Oleh: David Jonathan Simbolon, Daniel Jhon Hery Simanungkalit, Jefrin Milhham Hia, Enjelina Lubis, dan Eva Meilinda Lumbangaol.
Mobilitas antardaerah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ke hidupan mahasiswa Indonesia masa kini. Di antara para perantau itu, mahasiswa asal Papua yang menimba ilmu di Universitas Negeri Medan (UNIMED) menjadi cermin menarik dari proses adaptasi sosial dan budaya. Mereka tidak hanya menjadi subjek dari arus perubahan, tetapi juga tampil sebagai agen yang aktif membentuk ulang struktur sosial dalam ruang perantauan.
Menurut sosiolog Anthony Giddens, individu dalam masyarakat modern bukanlah aktor pasif. Mereka memiliki kapasitas untuk merefleksikan tindakan dan merekonstruksi kehidupan sosial di sekeliling mereka. Pendekatan ini terasa relevan ketika menelaah bagaimana mahasiswa Papua menjalani keseharian di Medan, Sumatera Utara (Sumut) wilayah dengan kultur yang sangat berbeda dari tanah kelahiran mereka.
Salah satu ruang adaptasi yang paling nyata adalah soal makanan. Di Papua, sagu, ikan bakar, dan sayuran segar merupakan santapan utama. Namun, di Medan, keberagaman kuliner yang kaya rempah menjadi pengalaman baru yang menggugah rasa. Makanan seperti nasi goreng, rendang, dan mie gomak perlahan menjadi bagian dari menu harian mereka. Tak sedikit pula yang mulai bereksperimen di dapur, menggabungkan cita rasa Papua dengan bumbu khas Medan, menciptakan akulturasi kuliner yang unik.
Transformasi juga terjadi dalam pola pergaulan. Jika di Papua suasana komunal dengan kedekatan emosional yang kental menjadi kebiasaan, di Medan mereka dihadapkan pada interaksi dengan beragam latar budaya dan identitas. Proses ini memperluas wawasan serta memperkaya pemahaman tentang keberagaman Indonesia.
Marsella, mahasiswa asal Wamena yang kini menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial UNIMED, menceritakan peran penting organisasi daerah seperti Ikatan Mahasiswa Papua (IMP). Bagi Marsella, IMP bukan hanya ruang nostalgia, tetapi juga medium strategis untuk menjaga budaya dan membangun solidaritas.
“Di IMP, kami saling berbagi soal adat, bahasa, dan kebiasaan. Tapi IMP juga jadi tempat belajar dan saling mendukung dalam perkuliahan,” ujar Marsella. Ia menekankan bahwa organisasi ini bukan sekadar menjaga memori kolektif Papua, tetapi juga mendorong adaptasi yang konstruktif di lingkungan kampus.
Marsella juga mengakui adanya penyesuaian dalam metode belajar. “Di Papua, suasananya lebih santai, tapi tetap serius. Kami terbiasa belajar bersama dan saling membantu. Di Medan, suasananya lebih menuntut. Saya jadi belajar untuk lebih disiplin dan fokus,” katanya.
Lebih dari sekadar akademik dan budaya, kehidupan di rantau juga mengajarkan kemandirian. Mahasiswa Papua di Medan belajar mengatur keuangan, menyeimbangkan jadwal antara kuliah, organisasi, dan kegiatan sosial. Dalam banyak hal, pengalaman ini menjadi jalan pembentukan karakter dan kepribadian.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Rasa rindu terhadap kampung halaman, keluarga, dan suasana Papua sering kali muncul, terutama ketika beban akademik sedang tinggi. Namun, menurut Marsella, kehadiran teman-teman dari IMP dan jejaring pertemanan lintas daerah menjadi kekuatan yang menopang semangat.
“Hal paling penting yang saya pelajari di sini adalah kita bisa tetap menjaga budaya sendiri sambil beradaptasi dengan lingkungan baru. IMP sangat membantu agar kita tidak kehilangan identitas, tapi juga bisa lebih mandiri,” pungkasnya.
Pengalaman Marsella dan teman-temannya menunjukkan bahwa proses menjadi bagian dari masyarakat baru tidak berarti melepaskan identitas lama. Justru sebaliknya, dengan adaptasi yang sadar dan dukungan komunitas yang kuat, mahasiswa Papua di Medan memperlihatkan bahwa identitas dapat dirawat sekaligus dikembangkan dalam ruang keberagaman.
Perubahan gaya hidup yang mereka jalani adalah bukti bahwa perpindahan geografis bukanlah akhir dari budaya, melainkan awal dari dinamika baru yang lebih kaya. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, kisah mereka mengajak kita semua untuk tidak hanya mengakui perbedaan, tetapi juga merayakannya sebagai kekuatan bersama. (*)
Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.