Mudanews.com OPINI – Istilah bulan Bung Karno pasti tidak akan muncul di era orde baru, demikian juga di awal Reformasi dugaan penulis istilah ini muncul di tengah masyarakat sejak Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 di canangkan pada tahun 2016 atau tepatnya berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia no.24 tahun 2016 tentang Hari Lahirnya Pancasila
Periode sebelum itu, kelahiran Pancasila hanya di kalangan terbatas saja yakni masyarakat yang mencintai Bung Karno sebagai Proklamator dan Penggali Pancasila dari bumi Nusantara.
Tidak akan pernah penulis lupakan, anak anak GMNI meminta untuk hadir sebagai nara sumber dalam memperingati Hari Lahirnya Pancasila di tahun 2003. Tempatnya di depan rumah dinas Rektor Undip , kampus Pleburan dengan mendirikan tenda. Tentu saja dengan terlebih dahulu meminta izin pada Prof.Eko Budihardjo selaku Rektor.
Rasanya mau menangis, ingin memperingati Sang Proklamator mengapa harus sembunyi dalam senyap padahal orba sudah berlalu sejak kejatuhannya di tahun 1998? .Masyarakat masih saja gamang untuk memperingatinya secara terbuka.
Oleh karena itu sejak tahun 2016, sebagai warga bangsa merasa bersyukur dengan adanya legitimasi tersebut.gembira, bangga,.terharu bercampur menjadi satu setelah cukup lama memendam rindu.
Bagi kelompok Nasionalis sekaligus sebagai ” anak ideologis ” Bung Karno, bulan Juni selalu dianggap sebagai momentum tepat untuk merenung dan berkontemplasi atas ajaran ajaran beliau yang sampai hari ini masih sangat relevan.
Kekaguman kepada Bung Karno sudah tumbuh sejak penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Apabila beliau berkunjung ke Semarang, bersama teman teman sekolah kita selalu meng elu elukan bapak Presiden dengan membawa bendera merah putih dengan penuh semangat.
Setelah dewasa dan menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi Undip, keingintahuan tentang Bung Karno makin menebal , dari buku buku sejarah yang saya baca ternyata Bung Karno mulai menggeluti masalah politik sejak berusia 16 tahun. Tanah air masih berada di dalam cengkeraman kolonialisme, imperialisme dan feodalisme yang melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat luas.
Berikut ini adalah periodisasi Soekarno muda di kancah politik, mulai memenuhi gejolak politik di usia 16 tahun, pada usia 20 tahun mulai serius menekuni politik, dan di usia 21 tahun sudah berani tampil di depan publik, akhirnya pada usia 26 mendirikan partai politik bernama Partai Nasionalis Indonesia atau PNI( 4 Juli 1927) yang bertujuan mencapai Kemerdekaan Indonesia.
Sungguh cita cita yang sangat luar biasa di zaman itu. Soekarno tidak mudah menyerah dan tidak pernah puas, sebelum cita citanya tercapai.
Bilamana ingin memahami Bung Karno, berarti harus membaca buku buku karya tulis beliau seperti Dibawah Bendera Revolusi sebanyak dua jilid tebal, Sarinah yang didekasikan pada ” pamomongnya” , tidak ketinggalan bukunya Cindy Adams ,seorang jurnalis perempuan berkebangsaan Amerika yang mencintai Indonesia.Kemudian ada Perempuan di mata Soekarno, di tulis oleh Nurani Soyomukti, yang terakhir karya Airlangga Pribadi Kusman bertajuk ” Merahnya Ajaran Bung Karno : Narasi Pembebasan a la Indonesia “, terbitan Mei , 2023.
Masih ada buku menarik berjudul ” Bung Karno Menggugat ” karya DR.Baskara T.Wardaya, SJ, seorang rokhaniawan yang pernah mengecap kuliah di Marquette University, Milwaukee, AS tahun 1993 – 2001 di bidang Sejarah. Uraiannya demikian menukik dan sangat detail, mulai dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal tahun 1965 hingga Peristiwa G30S.
Ketika cucu sulung penulis yang duduk di SMP mendapat tugas sekolah membuat resensi tentang buku Bung Karno, pilihannya jatuh pada buku Bung Karno Menggugat. ” Keren dan seru ” komentarnya, mewakili genZ.
Sebaiknya para guru Sejarah harus mendorong siswanya agar belajar lebih banyak tentang Bapak Bangsa Bung Karno maupun sejarah pergerakan lainnya.
Di Amerika saja , sebuah negara maju di belahan dunia Barat sampai hari ini masih meletakkan Sejarah sebagai tonggak utama dalam pendidikan generasinya.
Kelemahan kita di dalam menginternalisasi Sejarah Bangsa, berakibat fatal karena genZ tidak lagi mengenal jati dirinya sebagai bangsa besar, beradab, dan memiliki tingkat kebudayaan tiada tara.
Meng ” uri uri ” budaya serta kearifan lokal nampak makin menipis. Menurut pakar Sejarah senior Prof.Sartono Kartodirdjo, ” Suatu bangsa, tidak mungkin mengenal dan memiliki identitas bilamana dia tidak mengetahui sejarah”.
Kesadaran sejarah, merupakan sumber inspirasi dan aspirasi, di samping sangat potensial untuk membangkitkan ” sense of pride ” dan ” sense of obligation ”
Salah satu peristiwa sejarah yang membuat luka mendalam bagi bangsa Indonesia yang disebut dengan deSoekarnoisasi. Peristiwa deSoekarnoisasi yang berlangsung selama orba, selalu membayang di pelupuk mata karena tidak hanya menyangkut masalah mengenyam kesempatan pendidikan bagi generasi muda juga mematikan karier para birokrat yang mendapat stigma sebagai Soekarnois.
Contohnya , kasus mas Guntur dan mbak Mega yang dipaksa berhenti kuliah dari ITB dan UNPAD kemudian di Fakultas Psikologi UI pasca kejadian G30S. Kejadian yang tragis tersebut juga dialami oleh teman teman aktivis GMNI yang kuliah di Fakultas Kedokteran UI.
Pelarian politik ini kemudian lari ke Jawa Tengah dan melanjutkan kuliahnya di FK Undip berkat bantuan alm Prof Boedhidarmojo selaku Dekan pada saat itu. Akhirnya semua dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik, bahkan banyak pula yang kemudian menjadi dokter Spesialis mumpuni di masyarakat.
Masih ada korban lain yang perlu di ingat yaitu para pamong praja atau istilah sekarang PNS/ ASN,mereka sebagian besar adalah anggota PNI / Partai Nasionalis Indonesia mulai dari tingkat Pusat sampai pelosok desa. Merasa kurang nyaman dengan pengikut Soekarno, maka dalam waktu singkat disapu bersih oleh rezim Soeharto, melalui Litsus, Ditsospol Prop/Kab/Kota. Kelompok ini kemudian banyak dikucilkan, serta tidak memperoleh jabatan, di pensiun dini dan diganti oleh militer dan Golkar.
Nasib yang sama juga dialami oleh para mahasiswa tugas belajar yang dikirim Pemerintah Indonesia ke negara negara Eropa Timur dan Uni Sovyet( dulu) untuk belajar nuklir, idustri, teknologi ,dll
Riwayat para Exile yang tidak bisa pulang ke Indonesia dalam keadaan stateless ini kemudian diangkat di layar lebar berjudul ” Surat dari Praha “, dibintangi oleh aktor kawakan Tio Pakusadewo , diputar sekitar tahun 2022 sesudah covid berlalu . Film yang sangat excellent dan menyentuh sanubari siapa saja yang menontonnya, bahkan separoh penonton berurai air mata sepanjang pertunjukkan.Mereka menjadi gelandangan politik tanpa warga kenegaraan , tercerabut dari tanah kelahirannya.
Pada era pemerintahannya Jokowi, pernah oleh Menkopolhukam Machfud MD diupayakan untuk kembali memperoleh statusnya sebagai WNI
Namun sayang belum berhasil ,semoga kali ini pemerintahan baru berhasil dalam diplomasinya . Sungguh memalukan bagi NKRI yang katanya religius dan menghormati Peri Kemanusiaan yang adil dan beradab tetapi warga negaranya terlunta lunta di luar negeri.
Sisi gelap dan sisi terang Sejarah harus dibuka dengan gamblang kepada generasi penerus tanpa mencoba menutup nutupinya atau memolesnya.
Dengan membalut semua kebaikan kebaikan dalam kemasan yang indah, heroik dan gemerlapan.
Kabar yang terhembus beberapa hari ini adalah rencana pemberian gelar pahlawan pada alm bapak Soeharto. Pada saat bersamaan pemerintah juga berniat untuk menulis ulang Sejarah Indonesia versi baru
Apa ini benar suatu langkah yang bijak, lagipula apakah semua Presiden Indonesia harus diberi gelar Pahlawan ?? mari kita renungkan bersama dengan hati yang jernih dan jujur .
Sebagai penutup penulis mengajak pada semua anak bangsa untuk Bukakan nurani, sebarkan empati
Kepalkan tangan , beri harapan dan mengingatkan dengan mengutip kata-kata bijak dari mantan presiden ke-5 Megawati Sukarno Putri yang beliau kemukakan saat Rakenas II PDI Perjuangan tanggal 12 Oktober 2012 di Surabaya
” Orang lupa bahwa politik adalah proyek sejarah dan ideologi, kerja menyusun satu demi satu sendi sendi kehidupan dan batu batu peradaban yang memungkinkan keseluruhan kemanusiaan kita termanifestasi dan berkembang ”
Semarang, 2Juni 2025
Oeoel Djoko Santoso Eksponen Marhaenis yang tinggal di Semarang