𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮: 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗡𝘂𝘀𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗷𝘂 𝗞𝗲𝗸𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗕𝗲𝘀𝗮𝗿 – 𝗸𝗮𝗷𝗶𝗮𝗻 𝗧𝗶𝗻𝗷𝗮𝘂𝗮𝗻 𝗦𝘁𝗿𝗮𝘁𝗲𝗴𝗶𝘀 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻𝗮𝗻 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮. Bagian I

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah Ch. Cht

Mudanews.com-Opini | Sebagai pengamat strategi pembangunan, saya melihat Indonesia bagai raksasa tidur yang perlahan membuka mata.

Potensinya sungguh luar biasa, namun jalan menuju status kekuatan besar penuh dengan tantangan kompleks yang berakar dari sejarah panjang dan kondisi geografis-sosial yang unik.

Tulisan ini hanyalah sebuah pandangan dari sisi yang berbeda dari seorang Warganegara yang sering bepergian ke berbagai daerah di Indonesia dan juga dari berbagai diskusi dengan tokoh-tokoh yang ada di negeri besar ini

𝗦𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗣𝗲𝗻𝘂𝗵 𝗧𝗮𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻

Perjalanan Indonesia dimulai dalam tekanan kolonialisme Belanda dan Jepang, yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja demi keuntungan mereka.

Kemerdekaan 1945 bukanlah akhir perjuangan.

Era Orde Lama (Soekarno) diwarnai semangat nation-building yang kuat namun juga ketidakstabilan politik dan konflik internal (seperti PRRI/Permesta dan pemberontakan G30S PKI).

Fokus pada politik global seringkali mengorbankan pembangunan ekonomi yang terstruktur. Puncaknya, hiperinflasi dan kemerosotan ekonomi yang parah.

Orde Baru (Soeharto) hadir dengan janji stabilitas dan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi nyata terjadi, didorong oleh ekspor SDA (minyak, kayu, mineral) dan investasi asing. Infrastruktur fisik dibangun.

Namun, stabilitas ini dibayar mahal: otoritarianisme, korupsi sistemik (KKN), kesenjangan ekonomi yang melebar, serta eksploitasi SDA yang tidak berkelanjutan dan merusak lingkungan.

Sentralisasi kekuasaan juga mengabaikan keragaman daerah. Kebijakan transmigrasi, meski bertujuan pemerataan, kerap menimbulkan gesekan sosial di daerah tujuan.

Reformasi (1998-sekarang) membuka katup demokrasi dan desentralisasi. Kebebasan berpendapat dan pers berkembang pesat.

Namun, transisi ini juga membawa gejolak: krisis ekonomi 1998 yang menghancurkan, konflik etnis/agama (seperti di Poso, Ambon, Kalimantan), serta tantangan baru korupsi yang terdesentralisasi.

Otonomi daerah, meski positif untuk partisipasi lokal, juga menciptakan tantangan koordinasi nasional dan munculnya “raja-raja kecil” daerah.

Demokrasi yang berbiaya tinggi dan politik transaksional menjadi tantangan tersendiri.

𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢: 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐠𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐨𝐠𝐫𝐚𝐟𝐢

Dua karakteristik dasar ini membentuk sekaligus menghadang Indonesia.

Masyarakat Multi-Etnis, Multi-Kultural, Multi-Agama adalah kekayaan tak ternilai. Ribuan bahasa, adat istiadat, seni, dan tradisi hidup berdampingan.

Namun, keberagaman ini juga rentan. Sejarah mencatat konflik bernuansa SARA yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau ekonomi.

Sentimen primordial, intoleransi, dan ketimpangan ekonomi antar kelompok bisa menjadi pemicu.

Membangun identitas nasional “Bhineka Tunggal Ika” yang kuat di atas fondasi keberagaman yang begitu luas adalah pekerjaan rumah terus-menerus.

Ini bukan hanya tentang toleransi pasif, tapi tentang menciptakan ekuitas dan keadilan sosial bagi semua kelompok.

Geografi Kepulauan yang strategis (berada di persilangan jalur perdagangan dunia) sekaligus rumit. Laut yang luas dan garis pantai terpanjang kedua dunia adalah berkah potensial untuk perikanan, pariwisata bahari, dan perdagangan maritim. Namun, ini juga berarti tantangan logistik dan konektivitas yang luar biasa.

Membangun infrastruktur transportasi (pelabuhan, bandara, jalan, tol laut) yang efisien dan merata di lebih dari 17.000 pulau membutuhkan investasi raksasa dan tata kelola yang cemerlang.

