Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Di tengah birunya Samudra Hindia, jauh dari keramaian dunia, ada sebuah pulau karang yang menjadi mata-mata rahasia Amerika Serikat: 𝘋𝘪𝘦𝘨𝘰 𝘎𝘢𝘳𝘤𝘪𝘢.
Sejak 1966, pulau ini disewa AS dari Inggris, meski Mauritius dan Mahkamah Internasional menentangnya, untuk dijadikan “kapal induk yang tak bisa tenggelam”.
Dari sini, jet tempur AS bisa terbang ke Timur Tengah dalam 4 jam, atau mengintai kapal-kapal China di Laut China Selatan.
Saat invasi Irak 2003, 90% bom yang dijatuhkan koalisi AS berasal dari gudang senjata di pulau ini.
Tapi di balik perannya yang vital, status hukum Diego Garcia ibarat bom waktu. Suatu hari, klaim Mauritius bisa mengguncang pangkalan ini, seperti yang diingatkan Robert Kaplan dalam bukunya 𝗠𝗼𝗻𝘀𝗼𝗼𝗻 (2010): “Samudra Hindia adalah panggung perang abad ke-21.”
Sementara itu, di utara Australia, kota kecil 𝘋𝘢𝘳𝘸𝘪𝘯 menjadi “pintu belakang” AS ke Asia Tenggara.
Sejak 2011, ribuan marinir AS berlatih di sini sebagai bagian dari strategi “𝘱𝘪𝘷𝘰𝘵 𝘵𝘰 𝘈𝘴𝘪𝘢” era Obama. Meski jaraknya ke Selat Taiwan lebih jauh (3.200 km) dibanding Okinawa (1.300 km) atau Guam (2.600 km), Darwin punya keunggulan lain: stabilitas.
Okinawa terlalu dekat dengan China, sementara Guam rentan serangan rudal.
Darwin, di wilayah Australia yang aman, justru jadi tempat ideal untuk menyimpan cadangan logistic, apalagi dengan ladang gas alam terbesar Australia di sekitarnya yang memasok energi ke Jepang dan Korea Selatan.
Pada 2023, Australia mengumumkan rencana membangun pelabuhan kapal selam nuklir di Darwin.
Kapal selam kelas Virginia milik AS atau kapal selam AUKUS buatan Australia-Inggris-AS bisa berlayar berbulan-bulan di laut, mengintai gerakan China tanpa perlu pulang ke pangkalan.
Bagi Beijing, ini sinyal jelas: “Kami bisa menjangkau kalian dari selatan.” Tak heran, latihan militer di Darwin sering melibatkan Jepang dan India, dua sekutu AS yang ingin membentuk “segitiga pertahanan” melawan ambisi China di Indo-Pasifik.
𝐋𝐚𝐥𝐮, 𝐝𝐢 𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐑𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧?
Saat AS sibuk di Samudra Hindia dan Pasifik, Moskow mengendap-endap ke Papua, wilayah timur Indonesia yang kaya nikel dan kobalt.
Sejak 2014, setelah Barat menjatuhkan sanksi gara-gara aneksasi Krimea, perusahaan Rusia seperti Rusal mulai menggali tambang di sana.
Nikel Papua bukan sekadar untuk baterai ponsel, tapi juga bahan baku rudal dan kendaraan lapis baja Rusia. Tapi ini bukan cuma urusan tambang.
Dari Papua, Rusia bisa melirik lebih jauh ke timur: Vanuatu, Kepulauan Solomon, atau Fiji, negara-negara kecil di Pasifik Selatan yang sering jadi rebutan AS-China.
Pada 2018, kabar rencana Rusia membangun pangkalan logistik di Vanuatu mengguncang Canberra. Bayangkan: jika Moskow sukses, mereka bisa nongkrong di tengah Samudra Pasifik, mengawasi kapal selam AS atau kapal dagang China.
“Ini seperti menaruh kamera pengintai di halaman belakang tetangga,” tulis Lowy Institute (2021).
Rusia juga main cerdik di meja diplomasi. Sambil menawarkan helikopter Mi-17 ke Indonesia, mereka mengkritik isu HAM Papua yang diangkat Barat. “Kami tidak ikut campur urusan dalam negeri kalian,” begitulah pesan terselubungnya.
