Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht
Saya suka membaca pendapat ahli strategi Pembangunan tentang pandangan mereka dalam membangun sebuah negeri.
Dalam tulisan ini saya ingin merangkum pemikiran mereka mengenai strategy pembangunan berkelanjutan menghubungkannya dengan fakta yang terjadi serta mengkaitkannya dengan cita-cita untuk membangun negeri sesuai cita-cita yang tercantum dalam UUD 45.
Disclaimer : Tulisan ini hanyalah pandangan saya sebagai warganegara yang telah hidup lebih kurang 56 tahun, pandangan ini bisa saja berbeda dengan orang lain namun inilah sumbangan rakyat untuk negeri .
Mudanews.com-Opini | Dipakai atau diabaikan bukanlah sesuatu yang menjadi focus tapi setidaknya saya percaya masih ada yang berfikir bahwa negeri ini masih bisa lebih maju dengan melihat pendapat ahli dan mengkoloborasikan pemikiran mereka dengan fakta yang ada
𝐌𝐞𝐫𝐚𝐧𝐜𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐭𝐚 𝐊𝐞𝐥𝐨𝐥𝐚 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐄𝐟𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟
Prof. Francis Fukuyama (Stanford University), dalam bukunya “Political Order and Political Decay” (2014), meneliti bagaimana negara-negara dengan geografi kompleks seperti Indonesia membutuhkan desentralisasi yang kuat namun terkoordinasi.
Contoh Negara:
– Norwegia – Sukses mengelola daerah terpencil melalui “pemerintahan digital” dan otonomi daerah berbasis sumber daya alam.
– Jepang – Sistem prefektur yang memungkinkan setiap pulau-pulau kecil memiliki kebijakan ekonomi khusus.
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐩𝐮𝐥𝐚𝐮𝐚𝐧: 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐅𝐮𝐤𝐮𝐲𝐚𝐦𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚
Bayangkan Indonesia sebagai rumah besar yang terdiri dari 17.000 kamar (pulau!), setiap kamar punya keunikan sendiri:
Ada yang penuh hutan, laut biru, tambang emas, atau budaya adat yang kaya. Tapi, bagaimana cara mengelola rumah sebesar ini agar semua penghuninya sejahtera?
Inilah pertanyaan yang coba dijawab oleh Prof. Francis Fukuyama, pemikir politik dari Stanford University, dalam bukunya 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘋𝘦𝘤𝘢𝘺.
Menurut Fukuyama, kunci membangun negeri yang efektif terletak pada keseimbangan : antara kekuatan pemerintah pusat dan kebebasan daerah, antara aturan hukum yang ketat dan fleksibilitas lokal, serta antara memanfaatkan sumber daya alam hari ini dan menjaganya untuk generasi besok.
Untuk Indonesia, ini seperti mengemudikan kapal besar di tengah badai globalisasi: harus lincah merespon gelombang, tapi tak boleh kehilangan arah.
Mari kita lihat Norwegia dan Jepang: Kisah Dua Negeri yang “Mendengar” Daerahnya.
Pernah dengar soal Norwegia? Negara kecil di Eropa Utara ini punya daerah terpencil berlapis salju, mirip Papua atau pedalaman Kalimantan bedanya di papua dan kalimantan tak ada salju .
Tapi mereka berhasil membuat warganya di pelosok tetap terhubung. Rahasianya? Teknologi dan kepercayaan.
Pemerintah Norwegia membangun sistem digital yang memungkinkan anak di desa terisolasi mengakses sekolah online, atau nelayan melaporkan hasil tangkapan via aplikasi.
Mereka juga tak ragu memberikan otonomi ke daerah untuk mengelola minyak dan gas, tapi dengan syarat: hasilnya harus ditabung dalam Sovereign Wealth Fund (semacam celengan raksasa untuk cucu-cucu mereka nanti) yang bisa dipercaya oleh rakyatnya.
Lalu ada Jepang, negara kepulauan seperti kita. Mereka punya sistem prefektur yang memungkinkan setiap pulau punya kebijakan ekonomi sendiri.
Okinawa, misalnya, fokus pada pariwisata bahari, sementara Hokkaido jadi pusat pertanian modern.
Pemerintah pusat di Tokyo tidak mendikte, tapi bertugas memfasilitasi: memberi insentif, infrastruktur, dan riset.
Hasilnya? Daerah-daerah itu tumbuh sesuai potensi alam dan budayanya, tanpa harus menjadi “tiruan Jakarta”.
Indonesia Bisa, Asal…
Nah, bagaimana menerapkan pelajaran dari Norwegia dan Jepang di sini?
Pertama, kita perlu pemerintahan yang “cerdas” secara digital.
Bayangkan jika nelayan di Kepulauan Aru bisa menjual ikan langsung ke pasar global via platform e-commerce, atau dokter di Jakarta bisa konsultasi online dengan pasien di pedalaman Sulawesi.
Ini bukan mimpi, teknologi sudah ada, tinggal komitmen politik dan anggaran.
Kedua, berikan kepercayaan ke daerah, tapi awasi dengan baik. Misalnya, Maluku boleh saja punya kebijakan khusus untuk mengembangkan rumput laut, atau Bali mengatur pariwisata berkelanjutan. Tapi, pemerintah pusat harus memastikan bahwa uang daerah tidak bocor ke kantong koruptor, atau kebijakan lokal tidak merusak lingkungan.
Di sinilah pentingnya akuntabilitas: transparansi anggaran, partisipasi masyarakat, dan pengadilan yang tegas pada mafia.
Ketiga, Dewan Maritim Nasional yang diusulkan Fukuyama bisa jadi “jembatan emas”. Dewan ini dipimpin langsung Presiden , harus menjadi tempat berkumpulnya gubernur dari Aceh sampai Papua, nelayan tradisional, ilmuwan kelautan, dan pengusaha pelabuhan.