Kerentanan terhadap bencana alam (gempa, tsunami, gunung api) juga tinggi, membutuhkan sistem mitigasi dan respon yang tangguh.

𝐊𝐞𝐤𝐚𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐥𝐢𝐦𝐩𝐚𝐡, 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧…

𝐈𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐣𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐫𝐚𝐝𝐨𝐤𝐬 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚:

– SDA Agraria & Perkebunan:  Dari perkebunan sawit raksasa di Sumatera (Aceh, Riau, Sumut) dan Kalimantan, hingga kebun teh sejuk di Jawa Barat (Bandung) dan Sumatera Utara, serta tebu di Jawa Timur dan Lampung. Belum lagi rempah-rempah Maluku dan potensi di Papua. Indonesia adalah produsen utama komoditas ini secara global.

– SDA Mineral & Energi: Tambang tembaga dan emas kelas dunia di Papua (Grasberg), batubara Kalimantan dan Sumatera, nikel Sulawesi dan Maluku yang vital untuk baterai EV, bauksit (bahan baku aluminium) di Kalimantan Barat, timah di Bangka Belitung, serta potensi mineral tanah jarang. Ditambah cadangan gas alam (Blok Masela, Natuna) dan minyak bumi (meski produksi menurun) yang signifikan.

– Pariwisata & Budaya : Keindahan alam (Bali, Raja Ampat, Borobudur, Danau Toba) dan kekayaan budaya yang tak ada duanya (tarian, musik, ritual, kain tradisional) menarik jutaan turis setiap tahun, menjadi penyumbang devisa penting.

𝐏𝐚𝐫𝐚𝐝𝐨𝐤𝐬 𝐊𝐞𝐥𝐢𝐦𝐩𝐚𝐡𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐌𝐚𝐣𝐮?

Dengan semua kekayaan ini, mengapa Indonesia masih berstatus negara berkembang menengah? Inilah akar masalahnya:

𝐊𝐮𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐥𝐚𝐦 (𝐑𝐞𝐬𝐨𝐮𝐫𝐜𝐞 𝐂𝐮𝐫𝐬𝐞):

Ketergantungan berlebihan pada ekspor bahan mentah membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.

Saat harga tinggi, terasa makmur. Saat jatuh, defisit dan krisis mengintai. Pola ini berulang sejak Orde Baru.

𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐓𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡 𝐌𝐢𝐧𝐢𝐦:  Indonesia terlalu sering menjadi pengekspor bahan mentah (CPO, bijih mineral, batubara, gas alam cair) yang harganya ditentukan pasar global.

Negara-negara maju seperti Singapura (pusat perdagangan dan pemurnian),  China (pemrosesan mineral dan manufaktur), Amerika Serikat dan Jepang (investasi di ekstraksi dan konsumen akhir) serta Korea Selatan memanfaatkan SDA Indonesia sebagai input industri mereka yang bernilai tinggi. Indonesia kehilangan potensi pendapatan, lapangan kerja terampil, dan penguasaan teknologi dari hilirisasi.

𝗧𝗮𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗹𝗼𝗹𝗮 & 𝗞𝗼𝗿𝘂𝗽𝘀𝗶:

Ini adalah kanker utama. Pengelolaan SDA seringkali ditandai dengan transaksi tidak transparan, pemberian izin yang bermasalah, kebocoran pendapatan negara (baik dari pajak maupun royalti), dan praktik korupsi dari hulu ke hilir.

Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah menjadi garda depan yang rentan disalahgunakan.

Korupsi menggerogoti anggaran pembangunan, merusak lingkungan, dan melemahkan kepercayaan publik serta investasi.

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 & 𝐒𝐃𝐌 :

Infrastruktur transportasi, energi, dan logistik masih belum merata dan memadai, menghambat efisiensi ekonomi dan konektivitas antar pulau.

Kualitas pendidikan dan kesehatan belum merata, menghasilkan angkatan kerja yang kurang terampil untuk industri bernilai tambah tinggi. Brain drain juga menjadi masalah.

𝐊𝐞𝐭𝐞𝐫𝐠𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 & 𝐊𝐞𝐫𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 :

Ekonomi masih sangat bergantung pada beberapa sektor utama (terutama komoditas dan konsumsi domestik).

Ketika terjadi guncangan eksternal (resesi global, pandemi) atau penurunan harga komoditas, dampaknya langsung terasa berat…(bersambung)

Berita Terkini