Oleh: Betti Roulina Siahaan, Dita Aulia Adha, Siska Ulina LimbanBatu, Ulfa Harahap, dan Herlina Situmorang.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa transformasi mendasar dalam cara manusia berinteraksi. Salah satu bentuk perubahan paling signifikan terjadi pada dimensi komunikasi interpersonal, terutama sejak munculnya kecerdasan buatan (AI) sebagai aktor baru dalam proses pertukaran pesan.
Dalam konteks ini, peran manusia sebagai komunikator mulai digeser oleh sistem digital yang mampu memproduksi dan memodifikasi pesan layaknya manusia.
Komunikasi interpersonal selama ini dipahami sebagai proses pertukaran makna antara dua
individu yang saling memengaruhi. Namun, kemajuan teknologi telah menghadirkan berbagai
medium yang memediasi komunikasi, dari email, pesan instan, hingga media sosial. Kini, dengan kehadiran AI, medium itu tidak lagi hanya berfungsi sebagai saluran pasif, tetapi juga sebagai agen aktif yang dapat menciptakan, mengarahkan, dan bahkan mengambil alih peran komunikator.
Hal ini menimbulkan pergeseran paradigma dalam kajian komunikasi interpersonal. Salah satu manifestasi dari perubahan ini adalah munculnya teknologi seperti chatbot dan asisten virtual.
Chatbot digunakan secara luas dalam layanan pelanggan, mampu menjawab pertanyaan
pengguna dengan kecepatan dan presisi yang tinggi. Asisten virtual seperti Google Assistant dan
Siri bahkan dapat melakukan tugas-tugas yang bersifat pribadi, seperti mengatur jadwal atau
mencari informasi, melalui percakapan yang menyerupai interaksi manusia. Teknologi ini
menunjukkan bahwa AI telah menjadi entitas komunikatif yang berinteraksi secara langsung
dengan manusia.
Selain itu, penerjemah otomatis berbasis AI juga memainkan peran penting dalam menjembatani
keterbatasan bahasa. Dalam dunia yang semakin terhubung, kemampuan AI untuk menerjemahkan ucapan atau teks dari satu bahasa ke bahasa lain membuka peluang komunikasi interpersonal lintas budaya. Namun, meskipun AI menunjukkan efisiensi luar biasa dalam proses komunikasi, terdapat pula tantangan, seperti akurasi pesan, kehangatan emosional, serta kepercayaan terhadap informasi yang disampaikan oleh sistem non-manusia.
Dari sudut pandang keilmuan, evolusi ini menantang batas-batas teori komunikasi tradisional yang menempatkan manusia sebagai pusat proses komunikasi. Munculnya konsep humanmachine communication seperti yang dikemukakan oleh Guzman dan pengembangan model “komunikasi di luar manusia” oleh Littlejohn menunjukkan bahwa komunikasi kini harus dipahami dalam kerangka yang lebih luas, termasuk interaksi antara manusia dan mesin.
Dalam praktiknya, kehadiran AI juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah interaksi yang terjadi antara manusia dan mesin dapat sepenuhnya dianggap sebagai komunikasi interpersonal?
Dalam konteks fungsional, AI mampu menjawab, memberi respons emosional, bahkan menyesuaikan gaya bahasa. Namun, perbedaan esensial tetap ada—AI tidak memiliki kesadaran, empati, atau pengalaman manusiawi. Oleh karena itu, meskipun AI mampu meniru komunikasi, ia belum tentu mampu sepenuhnya menggantikan kedalaman dan kompleksitas hubungan interpersonal antar manusia.
Selain itu, penggunaan AI dalam komunikasi juga menuntut literasi digital yang semakin tinggi.
Pengguna dituntut untuk mampu memahami keterbatasan dan potensi bias dalam respons AI,
serta tetap menjaga kualitas komunikasi autentik antar manusia. Jika tidak dikritisi, ketergantungan terhadap AI berisiko melemahkan nilai-nilai humanistik dalam relasi sosial, seperti kepercayaan, empati, dan keintiman.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa evolusi komunikasi interpersonal yang dimediasi oleh kecerdasan buatan bukan hanya sebuah kemajuan teknologi, tetapi juga tantangan etis dan kultural. AI membuka babak baru dalam sejarah komunikasi manusia, di mana mesin tidak hanya menjadi jembatan, tetapi juga menjadi bagian dari percakapan itu sendiri.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk terus mengkaji dampaknya secara kritis, agar teknologi ini dapat diarahkan demi memperkuat, bukan menggantikan, esensi kemanusiaan dalam komunikasi. (*)
Tulisan ini tidak mewakili pandangan dari redaksi Mudanews.com.