Oleh: Zidan Fathur Rahman
Pertanyaan yang ada di judul tulisan ini bukan sekadar pancingan iseng-iseng. Ini pertanyaan yang sering menghantui kepala mahasiswa yang sedang mencari-cari makna dari segala kesibukan yang dijalani.
Kuliah sudah padat, tugas menumpuk, magang makin dilirik, tapi organisasi tetap hadir sebagai semacam ruang lain. Ruang yang tidak bisa dijawab dengan logika untung-rugi. Karena buat sebagian orang, organisasi itu bukan soal pilihan. Ia adalah panggilan
Banyak yang masuk organisasi cuma karena ajakan teman. Atau karena takut disebut mahasiswa kupu-kupu. Atau biar CV-nya agak berisi kalau nanti melamar beasiswa. Tidak salah. Tapi menariknya, dari yang awalnya cuma ikut-ikutan, tidak sedikit yang akhirnya tenggelam.
Bukan karena kecelakaan, tapi karena pelan-pelan mereka merasa organisasi itu punya getar. Ada sesuatu yang bikin mereka betah meskipun capek. Ada sesuatu yang bikin mereka bertahan meskipun kadang merasa nggak dihargai
Di tengah budaya kampus yang makin pragmatis, pilihan untuk berorganisasi makin terasa berat. Magang di perusahaan menjanjikan lebih banyak hal. Ada uang transport, ada supervisor yang bisa jadi relasi, ada peluang kerja setelah lulus.
Sementara organisasi sering kali dianggap buang-buang waktu. Rapat berjam-jam tanpa hasil. Idealisme kelewat tinggi, realisasi minim. Belum lagi drama internal yang kayak sinetron stripping
Tapi apa iya organisasi benar-benar kalah makna dibanding magang. Di sinilah semua bergantung pada cara kita memaknai pengalaman. Magang memang bisa memperkaya CV. Tapi organisasi memperkaya cara pandang.
Di organisasi kamu belajar berinteraksi dengan orang yang pikirannya beda jauh. Belajar menyusun acara dari nol, meskipun kadang batal juga. Belajar memimpin tanpa merasa paling benar. Dan yang paling penting, belajar hadir tanpa harus diminta
Soe Hok Gie pernah bilang bahwa ia percaya dunia ini mestinya dihiasi oleh orang-orang yang rela bekerja dalam senyap, tidak banyak bicara tetapi bekerja keras. Kalimat itu barangkali pas untuk menggambarkan mereka yang tetap bertahan di organisasi meski tidak pernah tampil di depan. Yang kerjaannya mungkin hanya pegang logistik, tapi tanpa dia acara bisa bubar. Yang nggak banyak gaya, tapi selalu jadi yang pertama datang dan terakhir pulang.
Berorganisasi itu soal rasa memiliki. Rasa bahwa kamu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tapi juga soal menumbuhkan empati.
Di organisasi, kamu nggak bisa kerja sendiri. Kamu harus belajar menyesuaikan ritme dengan banyak kepala. Belajar mengalah tanpa merasa kalah. Belajar menegur tanpa menyakiti. Semua itu nggak diajarkan di kelas. Nggak tertulis di modul.
Orang-orang yang bertahan di organisasi biasanya bukan karena mereka punya banyak waktu luang. Justru sering kali mereka paling sibuk. Tapi mereka merasa apa yang mereka lakukan punya arti. Mereka merasa ini bukan kegiatan iseng. Ini adalah bagian dari jalan hidup yang sedang mereka pilih. Atau lebih tepatnya, yang memanggil mereka.
Maka kalau kamu merasa lebih hidup saat kerja bareng teman-teman organisasi, kalau kamu merasa senang meskipun lelah, kalau kamu merasa tidak tenang saat agenda berjalan tanpa kehadiranmu, bisa jadi kamu bukan sedang memilih organisasi. Kamu sedang menjawab panggilan.
Dan di sanalah makna berorganisasi itu hadir. Bukan dari banyaknya proker atau seberapa sering kamu bicara di forum. Tapi dari momen-momen sederhana yang bikin kamu merasa berarti.
Dari perjalananmu menjadi manusia yang lebih peduli. Lebih tangguh. Dan lebih siap hidup di tengah dunia yang sering kali menuntut banyak, tapi memberi sedikit.