Mereka duduk bersama merancang strategi: bagaimana memberantas illegal fishing, mengelola pariwisata tanpa merusak terumbu karang, atau menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut.
Ini sesuai dengan semangat UUD 1945 Pasal 33: laut kita adalah masa depan anak cucu, bukan sekadar tambang yang dieksploitasi.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐃𝐢𝐚𝐤𝐮𝐢
Tentu, jalan ini tidak mudah. Masalah terbesar Indonesia, menurut Fukuyama, adalah ketimpangan kapasitas. Daerah seperti Jawa mungkin siap dengan otonomi, tapi bagaimana dengan Papua yang infrastrukturnya masih terbatas?
Solusinya adalah afirmasi: alokasikan lebih banyak anggaran dan ahli ke daerah tertinggal, sambil melatih pemuda setempat jadi pemimpin baru.
Masalah lain adalah budaya paternalistik. Banyak bupati atau gubernur masih berpikir “saya yang berkuasa, saya yang menentukan”.
Padahal, desentralisasi harusnya melibatkan masyarakat. Contoh baik yang ada di Norwegia:
sebelum membuat kebijakan baru, pemerintah daerah wajib mengadakan forum diskusi dengan warga. Di Indonesia, praktik seperti ini bisa dihidupkan melalui musyawarah adat atau platform digital.
𝐌𝐞𝐫𝐚𝐣𝐮𝐭 𝐊𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐢 𝐒𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐔𝐔𝐃 𝟏𝟗𝟒𝟓
Apa hubungannya semua ini dengan cita-cita pendiri bangsa? Sangat erat! Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Artinya, nelayan di pulau kecil harus sejahtera seperti pengusaha di Jakarta. Pasal 33 mengingatkan kita bahwa kekayaan alam adalah titipan, bukan warisan, kita boleh memakainya hari ini, tapi wajib menjaganya untuk besok.
Di sinilah filosofi Fukuyama bertemu dengan nilai luhur bangsa:
negara kuat bukanlah yang sentralistik dan otoriter, melainkan yang mampu menyatukan keanekaragaman dalam kerja sama.
Seperti orkestra: setiap daerah adalah instrumen dengan nada unik, tapi konduktornya (pemerintah pusat) memastikan semuanya harmonis.
Bagi masyarakat, tugas kita adalah terus mengawal: pastikan hak suara tidak dirampas oleh oligarki, dan pembangunan tidak mengorbankan lingkungan.
Fukuyama mengingatkan kita: negara yang besar bukanlah yang sempurna sejak lahir, tapi yang mau belajar dari kesalahan .
Indonesia punya semua bahan untuk jadi contoh dunia — sumber daya, budaya, dan semangat gotong royong.
Tinggal kita rakit menjadi kapal yang kuat, siap berlayar menuju cita-cita kemakmuran berkelanjutan.
Selamjutnya mari kita lihat pandangan Gunter Pauli :
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐬𝐢𝐬 𝐊𝐞𝐥𝐚𝐮𝐭𝐚𝐧
Laut Kita, Masa Depan Kita: Menyulam Ekonomi Biru ala Gunter Pauli dan Semangat Gotong Royong.
Bayangkan laut Indonesia seperti peti harta karun yang tak pernah habis.
Di dalamnya ada ikan, terumbu karang, rumput laut, hingga wisata bahari yang bisa menghidupi puluhan juta orang.
Tapi selama ini, kita sering seperti anak kecil yang memecahkan peti itu sembarangan, mengambil semua isinya, lalu bingung saat petinya rusak.
Nah, inilah yang coba diubah oleh 𝑫𝒓. 𝑮𝒖𝒏𝒕𝒆𝒓 𝑷𝒂𝒖𝒍𝒊, sang penggagas 𝘉𝘭𝘶𝘦 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺. Gagasannya sederhana: “Jangan eksploitasi laut, tapi tirulah cara kerjanya.”
Pauli, lewat risetnya di Filipina dan Karibia, membuktikan bahwa komunitas pesisir bisa makmur tanpa merusak ekosistem.
Misalnya, di sebuah desa Filipina, limbah rumput laut yang biasanya dibuang, diolah jadi pupuk organik dan bahan kosmetik.
Hasilnya? Pendapatan nelayan naik 300%, sampah berkurang, dan terumbu karang tetap sehat. Ini bukan sihir, ini ekonomi sirkular yang memandang laut sebagai mitra, bukan musuh.
𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐒𝐮𝐤𝐬𝐞𝐬 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐤𝐞 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢𝐚𝐧
Islandia dulu adalah negara miskin. Tahun 1970-an, mereka hampir bangkrut karena 𝘰𝘷𝘦𝘳𝘧𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.
Tapi mereka belajar dari kesalahan: menerapkan sistem kuota perikanan ketat. Setiap kapal hanya boleh menangkap ikan sesuai jatah, dan ilmuwan terus memantau stok ikan.
Hasilnya? Islandia kini jadi eksportir ikan terbesar di Eropa, dengan pendapatan US$ 5 miliar per tahun. Kuncinya: disiplin kolektif.
Lalu ada Selandia Baru, di mana suku Maori diajak mengelola ekowisata bahari. Mereka tak hanya jadi pemandu wisata, tapi juga penjaga tradisi.
Contohnya di 𝘉𝘢𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘯𝘥𝘴: turis diajak menyelam sambil belajar cara Maori melestarikan hiu paus.
Pendapatan dari wisata ini kembali ke komunitas untuk membangun sekolah dan klinik. Kearifan lokal + manajemen modern = solusi abadi.
