-bulan. Bedak dingin putih untuk kondisi aman dan bedak dingin kuning jika ada yang ditangkap. Cerdas!

Inggit juga orang yang sangat gigih mempertahankan nilai yang dianutnya. Salah satunya menolak untuk dimadu. Bahkan ketika Sukarno, meminta bantuan Ratna Djuami dan Asmara Hadi suaminya untuk membujuk Inggit agar mau menerima Fatmawati.

Inggit tetap bersikukuh menolak dan minta diceraikan. Karena kekecewaan Inggit pada Sukarno yang tidak berani menjawab pertanyaan: “Apakah Kus memiliki perhatian kepada Fat, anak Hasan Dien, ketika Inggit dan Ratna Djuami pergi ke Jawa untuk menengok Ayah-Ibu Sukarno? ” Dengan bahasa halus…apakah Sang Putra Fajar selingkuh?

Sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Bung Karno, bahkan dalam Biografinya yang ditulis Cindy Adams: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Fase ini Bung Karno mencoba mencari pembenaran dengan jawaban yang berputar-putar.

Terbukti di tahun 1959, Bung Karno datang untuk menemui Inggit yang sudah berusia 72 th, untuk meminta maaf. Tentu saja si gunung kasih sayang ini memaafkan dan mengingatkan Kus agar selalu ingat baju yang dipakainya yang menjadi ikon Bung Karno adalah milik rakyat. Sungguh wanita cerdas nan mulia….Inggit Garnasih!

Berita Terkini