Ditulis Oleh :Heru Subagia Pengamat Ekonomi dan Politik
Mudanews.com OPINI | Ribut dan riuh pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di orkestrasi sedemikian rupa hingga mempunyai profiling jika proyek pemerintah populis tersebut bakal menjadi portofolio besar bagi Pemerintah Prabowo.
Begitu banyak kementerian yang dilibatkan dan juga rancangan anggaran serta cakupannya wilayah yang spektakuler hingga menimbulkan berbagai wacana dan diskusi baik yang mendukung atau menolak dan bahkan akhirnya juga memunculkan para kaum apatis. Mereka adalah minoritas masyarakat yang sudah pesimis dan tahu betul jika proyek Koperasi Desa hanya wacana kosong, atau produk kebijakan “omon-omon”.
Kritik Elite
Sangat menarik ketika menyimak dan menbahasnya pertanyaan dari salah satu anggota DPR RI dari PDI-P berkaitan diksi Koperasi Desa yang akan menggulung untuk Rp 1 Milyar/ tahun.
Anggota Komisi VI Fraksi PDI-P Darmadi Durianto pun mempertanyakan keuntungan tersebut didapatkan dari mana perhitungan dan daya dukungannya dalam acara saat Rapat Kerja bersama Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025).
Darmadi menyoroti program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang disebut bisa meraup Rp 1 miliar, Ia mempertanyakan keuntungan tersebut didapatkan dari mana.
Hitung Untung Dari Mana
Ketidakpercayaan Anggota Dewan tersebut mengingatkan cerita lama dimana model usaha yang hampir sama dengan Koperasi Desa pernah dibuat dan dieksekusi hingga berjumlah ribuan di seluruh pelosok desa Indonesia.
Dengan bisnis model seperti Koperasi Desa banyak pihak meragukan dapat mendapatkan untung Rp 1 miliar. Dengan membandingkan dengan BUMDes, di mana hanya 26 BUMDes dari 80.000 yang mendapatkan keuntungan di atas Rp 1 miliar. BUMDes yang berhasil yakni sekitar 56% itu di bidang keuangan, 40% bergerak di bidang perdagangan dan jasa, serta 4% di ketahanan pangan.
Koperasi Desa mendapatkan keuntungan, yang terjadi justru merusak ekosistem usaha yang sudah berjalan di desa-desa dan dilakukan oleh UMKM. Bisnis Koperasi Desa yang bersifat monopoli dan homogen justru hanya akan menjadi predator bagi usaha yang sudah ada ( captive market) bukan menambah market. Pasar yang ada akan dipaksa diambil oleh Koperasi Desa.
Seperti diketahui, Koperasi Desa akan mewajibkan memiliki 7 unit bisnis, seperti kantor koperasi, kios sembako, unit simpan pinjam, klinik kesehatan, apotek, pergudangan, dan logistik. Jenis unit bisnis ini tentunya nyaris sebagian besar sudah dikerjakan oleh pelaku usaha di desa-desa.
Faktanya kehadiran UMKM yang sudah berjalan bahkan bertahan puluhan tahun tersebut terbukti menjadi kekuatan ekonomi ritail pada saat Covid melanda dan juga ekonomi sedang terjadi resesi persis yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. Ratusan juta masyarakat terselamatkan secara lapangan pekerjaan dan ekosistem yang dibangunnya.
Proyek Gagal Bikin Malu Prabowo
Kekawatiran paling mendalam yakni ketika Proyek Koperasi Desa ini sudah digadang-gadang oleh Pemerintah Prabowo ternyata ambruk atau gagal. Dengan melihat progres berjalannya pembentukan dan juga dinamika Koperasi Desa, terlihat pesimisme banyak pihak.
Kendati sudah dibentuk tim khusus percepatan pembentukan Koperasi Desa justru semakin memperlihatkan dan memperjelas kondisi posisi Koperasi Desa sebenarnya dimana terdapat banyak kelemahan tehnis atau bahkan subtansi.
Buat Biaya Notaris Tidak Ada Duit
Pertama, ternyata dana yang dibutuhkan hanya untuk pendirian Koperasi Desa saja belum ada kepastian jumlah dan pihak yang mengeluarkan biaya. Disebut jika biaya notaris dapat diambil dari APBD namun banyak Pemerintah Daerah keberatan karena terdesaknya dana daerah untuk prioritas pembangunan daerah.
Sementara Kementrian Desa dan Daerah Tertinggal Yandri Susanto menganjurkan opsi biaya notaris dapat diambilnya dari dana desa. Namun demikian, Pemerintah Daerah banyak yang terbebani jika pembiayaan notaris diambil dari pos anggaran yang sudah dirinci penggunaannya untuk pembangunan desa.
Modal Harus Dikembalikan
Yang kedua berkaitan pendaan Koperasi Desa berasal cari pihak ke-3 artinya bukan bantuan dari sumber APBN tetapi dibiayai oleh Bank Negara. Zulkifli Hasan Menko Pangan dan Koordinator Percepatan Pembentukan Kopdes menyebutkan Koperasi Desa sebagai unit usaha bisnis murni.
Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan sudah menyampaikan sangat jelas jika Koperasi Desa Merah Putih akan memperoleh plafon pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Zulhas menegaskan, dana sebesar Rp 3 miliar per koperasi bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Artnya Kopdes harus profesional selaku badan usaha yang dimodali langsung oleh Bank Negara, unit usaha tersebut wajib untung dan mengembalikan modal selama sedikitnya 6 tahun.
Berfikir Ngawur
Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana cara berpikir dan analisanya ketika Koperasi Desa baru berdiri dan dapat memenuhi syarat melakukan pinjaman ke Bank?
Bukannya untuk mengajukan syarat pinjaman ke Bank itu harus mempertimbangkan 3 hal yakni 3C Colatetal, Capacity dan Character?
Kolateral adalah jaminan seperti akte tanah,BPKB mobil. Capapacity yakni minimal usaha berdiri, omset yang sedang berjalan, keuntungan yang sudah didapatkan, kemampuan bayar dan Character: Dapat dipercaya, rekomendasi dari vendor, tidak blacklist di- checking.
Kesimpulan, dari tiga syarat tersebut tidak ada satu pun yang dimiliki oleh Koperasi Desa. Namanya koperasi desa baru atau belum dibentuk, belum berjalan dan beraktivitas.
Karenanya disimpulkan Program dan eksekusi beserta keterkaitan dengan lembaga atau kementerian lainnya dikatakan Koperasi Desa adalah kebijakan Utopia/ Halu.