Indonesia Bisa Mencontoh? Tentu! Tapi…
Kita punya 17.000 pulau dan 3,2 juta nelayan , potensinya jauh lebih besar dari Islandia atau Selandia Baru. Tapi selama ini, kebijakan kelautan kita sering terpecah: KKP ngurusi perikanan, Kemenparekraf fokus wisata, tapi jarang duduk bersama.
Padahal, kata Pauli, “Ekonomi biru hanya sukses jika semua pihak bermain dalam simfoni yang sama.”
Maka, mari kita adopsi rekomendasi “Satu Desa, Satu Produk Bahari”. Contoh:
– Desa di Raja Ampat bisa spesialisasi budidaya 𝘱𝘦𝘢𝘳𝘭 𝘧𝘢𝘳𝘮𝘪𝘯𝘨 (mutiara) dengan teknik ramah karang.
– Desa di pesisir Jawa bisa kembangkan 𝘴𝘦𝘢𝘸𝘦𝘦𝘥 𝘴𝘯𝘢𝘤𝘬 keripik rumput laut rasa rendang atau sambal matah.
– Pulau-pulau kecil di Maluku jadi destinasi 𝘤𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘷𝘪𝘯𝘨 menyelam sambil belajar sejarah rempah.
Tapi ini tak akan jalan tanpa pendampingan. Di sinilah sosok seperti Prof. Muhammad Yunus (peraih Nobel, pendiri Grameen Bank) bisa jadi inspirasi.
Di Bangladesh, Yunus memberdayakan perempuan pesisir lepin 𝘮𝘪𝘤𝘳𝘰𝘤𝘳𝘦𝘥𝘪𝘵 berbasis komunitas.
Nelayan bisa pinjam modal tanpa agunan untuk beli perahu atau jaring, asal mereka sepakat menjual hasil tangkapan ke koperasi desa. Prinsipnya: kepercayaan lebih kuat daripada collateral.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 & 𝐒𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢: 𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐏𝐫𝐨𝐠𝐫𝐚𝐦 “𝐏𝐫𝐨𝐲𝐞𝐤” 𝐒𝐞𝐦𝐚𝐭𝐚
Masalah Overfishing Kuota ala Islandia harus diterapkan, tapi dengan pendekatan budaya.
Misalnya, libatkan panglima laot (pemimpin adat nelayan Aceh) sebagai penjaga tradisi tangkap berkelanjutan.
Akses Pasar : Produk bahari desa sering kalah saji di pasaran. Solusinya: kerja sama dengan e-commerce buat platform khusus “Produk Laut Indonesia”, seperti Tokopedia untuk UMKM bahari.
SDM : Banyak nelayan belum melek teknologi. Perlu sekolah lapangan, undang ahli seperti Gunter Pauli untuk pelatihan 𝘻𝘦𝘳𝘰-𝘸𝘢𝘴𝘵𝘦 𝘱𝘳𝘰𝘤𝘦𝘴𝘴𝘪𝘯𝘨 di desa.
𝐒𝐢𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐔𝐔𝐃 𝟏𝟗𝟒𝟓: 𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭, 𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐠𝐥𝐨𝐦𝐞𝐫𝐚𝐭
Pasal 33 UUD 1945 jelas bilang: “Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Tapi selama ini, izin tambang laut atau tambak udang kerap jatuh ke perusahaan besar. Ekonomi biru harus mengembalikan laut ke tangan rakyat.
Contoh konkret: di Wakatobi, nelayan tradisional kini punya sertifikat hak kelola wilayah pesisir (hutan mangrove dan zona tangkap). Mereka boleh menolak investor yang mau membangun resort tapi merusak ekosistem. 𝐈𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐤𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧: 𝐫𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐥𝐚𝐮𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢.
𝐀𝐤𝐬𝐢 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐤𝐞 𝐃𝐚𝐩𝐮𝐫 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
– Untuk Pemimpin : Jadikan “Satu Desa, Satu Produk Bahari” sebagai gerakan nasional. Alokasikan anggaran khusus untuk pelatihan dan promosi.
– Untuk Swasta : Investasi di teknologi pendingin portable untuk kapal nelayan, agar ikan tidak cepat busuk.
– Untuk Kita Semua : Dukung produk local, beli kerupuk ikan dari nelayan kecil, bukan impuran pabrik besar.
Gunter Pauli pernah bilang: “Laut itu seperti ibu, dia memberi tanpa henti, tapi kita harus merawatnya.”
Indonesia punya semua syarat jadi raja ekonomi biru dunia: sumber daya, budaya maritim, dan SDM. Tinggal kita pilih: mau terus jadi penjarah laut, atau penjaga laut yang bijak?
Seperti kata nenek moyang kita: “Orang laut tak pernah takut gelombang, karena mereka tahu ritme ombak.” Mari kembali ke akar: kelola laut dengan hati, bukan eksploitasi.
Berikutnya kita membahas pendapat ahli Pendidikan kelas dunia Prof. Linda Darling-Hammond (Stanford University.
Prof. Linda Darling-Hammond (Stanford University), dalam “𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯” (2010), menekankan pentingnya pendidikan vokasi yang sesuai kebutuhan lokal.
Menyiapkan Pelaut Masa Depan: Pendidikan Vokasi ala Linda Darling-Hammond dan Mimpi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Bayangkan jika setiap anak di pesisir Indonesia dari Sabang sampai Merauke tidak perlu merantau ke kota besar hanya untuk menjadi “kuli gedung”.
Mereka bisa tetap tinggal di kampung halaman, sekolah di dekat laut, lalu menjadi ahli kapal, teknisi tambak modern, atau ilmuwan terumbu karang. Inilah visi yang diperjuangkan Prof. Linda Darling-Hammond, pakar pendidikan dari Stanford University, dalam bukunya 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯.