Strategi ini berhasil merangkul Jakarta, yang lelah dengan kritik AS dan Barat termasu Australia soal HAM. “Rusia paham, dengan jadi ‘teman yang tidak cerewet’, mereka bisa masuk lewat pintu belakang,” ujar seorang pejabat Kemenhan RI (2020).
𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐝𝐢 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐏𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫
Bagi Jakarta, Papua adalah ladang emas sekaligus ranjau geopolitik. Di satu sisi, investasi Rusia membuka lapangan kerja dan transfer teknologi.
Di sisi lain, pemerintah harus menjaga kedaulatan. Saat Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov berkunjung ke Papua pada 2023, Jakarta langsung menegaskan: “Tidak ada ruang untuk intervensi asing di sini.” Tapi kita tidak tau, Bahasa diplomasi, Bahasa politik dan Bahasa Ekonomi (3 hal penting dalam pembicaraan Geopoliti dan Geostrategis) bukanlah Bahasa yang apa adanya dalam pergaulan Internasional.
Tapi tekanan terus datang. AS dan sekutunya waspada dengan aktivitas Rusia di Papua.
Sementara China, yang juga punya kepentingan di tambang nikel Indonesia, mungkin tidak ingin saingannya (Rusia) menguasai sumber daya itu.
“Indonesia seperti anak kecil yang diajak bermain oleh raksasa-raksasa. Harus pintar memilih langkah,” kata analis CSIS Indonesia (2022).
𝐀𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐀𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐧𝐲𝐚?
1. AS vs China akan semakin panas. Diego Garcia dan Darwin akan dipenuhi drone dan sensor bawah laut untuk melacak kapal selam China.
2. Rusia mungkin tak akan jadi pemain utama di Pasifik, tapi dari Papua, mereka bisa mengacaukan papan catur AS-China.
3. Indonesia harus bijak. Papua bukan hanya soal tambang, tapi juga kedaulatan. Jangan sampai kita jadi “panggung tempat harimau, singa dan beruang bertarung, menjadikan kita penonton yang terluka.”, sebaiknya dalam Bahasa bisnis, Indonesia harus : Harimau, singa dan beruang bertarung, pelanduk jual tiket.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩
Diego Garcia, Darwin, dan Papua adalah tiga titik kecil di peta yang menjadi simbol pertarungan global.
Di balik birunya laut dan hijaunya hutan, tersembunyi permainan kekuatan yang menentukan masa depan Indo-Pasifik.
Bagi Indonesia, ini pelajaran berharga: di dunia yang saling terhubung, kedaulatan adalah harga mati. Seperti kata pepatah tua, “Jangan jual gunung demi emas, karena gunung itu adalah benteng terakhirmu.” (*)
Daftar Bacaan
1. 𝘓𝘢𝘱𝘰𝘳𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘯𝘵𝘢𝘨𝘰𝘯 (2020) 𝘴𝘰𝘢𝘭 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘋𝘪𝘦𝘨𝘰 𝘎𝘢𝘳𝘤𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘰𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳 𝘈𝘚.
2. 𝘉𝘶𝘬𝘶 𝘔𝘰𝘯𝘴𝘰𝘰𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢 𝘙𝘰𝘣𝘦𝘳𝘵 𝘒𝘢𝘱𝘭𝘢𝘯 (2010) 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴 𝘨𝘦𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘚𝘢𝘮𝘶𝘥𝘳𝘢 𝘏𝘪𝘯𝘥𝘪𝘢.
3. 𝘈𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘓𝘰𝘸𝘺 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (2021) 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪 𝘙𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘥𝘪 𝘗𝘢𝘴𝘪𝘧𝘪𝘬.
4. 𝘞𝘢𝘸𝘢𝘯𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘦𝘬𝘴𝘱𝘦𝘳 𝘒𝘦𝘮𝘦𝘯𝘩𝘢𝘯 𝘙𝘐 (2020) 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘢𝘪𝘵 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢-𝘙𝘶𝘴𝘪𝘢.
5. 𝘈𝘳𝘵𝘪𝘬𝘦𝘭 𝘊𝘚𝘐𝘚 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 (2022) 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘷𝘦𝘴𝘵𝘢𝘴𝘪 𝘵𝘢𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘙𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘥𝘪 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢.