Perspektif Komparatif dengan Norwegia, Jepang, dan Negara Maju Lainnya
Oleh Drs Muhammad Bardansyah
Mudanews.com-Opini | Indonesia, negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki potensi maritim yang luar biasa. Namun, hingga kini, negara ini masih tertinggal dalam mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim berdaulat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐭𝐢𝐦 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭 : 𝐬𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐣𝐚𝐡𝐭𝐞𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐚𝐧.
Bagian ini akan menganalisis mengapa Indonesia belum mencapai kemajuan seperti Norwegia, Islandia, atau Jepang, meski memiliki sumber daya dan strategi yang serupa.
Dengan merujuk pada pemikiran ahli global dan studi kasus negara-negara sukses, beberapa faktor kritis akan terungkap.
𝐓𝐚𝐭𝐚 𝐊𝐞𝐥𝐨𝐥𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐟𝐫𝐚𝐠𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐯𝐬. 𝐃𝐞𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐤𝐨𝐨𝐫𝐝𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢
Norwegia dan Jepang menjadi contoh bagaimana desentralisasi yang terkoordinasi mampu mengelola kompleksitas geografis.
Norwegia menggunakan pemerintahan digital untuk menghubungkan daerah terpencil, sementara Jepang memberdayakan prefektur dengan kebijakan ekonomi spesifik (Fukuyama, 2014).
Di Indonesia, desentralisasi justru sering menciptakan fragmentasi. Otonomi daerah tidak diimbangi dengan kapasitas birokrasi lokal, terutama di wilayah tertinggal seperti Papua.
Akibatnya, kebijakan sering tumpang tindih, dan anggaran daerah bocor akibat korupsi.
Misalnya, program “Satu Desa, Satu Produk Bahari” yang diusulkan dalam artikel sebelumnya masih terhambat oleh minimnya infrastruktur digital dan rendahnya akuntabilitas pengelolaan dana desa.
Berbeda dengan Norwegia, di mana transparansi anggaran dan partisipasi masyarakat menjadi fondasi tata kelola, Indonesia masih terjebak dalam budaya paternalistik, di mana elit lokal lebih dominan daripada partisipasi warga (Transparency International, 2021).
𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐁𝐢𝐫𝐮 𝐯𝐬. 𝐄𝐤𝐬𝐩𝐥𝐨𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐫𝐚𝐝𝐢𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥: 𝐉𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐤𝐮𝐥𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐤𝐥𝐮𝐬 𝐊𝐞𝐦𝐢𝐬𝐤𝐢𝐧𝐚𝐧𝐢
Gagasan Gunter Pauli tentang ekonomi sirkular (Pauli, 2010) telah sukses di Filipina dan Islandia, di mana sumber daya laut dikelola tanpa merusak ekosistem.
Islandia, misalnya, membangun sistem kuota perikanan ketat pasca-krisis overfishing tahun 1970-an, sehingga kini menjadi eksportir ikan terbesar di Eropa.
Di Indonesia, praktik serupa seperti sertifikasi hak kelola nelayan di Wakatobi masih bersifat parsial. Mayoritas nelayan tradisional tetap bergantung pada alat tangkap merusak, dan industri perikanan skala besar sering mengabaikan prinsip keberlanjutan.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari struktur ekonomi yang timpang.
Tengkulak (tauke), sebagai aktor dominan di rantai pasok perikanan, menjadi penghambat utama keberdayaan nelayan.
Sebagian besar nelayan di pesisir Indonesia hidup dalam kemiskinan struktural: mereka tidak memiliki perahu, akses pasar, atau modal.
Untuk bertahan hidup, nelayan terpaksa meminjam dana dari tauke dengan bunga tinggi (bisa mencapai 20-30% per bulan), yang kemudian menjerat mereka dalam siklus utang tak berujung (Siregar et al., 2018).
Tengkulak juga menguasai akses ke pasar, memonopoli distribusi, sehingga nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapan kepada tauke dengan harga murah—seringkali 30-50% di bawah harga pasar.
Lebih ironis, banyak tauke awalnya adalah tengkulak yang memonopoli perdagangan hasil laut.
Mereka menggunakan kekuatan modal untuk membeli aset nelayan, seperti perahu atau alat tangkap, yang disita saat nelayan gagal melunasi utang.
Praktik ini mengubah nelayan dari pemilik aset menjadi buruh di lautnya sendiri.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, 70% nelayan tradisional kehilangan kepemilikan perahu dan terpaksa menyewa dari tauke (KKP, 2022).
Akibatnya, nelayan terjebak dalam kemiskinan abadi, sementara tauke menguasai 80% rantai nilai perikanan (World Bank, 2020).
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan penguasaan negara atas kekayaan alam untuk rakyat, tetapi implementasinya terdistorsi oleh dominasi korporasi dan jaringan tengkulak.
Di Norwegia, pemerintah membatasi monopoli melalui koperasi nelayan yang dikelola secara transparan, sementara di Indonesia, kebijakan seperti itu belum efektif.
𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐕𝐨𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐋𝐨𝐤𝐚𝐥
Finlandia dan Korea Selatan menunjukkan bagaimana pendidikan vokasi berbasis industri bisa mencetak SDM unggul.
Finlandia memiliki sekolah maritim yang kurikulumnya dirancang bersama industri pelayaran, sementara Korea Selatan mengintegrasikan magang di galangan kapal Hyundai (Darling-Hammond, 2010).
Di Indonesia, pendidikan vokasi maritim masih terkesan sebagai “sekolah pinggiran”. Kurikulum terlalu teoritis dan tidak menyentuh kebutuhan riil, seperti teknologi akuakultur atau manajemen logistik pelabuhan.
Budaya yang memandang “kuliah harus di kota” juga memperparah kondisi. Anak-anak pesisir lebih memilih jurusan hukum atau ekonomi di perkotaan, padahal potensi ekonomi lokal di sektor maritim jauh lebih menjanjikan.
Akademi Maritim Nusantara yang diusulkan dalam artikel belum terwujud karena minimnya komitmen anggaran dan dukungan politik.**(bersambung)