Katanya: “𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤-𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐛𝐮𝐫𝐮𝐡, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐫𝐨𝐛𝐥𝐞𝐦 𝐬𝐨𝐥𝐯𝐞𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐚𝐬𝐚𝐢 𝐤𝐞𝐚𝐡𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐩𝐞𝐬𝐢𝐟𝐢𝐤 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐢 𝐤𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐞𝐫𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚.”
Bagi Indonesia, prinsip ini seperti pisau tepat untuk memotong duri: kita punya garis pantai terpanjang kedua di dunia, tapi 47% nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Penyebabnya? Sistem pendidikan kita terlalu 𝘵𝘦𝘹𝘵𝘣𝘰𝘰𝘬-𝘰𝘳𝘪𝘦𝘯𝘵𝘦𝘥, sementara kebutuhan riil industri maritim, dari teknologi akuakultur hingga manajemen logistik Pelabuhan, tak tersentuh.
𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐅𝐢𝐧𝐥𝐚𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐞𝐚: 𝐒𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 “𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐢” 𝐋𝐚𝐮𝐭
Finlandia, negara dengan 188.000 danau, punya 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘚𝘤𝘩𝘰𝘰𝘭 𝘰𝘧 𝘛𝘶𝘳𝘬𝘶 sekolah vokasi yang jadi kebanggaan Eropa. Di sini, siswa tak hanya belajar teori navigasi, tapi langsung praktik di kapal penelitian canggih.
Lulusannya dicari perusahaan pelayaran global karena keahlian mereka yang 𝘩𝘢𝘯𝘥𝘴-𝘰𝘯.
Rahasianya? Kurikulum dirancang bareng industri. Setiap semester, manajer pelabuhan dan kapten kapal diundang jadi mentor.
Lalu ada Korea Selatan. Kota Busan, pusat industri kapal terbesar dunia punya 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘗𝘰𝘭𝘺𝘵𝘦𝘤𝘩𝘯𝘪𝘤 𝘊𝘰𝘭𝘭𝘦𝘨𝘦 yang bekerjasama dengan 𝘏𝘺𝘶𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘏𝘦𝘢𝘷𝘺 𝘐𝘯𝘥𝘶𝘴𝘵𝘳𝘪𝘦𝘴. Siswa magang di galangan kapal sejak tahun kedua, dan 90% langsung direkrut Hyundai.
Ini bukan sekolah tapi 𝗽𝗮𝗯𝗿𝗶𝗸 𝗦𝗗𝗠 𝘀𝗶𝗮𝗽 𝗽𝗮𝗸𝗮𝗶.
𝐀𝐤𝐚𝐝𝐞𝐦𝐢 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐭𝐢𝐦 𝐍𝐮𝐬𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚: 𝐒𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐠𝐚 𝐋𝐚𝐮𝐭
Bagaimana menerapkan ini di Indonesia?
Rekomendasinya: dirikan Akademi Maritim Nusantara , sekolah vokasi khusus kelautan yang kurikulumnya disusun oleh 𝘗𝘳𝘰𝘧. 𝘖𝘷𝘦 𝘏𝘰𝘦𝘨𝘩-𝘎𝘶𝘭𝘥𝘣𝘦𝘳𝘨, ahli ekologi kelautan yang membantu Australia menyelamatkan Great Barrier Reef. Bayangkan konsepnya:
– Lokasi Kampus : Di pulau-pulau strategis Ternate, Natuna, atau Biak, agar siswa akrab dengan ekosistem lokal.
Kurikulum Hybrid :
– 30% teori: Manajemen perikanan berkelanjutan, teknologi budidaya rumput laut, mitigasi perubahan iklim.
– 70% praktik: Magang di kapal nelayan, riset terumbu karang, atau proyek ekowisata bahari.
– Guru Inspiratif : Hadirkan nelayan sukses seperti Pak Jamal dari Pulau Pari (pengembang wisata edukasi mangrove) sebagai dosen tamu.
Contoh mata kuliah unik:
– Seni Negosiasi dengan Investor : Agar lulusan tak terjebak jual murah sumber daya maritim.
– Teknologi Sederhana Pengolahan Ikan”: Ubah limbah ikan jadi tepung protein atau kosmetik.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧: 𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐒𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡 “𝐏𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢𝐫𝐚𝐧”
1. Mentalitas “Kuliah Harus di Kota”: Orang tua di pesisir sering memaksa anak kuliah jurusan hukum atau ekonomi di Jakarta, meski peluang kerja di sektor maritim lebih besar. Solusi: Sosialisasi lewat tokoh adat dan 𝘴𝘶𝘤𝘤𝘦𝘴𝘴 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 alumni.
2. Keterbatasan Fasilitas : Jangan bayangkan lab canggih seperti di Finlandia. Tapi, kita bisa kreatif , gunakan kapal nelayan sebagai “kelas apung”, atau ajak siswa restorasi terumbu karang sebagai proyek akhir.
3. Link and Match dengan Industri : Akademi ini harus punya kemitraan dengan PT Pelindo, perusahaan perikanan, dan startup maritim seperti Aruna atau eFishery.
𝐒𝐢𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐔𝐔𝐃 𝟏𝟗𝟒𝟓: 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐊𝐞𝐚𝐝𝐢𝐥𝐚𝐧
Pasal 31 UUD 1945 menegaskan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Tapi selama ini, anak pesisir sering hanya dapat pendidikan “sisa”.
Akademi Maritim Nusantara bisa jadi jawaban, pendidikan yang tidak hanya terjangkau, tapi juga memuliakan identitas lokal.
Contoh: Di Maluku, kurikulum bisa integrasikan kearifan 𝘀𝗮𝘀𝗶 𝗹𝗮𝘂𝘁 (larangan tangkap ikan periode tertentu) dengan ilmu ekologi modern.
Di Sulawesi, siswa diajari teknik budidaya rumput laut menggunakan metode nenek moyang yang ramah lingkungan.
