Melawan Lupa: Perempuan Asal Semarang, Indonesia Pernah Menjadi Ibu Negara RRC

Breaking News

- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI – Tak banyak yang tahu, sejarah Asia modern pernah mencatat bahwa seorang perempuan asal Semarang, Indonesia, pernah menjadi ibu negara Tiongkok. Namanya Oei Hui-lan, seorang sosialita anggun, cerdas, dan berpengaruh dalam dunia diplomasi internasional. Sejarah seperti ini sering luput dari buku pelajaran dan sengaja dilupakan oleh sistem pendidikan kita yang lebih sibuk memuja pahlawan politik daripada menggali mutiara dari akar budaya dan peran diaspora.

Lahir pada 21 Desember 1889 di Semarang dari keluarga Tionghoa peranakan, Oei Hui-lan adalah anak perempuan dari taipan legendaris Oei Tiong Ham, yang dijuluki “Raja Gula Dunia”. Kekayaannya di era kolonial Hindia Belanda ditaksir mencapai 200 juta gulden, atau sekitar Rp. 44 triliun dalam kalkulasi hari ini. Ia mengendalikan bisnis besar di sektor gula, kopi, tembakau, hingga opium, dan menjadi figur yang ditakuti sekaligus dihormati oleh penjajah Belanda.

Semarang menjadi saksi tumbuhnya Hui-lan dalam kemewahan tak tertandingi. Ia tidak hanya hidup dalam istana seluas 80 hektar, tetapi juga dibesarkan dengan standar Eropa berbahasa Inggris, Prancis, dan Belanda, menyantap menu chef kelas dunia, dan bergaul dengan bangsawan lintas benua. Inilah ironi, ketika sebagian besar rakyat Indonesia dijajah, seorang anak pribumi Tionghoa hidup selevel aristokrat Eropa.

Nasib membawanya ke London setelah perceraian dari suami pertamanya. Di kota ini ia bertemu Wellington Koo, diplomat brilian yang mewakili China di Konferensi Perdamaian Versailles 1919, dan tokoh penting dalam pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB). Mereka menikah pada 1921, dan Hui-lan resmi menjadi pendamping Koo dalam berbagai misi diplomatik internasional.

Puncak peranannya terjadi pada 1926, saat Wellington Koo menjabat Pelaksana Tugas Presiden Republik Tiongkok, pasca wafatnya Sun Yat Sen. Secara de facto, Oei Hui-lan menjadi ibu negara Tiongkok, perempuan asal Semarang yang berdiri di panggung kekuasaan negara besar, jauh sebelum Tiongkok menjadi negara komunis seperti saat ini.

Mewakili Timur dengan Wawasan Global

Sebagai ibu negara dan istri diplomat, Oei Hui-lan bukan hanya pelengkap estetika. Ia dikenal cerdas, diplomatis, dan menjadi jembatan antara Timur dan Barat. Kepribadiannya yang memesona membuatnya masuk dalam sorotan media dunia, termasuk Vogue dan Time. Ia dikenal punya pengaruh dalam pergaulan elit global, bahkan berteman dengan tokoh-tokoh seperti keluarga kerajaan Inggris.

Sayangnya, sejarawan di Indonesia nyaris tak pernah membahas perannya. Padahal, ia adalah bukti nyata bahwa perempuan dari Nusantara pernah punya posisi penting dalam sejarah internasional, jauh melampaui citra perempuan pinggiran yang sering dipaksakan dalam narasi nasionalistik sempit.

Setelah masa jabatannya berakhir, Hui-lan dan Koo menetap di Shanghai, kemudian ke Paris dan New York. Mereka bercerai pada 1958, dan Oei Hui-lan tinggal di Manhattan bersama anak-anaknya.

Oei Hui-lan meninggal di New York pada tahun 1992 dalam usia 102 tahun. Ia dimakamkan jauh dari Semarang, kota kelahirannya. Ia meninggalkan warisan bukan hanya dalam bentuk cerita keluarga elite Tionghoa, tetapi juga sebagai simbol bahwa perempuan Nusantara pernah menjadi bagian dari sejarah besar dunia.

Catatan Tambahan Sejarah: Oei Tiong Ham adalah orang Asia pertama yang masuk dalam jaringan kapitalis kolonial Belanda dan diangkat sebagai “Majoor der Chineezen”, jabatan tertinggi dalam struktur pemerintahan Tionghoa di Hindia Belanda.

Wellington Koo pernah menjadi Duta Besar Tiongkok untuk AS, Inggris, Prancis, dan PBB, serta sempat mencalonkan diri sebagai Sekjen PBB di era 1950-an.

Dalam sejarah diplomasi internasional, pasangan Koo–Hui-lan sering disandingkan dengan pasangan Eleanor – Franklin D. Roosevelt karena pengaruh dan gaya hidup modern mereka.

Meski hidupnya sudah mapan di luar negeri, Hui-lan tidak sepenuhnya memutuskan hubungan dengan tanah kelahirannya, Indonesia. Menurut peneliti Sam Setyautama dalam bukunya Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2009), pada 1986 Oei Hui-lan sempat berbisnis di Indonesia dalam bidang pengapalan, tembakau, dan sepeda. Namun seluruh usahanya gagal karena tidak memahami sepenuhnya iklim bisnis pasca-Orde Baru yang sudah berubah drastis dari masa kolonial.

Ia menulis memoar berjudul “No Feast Lasts Forever” (1975), yang kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Tugu Hotels dengan judul “Kisah Putri Sang Raja Gula dari Semarang”. Dalam buku itu, Oei Hui-lan menggambarkan perjalanan hidupnya dari gadis Semarang hingga menjadi ibu negara China dengan gaya naratif yang sarat nuansa nostalgia, kritik sosial, dan refleksi.

Sejarah yang Dilupakan Bangsanya Sendiri

Nama Oei Hui-lan mungkin asing bagi anak-anak sekolah kita hari ini. Namun ia adalah potret konkret bagaimana perempuan Indonesia bisa menjadi tokoh dunia tanpa perlu mengangkat senjata atau berkampanye politik. Ia memadukan kecerdasan, keberanian, dan latar belakang budaya yang kuat untuk menembus batas-batas geopolitik yang biasanya hanya dimasuki kaum laki-laki.

Di tengah arus lupa terhadap peran diaspora dan kontribusi kaum perempuan dalam sejarah Asia, Oei Hui-lan hadir sebagai oase, perempuan Indonesia, keturunan Tionghoa, yang pernah duduk sebagai Ibu Negara Tiongkok. Bukan karena warisan kekuasaan, tapi karena kelas, karakter, dan kapabilitas.

Di saat bangsa ini masih ribut soal siapa paling asli, siapa paling pribumi, siapa paling Pancasilais, sejarah justru menyodorkan ironi yang mencerahkan: bahwa perempuan Indonesia pernah memimpin di negeri yang kini menjadi kekuatan dunia, sementara kita masih sibuk membatasi langkah perempuan dalam politik lokal.

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat sosial media, pendiri The Activist Cyber.

Sumber: Berbagai informasi sejarah via Google.

Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu 1 Juni 2025, 12:09 Wib.

Berita Terkini