𝐋𝐢𝐧𝐝𝐚 𝐃𝐚𝐫𝐥𝐢𝐧𝐠-𝐇𝐚𝐦𝐦𝐨𝐧𝐝 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠: “𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐢𝐤 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐚𝐧𝐚𝐤-𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐚𝐤𝐚𝐫 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚.” Indonesia tak perlu mengejar gelar-gelar akademis yang tak nyambung dengan realitas.
Bayangkan tahun 2045: Setiap desa pesisir punya lulusan Akademi Maritim, ada yang jadi ahli tambak udang tanpa limbah, manajer pelabuhan digital, atau guide wisata penyelaman yang fasih cerita sejarah bahari.
Mereka tak hanya mencari kerja, tapi menciptakan lapangan kerja.
Seperti kata pepatah Bugis: “Laut adalah cermin — jika kau merawatnya, dia akan membalas dengan kemakmuran.” Pendidikan vokasi maritim bukan sekadar sekolah, tapi gerakan mengembalikan marwah Indonesia sebagai bangsa pelaut.
Mau mulai dari mana? Dari kita yang berani bilang: “Tak perlu ke Jakarta untuk jadi besar. Lautmu sudah cukup megah untuk dijadikan kampus kehidupan.”
Berikutnya kita akan mengulas pandangan Laksamana (Purn.) Chris Parry (mantan perwira Angkatan Laut Inggris), dalam “𝘚𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘏𝘪𝘨𝘩𝘸𝘢𝘺: 𝘚𝘦𝘢 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 21𝘴𝘵 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺” (2014), menyarankan pertahanan maritim berbasis teknologi dan intelijen masyarakat.
𝐋𝐚𝐮𝐭 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭: 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐣𝐮𝐭 𝐊𝐞𝐚𝐦𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐭𝐢𝐦 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐫𝐚𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢
Bayangkan Indonesia sebagai rumah besar dengan 17.000 pintu terbuka. Setiap hari, pencuri bisa masuk lewat pintu mana saja: kapal asing pencuri ikan, penyelundup narkoba, atau bahkan mata-mata yang menyamar sebagai turis.
Pertanyaannya: bagaimana menjaga semua pintu itu tanpa harus memasang gembok yang membuat tamu baik juga tak bisa masuk?
Inilah tantangan yang dijawab oleh Laksamana (Purn.) Chris Parry, mantan perwira Angkatan Laut Inggris, dalam bukunya “𝘚𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘏𝘪𝘨𝘩𝘸𝘢𝘺: 𝘚𝘦𝘢 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 21𝘴𝘵 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺”.
Katanya: “Keamanan maritim abad 21 bukan tentang kapal perang besar, tapi tentang kecerdasan kolektif, gabungan teknologi, data, dan mata hati rakyat.”
Bagi Indonesia, filosofi ini sejalan dengan kearifan nenek moyang: keamanan adalah urusan bersama, bukan hanya TNI-AL.
Dari zaman Sriwijaya sampai Majapahit, nelayan dan pedagang pesisir adalah “penjaga tak resmi” yang melapor jika ada kapal mencurigakan.
Kini, di era drone dan satelit, semangat itu bisa dihidupkan kembali dengan sentuhan modern.
𝐕𝐢𝐞𝐭𝐧𝐚𝐦 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐫𝐚𝐞𝐥: 𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐥𝐚𝐩 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐆𝐚𝐫𝐢𝐬 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧
Vietnam punya cara unik melindungi lautnya. Di Laut China Selatan yang panas, nelayan Vietnam dilatih jadi “mata-mata pantai”. Mereka dibekali smartphone dengan aplikasi khusus untuk melaporkan kapal asing ilegal lengkap dengan foto dan koordinat GPS.
Hasilnya? Tahun 2020, Vietnam berhasil mengusir 1.200 kapal China yang masuk ilegal. Kuncinya: rakyat bukan objek keamanan, tapi subjek.
Lalu ada Israel, negara kecil yang dikepung laut dan gurun. Mereka membangun sistem keamanan siber terintegrasi bernama 𝘐𝘳𝘰𝘯 𝘋𝘰𝘮𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘦𝘢.
Setiap kapal nelayan di Haifa dilengkapi sensor yang terhubung ke pusat data angkatan laut.
Jika ada ancaman mulai dari serangan hacker hingga kapal penyusup, sistem langsung memberi peringatan ke nelayan dan militer secara real-time. Teknologi jadi jembatan antara sipil dan militer.
𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐊𝐞𝐫𝐞𝐧: 𝐒𝐚𝐭𝐠𝐚𝐬 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐥𝐢𝐣𝐞𝐧 𝐏𝐞𝐬𝐢𝐬𝐢𝐫 𝐚𝐥𝐚 𝐋𝐮𝐡𝐮𝐭
Kita punya modal dasar yang tak kalah hebat: 3,2 juta nelayan yang sehari-hari berada di garis depan laut.
Sayangnya, selama ini potensi mereka hanya jadi “statistik kementerian”. Rekomendasi Laksamana Parry bisa kita adaptasi dengan membentuk Satgas Intelijen Pesisir, pasukan khusus yang menggabungkan kearifan lokal dan teknologi mutakhir.
Inspirasinya? Jenderal (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, sosok yang paham betul seluk-beluk keamanan maritim. Dulu, saat jadi Menko Kemaritiman, Luhut menggagas patroli terpadu antara Bakamla, TNI-AL, dan komunitas nelayan. Kini, konsep itu bisa diperkuat dengan:
• Pendekatan Budaya :
– Libatkan 𝐏𝐚𝐧𝐠𝐥𝐢𝐦𝐚 𝐋𝐚𝐨𝐭 (Aceh), 𝐒𝐚𝐬𝐢 𝐋𝐚𝐮𝐭 (Maluku), atau 𝐁𝐚𝐩𝐨𝐧𝐠𝐤𝐚 (Sulawesi) sebagai sistem peringatan dini berbasis adat.
– Latih nelayan membaca pola kapal asing: “Jika kapal itu mencurigakan, seperti tidak mau menebar jaring, mungkin mereka sedang memetakan dasar laut,” kata seorang nelayan Natuna.
• Teknologi Murah Meriah :
– Berikan nelayan 𝘴𝘮𝘢𝘳𝘵 𝘣𝘶𝘰𝘺 (pelampung pintar) seharga Rp 2 juta yang bisa mendeteksi gerakan kapal.
– Kembangkan aplikasi Lapor Laut — semacam “WA-nya nelayan” untuk kirim foto/video kapal ilegal langsung ke pusat komando.
• Drone Pengintai “Daun Kelapa” :
– Gunakan drone bertenaga surya dengan kamera thermal, dirancang mirip daun kelapa agar tidak mencolok.
– Operasikan dari pos-pos nelayan, bukan markas militer, agar respons cepat.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐁𝐨𝐜𝐨𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐭𝐚
Masalah Kepercayaan : Nelayan takut dianggap “mata-mata” dan jadi target balasan.
Solusi: Berikan insentif — misalnya, 10% dari denda kapal ilegal yang tertangkap jadi bonus untuk nelayan pelapor.
Teknologi yang Tidak Ramah : Nelayan senior mungkin gagap gawai. Solusi: Kembali ke cara analog — kode morse dengan lampu nelayan atau bendera sinyal.
Kerawanan Siber: Sistem Lapor Laut bisa diretas musuh. Maka, libatkan ahli siber lokal seperti Bareskrim Polri dan komunitas hacker etis.
𝐒𝐢𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐔𝐔𝐃 𝟏𝟗𝟒𝟓: 𝐊𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐒𝐞𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧𝐲𝐚
Pasal 30 UUD 1945 menyebut: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Satgas Intelijen Pesisir adalah pengejawantahan pasal ini, rakyat bukan penonton, tapi tulang punggung kedaulatan.
Contoh konkret: Di Kepulauan Anambas, nelayan sudah lama jadi “telinga” TNI-AL. Mereka menggunakan kode tradisional: “Jika melihat kapal asing, kibarkan bendera merah di perahu.”
Sistem ini bisa dipadukan dengan teknologi — bendera merah otomatis mengaktifkan alarm di posko TNI terdekat.
𝐀𝐤𝐬𝐢 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐇𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐠𝐫𝐨𝐯𝐞 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐤𝐞 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐃𝐫𝐨𝐧𝐞
– Untuk TNI/Pemda : Bangun posko terpadu di pulau-pulau terdepan (Mis: Miangas, Marore) yang diisi nelayan, BIN, dan TNI.
– Untuk Swasta : Perusahaan e-commerce bisa donasikan drone bekas pakai yang dimodifikasi untuk patroli.
– Untuk Masyarakat: Kembangkan “Komunitas Jaga Laut” di tiap desa pesisir — setiap anggota wajib lapor 1 aktivitas mencurigakan per bulan.
Laksamana Parry pernah bilang: “Laut yang tidak dijaga adalah undangan untuk dijajah.”
Indonesia punya pilihan: jadi negara yang lautnya dijaga oleh asing (lewat investasi tambang ilegal), atau menguatkan diri dengan senjata paling ampuh persatuan rakyat dan teknologi.
Seperti kata pepatah Bugis: “Orang berilmu dan orang biasa, bila bersatu di laut, bagai ombak dan karang tak terkalahkan.”
Satgas Intelijen Pesisir bukan sekadar proyek, tapi gerakan mengembalikan marwah bangsa sebagai penguasa laut.
Mulai hari ini, setiap nelayan yang melaut tak hanya mencari ikan, tapi juga menjadi patriot tanpa seragam yang menjaga titipan anak cucu.
Mau bukti? Lihat Vietnam. Jika negeri itu bisa mengusir raksasa China dengan nelayan dan smartphone, mengapa kita tidak?
Terakhir saya akan mengutif pendapat dari 𝘗𝘳𝘰𝘧. 𝘙𝘰𝘣𝘦𝘳𝘵 𝘒𝘭𝘪𝘵𝘨𝘢𝘢𝘳𝘥 ( 𝘊𝘭𝘢𝘳𝘦𝘮𝘰𝘯𝘵 𝘎𝘳𝘢𝘥𝘶𝘢𝘵𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺) Melawan Korupsi & Meningkatkan Akuntabilitas.
Melawan Korupsi dengan Pisau Analitis dan Semangat Gotong Royong .
Bayangkan Indonesia sebagai kapal megah yang sedang bocor. Meski mesinnya kuat dan awaknya banyak, air korupsi yang merembes dari celah-celah dek terus mengancam menenggelamkan kita semua.
Prof. Robert Klitgaard, pakar anti-korupsi dari AS, punya rumus sederhana untuk menambal kebocoran ini: Korupsi = Monopoli + Diskreksi – Akuntabilitas. Artinya, korupsi tumbuh subur ketika kekuasaan terpusat di segelintir orang, aturannya ambigu, dan pengawasannya lemah.
Solusinya? Potong monopoli, kurangi kewenangan sewenang-wenang, dan gempur dengan transparansi.
Klitgaard, dalam bukunya 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘭𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯, membuktikan bahwa negara miskin sekalipun bisa bersih. Ambil contoh Botswana, negara Afrika yang dulu disebut “lubang korupsi”, kini jadi salah satu yang terbersih di benua itu.
Caranya? Mereka membuka seluruh data anggaran negara seperti membuka buku resep: siapa pun bisa melihat berapa daging yang dibeli, berapa bumbunya, dan siapa koki yang memasak.
𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐆𝐞𝐨𝐫𝐠𝐢𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐰𝐚𝐧𝐝𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐭𝐨𝐫 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐊𝐚𝐦𝐩𝐢𝐮𝐧 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐩𝐚𝐫𝐚𝐧𝐬𝐢
Tahun 2003, Georgia bagai pasar maling. Polisi minta suap untuk mengeluarkan SIM, dokter minta amplop untuk operasi, bahkan guru memeras orang tua murid.
Tapi semuanya berubah pasca Revolusi Mawar. Presiden Saakashvili memecat 15.000 pegawai korup sekaligus, menggaji polisi baru dengan upah layak, dan membuat portal online tempat rakyat bisa lacak setiap sen anggaran negara.
Hasilnya? Dalam 5 tahun, Georgia melesat dari peringkat 124 ke 44 negara terkorup versi 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭.
Lalu ada Rwanda, negeri yang bangkit dari genosida. Mereka menggunakan blockchain untuk mengawasi proyek pemerintah.
Setiap kali ada tender pembangunan jalan, datanya diunggah ke sistem yang tak bisa diutak-atik.
Masyarakat bisa scan QR code di lokasi proyek untuk melihat progres dan anggaran. Hasilnya? Korupsi proyek turun 70% sejak 2017.
𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐁𝐢𝐬𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐂𝐞𝐫𝐝𝐢𝐤: “𝘖𝘱𝘦𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘨𝘦𝘵 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦” 𝘢𝘭𝘢 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭”
Kita punya semua alat untuk meniru kesuksesan itu. Rekomendasi Klitgaard bisa diadaptasi dengan meluncurkan Inisiatif Anggaran Terbuka gerakan yang membuat APBD dan APBN se-transparan toko online. Contoh:
APBN dalam Genggaman : Buat aplikasi “Keuangan Kita” yang memvisualisasikan anggaran negara secara real-time. Rakyat bisa tahu dana desa untuk pos kamling masuk hari Senin, dipakai hari Rabu.
Audit Partisipatif : Libatkan ibu-ibu PKK, mahasiswa, dan tokoh agama dalam tim audit independen.
Bayangkan, seorang santri dari Pesantren Al-Falah di Jombang bisa ikut memeriksa laporan proyek irigasi di desanya.
Sanksi Sosial : Pasang papan besar di depan kantor dinas yang menampilkan ranking korupsi tiap SKPD, seperti “liga koruptor” yang memalukan.
Tapi jangan lupa: transparansi tanpa konsekuensi hanya jadi pertunjukan wayang.
Di sinilah pentingnya Tim Gabungan Ahli Hukum-Aktivis yang diusulkan Transparency International.
Mereka harus punya kewenangan seperti “ninja anti-korupsi”: bisa menyelidik, membekukan rekening, dan menuntut tanpa perlu izin atasan.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧: 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 “𝐔𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐨𝐤𝐨𝐤” 𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚
– Mentalitas “Terima Beres” : Korupsi kecil-kecilan (suap tilang, bayar “pelicin” izin usaha) dianggap normal. Solusi: Gempur lewat 𝘨𝘶𝘦𝘳𝘳𝘪𝘭𝘭𝘢 𝘮𝘢𝘳𝘬𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨 anti-suap, seperti iklan pendek di TikTok yang mempermalukan koruptor.
– Teknologi yang Tidak Merata : Bagaimana desa terpencil di Papua bisa akses portal anggaran jika sinyal internet saja belum ada? Solusi: Kembali ke cara analog, pasang papan informasi anggaran di balai desa dengan tulisan besar, plus nomor SMS pengaduan gratis.
– Ancaman Pembalasan: Pelapor korupsi (whistleblower) sering jadi target. Maka, perlu 𝘴𝘢𝘧𝘦 𝘩𝘰𝘶𝘴𝘦 dan beasiswa bagi keluarga pelapor, didanai dari uang sitaan koruptor.
𝐒𝐢𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐔𝐔𝐃 𝟏𝟗𝟒𝟓: 𝐔𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐂𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐄𝐥𝐢𝐭
Pasal 23 UUD 1945 jelas menyebut: “Anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang.”
Tapi selama ini, prosesnya kerap gelap seperti transaksi bawah tanah. Inisiatif Anggaran Terbuka adalah cara mengembalikan amanat konstitusi, bahwa uang rakyat harus dikelola dengan mata terbuka rakyat.
Contoh konkret: Di Surabaya, Wali Kota Tri Rismaharini membuka semua data e-procurement. Hasilnya, proyek jalan yang dulu harganya Rp 10 miliar bisa ditekan jadi Rp 7 miliar karena vendor tak bisa markup.
Inilah makna demokrasi: rakyat bukan hanya memilih, tapi mengawasi.
𝐀𝐤𝐬𝐢 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐚𝐧𝐭𝐨𝐫 𝐁𝐮𝐩𝐚𝐭𝐢 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐤𝐞 𝐖𝐚𝐫𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐩𝐢
Untuk Pemimpin : Jadikan KPK sebagai “pelatih timnas anti-korupsi” di tiap kementerian/dinas. Setiap pejabat baru wajib ikut 𝘣𝘰𝘰𝘵𝘤𝘢𝘮𝘱 integritas.
– Untuk Swasta : Perusahaan fintech seperti Gojek atau Tokopedia bisa bantu dengan fitur “Lapor Pak!”
– Saluran pengaduan korupsi yang terintegrasi dengan KPK.
– Untuk Kita Semua : Stop budaya “uang damai”, “uang rokok”. Jika ditilang polisi, mintalah surat resmi — bayar ke kas negara, bukan ke kantong pribadi.
Robert Klitgaard pernah bilang: “Korupsi itu seperti kecoa ia berkembang di tempat gelap. Solusinya bukan racun semprot, tapi nyalakan lampu.” Indonesia sudah terlalu lama membiarkan lampu itu redup.
Tapi lihatlah Georgia yang bangkit dari kehancuran, Rwanda yang berani pakai blockchain, atau Surabaya yang dipimpin Bu Risma.
Mereka membuktikan: korupsi bisa dikalahkan, bukan dengan pidato, tapi dengan sistem yang memaksa semua orang jujur.
Seperti kata pepatah Minang: “Karajo buruak jauah-jauah, karajo baiak balari-lari.” (Kerja buruk harus dijauhkan, kerja baik harus dikejar).
Inisiatif Anggaran Terbuka bukan sekadar program, tapi pernyataan perang generasi muda pada mentalitas korup.
Jika kapal Indonesia ingin berlayar ke cita-cita UUD 1945, kita harus berani membuang semua “penumpang gelap” yang menggerogoti lambung. Karena, seperti kata Bung Hatta: “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir, tapi alat untuk mencapai keadilan.”
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Artikel ini menguraikan strategi pembangunan Indonesia sebagai negara maritim berdaulat, merujuk pada pemikiran ahli global seperti Fukuyama, Pauli, Darling-Hammond, Parry, dan Klitgaard.
Kunci utamanya meliputi:
1. 𝗧𝗮𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗹𝗼𝗹𝗮 𝗘𝗳𝗲𝗸𝘁𝗶𝗳 : Desentralisasi terkoordinasi berbasis teknologi, seperti model Norwegia dan Jepang, untuk mengelola keragaman geografis.
2. 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐁𝐢𝐫𝐮 : Pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan melalui ekonomi sirkular dan program “Satu Desa, Satu Produk Bahari”.
3. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐕𝐨𝐤𝐚𝐬𝐢: Kurikulum maritim berbasis potensi lokal untuk mencetak SDM unggul, seperti contoh Finlandia dan Korea Selatan.
4. 𝐊𝐞𝐚𝐦𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭𝐢𝐬𝐢𝐩𝐚𝐭𝐢𝐟 :: Kolaborasi nelayan, teknologi, dan kearifan lokal dalam sistem pertahanan maritim, terinspirasi dari Vietnam dan Israel.
5. 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐩𝐚𝐫𝐚𝐧𝐬𝐢 𝐀𝐧𝐭𝐢-𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 : Inisiatif anggaran terbuka dan partisipasi masyarakat, mengadopsi keberhasilan Georgia dan Rwanda.
Seluruh strategi ini selaras dengan semangat UUD 1945, terutama Pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan alam untuk rakyat.
Tantangan utama terletak pada komitmen politik, afirmasi ke daerah tertinggal, dan perubahan mentalitas korup.
Dengan sinergi antara modernitas dan kearifan lokal, Indonesia berpotensi menjadi poros maritim dunia yang adil dan berkelanjutan.
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘍𝘶𝘬𝘶𝘺𝘢𝘮𝘢, 𝘍. (2014). 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘋𝘦𝘤𝘢𝘺. 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
2. 𝘗𝘢𝘶𝘭𝘪, 𝘎. (2010). 𝘛𝘩𝘦 𝘉𝘭𝘶𝘦 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺: 10 𝘠𝘦𝘢𝘳𝘴, 100 𝘐𝘯𝘯𝘰𝘷𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴, 100 𝘔𝘪𝘭𝘭𝘪𝘰𝘯 𝘑𝘰𝘣𝘴. 𝘗𝘢𝘳𝘢𝘥𝘪𝘨𝘮 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴.
3. 𝘋𝘢𝘳𝘭𝘪𝘯𝘨-𝘏𝘢𝘮𝘮𝘰𝘯𝘥, 𝘓. (2010). 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯: 𝘏𝘰𝘸 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢’𝘴 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘪𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘌𝘲𝘶𝘪𝘵𝘺 𝘞𝘪𝘭𝘭 𝘋𝘦𝘵𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘦 𝘖𝘶𝘳 𝘍𝘶𝘵𝘶𝘳𝘦. 𝘛𝘦𝘢𝘤𝘩𝘦𝘳𝘴 𝘊𝘰𝘭𝘭𝘦𝘨𝘦 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
4. 𝘗𝘢𝘳𝘳𝘺, 𝘊. (2014). 𝘚𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘏𝘪𝘨𝘩𝘸𝘢𝘺: 𝘚𝘦𝘢 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 21𝘴𝘵 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.
5. 𝘒𝘭𝘪𝘵𝘨𝘢𝘢𝘳𝘥, 𝘙. (1988). 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘭𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘧 𝘊𝘢𝘭𝘪𝘧𝘰𝘳𝘯𝘪𝘢 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
6. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭. (2021). 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘦𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹 2020.
7. 𝘒𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘭𝘢𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘙𝘐. (2023). 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘪𝘴𝘵𝘪𝘬 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘛𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢.
8. 𝘜𝘜𝘋 1945 𝘙𝘦𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘬 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘭 23, 30, 31, 𝘥𝘢𝘯 33.
9. 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪 𝘒𝘢𝘴𝘶𝘴: 𝘕𝘰𝘳𝘸𝘦𝘨𝘪𝘢 (𝘗𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘋𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘭), 𝘑𝘦𝘱𝘢𝘯𝘨 (𝘚𝘪𝘴𝘵𝘦𝘮 𝘗𝘳𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘶𝘳), 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘯𝘥𝘪𝘢 (𝘒𝘶𝘰𝘵𝘢 𝘗𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯), 𝘝𝘪𝘦𝘵𝘯𝘢𝘮 (𝘕𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘭𝘪𝘫𝘦𝘯), 𝘎𝘦𝘰𝘳𝘨𝘪𝘢 (𝘙𝘦𝘧𝘰𝘳𝘮𝘢𝘴𝘪 𝘈𝘯𝘵𝘪-𝘒𝘰𝘳𝘶𝘱𝘴𝘪).