Oleh: Fadila Husna Halawa dan Ayu Chintya mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED
Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, budaya lokal Indonesia berada pada persimpangan jalan. Di satu sisi, kita bangga akan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi. Di sisi lain, kita menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan warisan budaya yang menjadi identitas kita selama ratusan tahun?
Modernisasi telah membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir masyarakat berubah menjadi lebih rasional, efisien, dan terbuka terhadap hal-hal baru. Namun tanpa disadari, proses ini juga menggerus nilai-nilai tradisional. Misalnya, generasi muda kini lebih mengenal budaya populer Korea atau Barat daripada cerita rakyat atau upacara adat dari daerahnya sendiri. Padahal, budaya lokal bukan hanya soal kesenian, tetapi juga mencakup nilai-nilai gotong royong, kesantunan, dan kebijaksanaan hidup yang diwariskan secara turun-temurun.
“Kalau tidak ada upaya sadar untuk melestarikan, kita bisa kehilangan akar budaya yang sangat penting bagi jati diri bangsa,” ujar Dr. Wayan Suharta, antropolog dari Universitas Indonesia. Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa pelestarian budaya tidak bisa hanya diserahkan kepada waktu atau keadaan. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat tradisi di tengah dunia yang terus berubah.
Pertanyaannya, apakah budaya lokal harus kalah oleh zaman?
Jawabannya tidak. Budaya lokal tidak perlu dikalahkan oleh modernisasi, tetapi justru dapat bertransformasi mengikutinya. Banyak komunitas kreatif kini mulai mengangkat kembali tradisi melalui medium digital, seperti video pendek, podcast berbahasa daerah, atau produk fashion yang menggabungkan motif tradisional dengan desain modern. Ini bukti bahwa tradisi bukan barang usang—ia hanya butuh cara baru untuk diperkenalkan kembali.
Selain itu, peran pendidikan sangat krusial. Sekolah seharusnya bukan hanya tempat mentransfer ilmu pengetahuan modern, tapi juga ruang untuk menanamkan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Mengajarkan tari tradisional, musik daerah, atau bahkan sekadar menyanyikan lagu-lagu rakyat bisa menjadi langkah kecil namun bermakna dalam menjaga jati diri bangsa.
Tradisi tidak harus dipertahankan dalam bentuk aslinya secara kaku. Ia bisa hidup berdampingan dengan modernitas, selama kita memiliki kesadaran untuk memberi ruang. Ruang itu bukan hanya dalam wacana, tapi dalam tindakan nyata: mengenal, mencintai, dan melestarikan.
Jadi, masih adakah ruang untuk tradisi di era modern ini? Jawabannya tergantung pada kita. Jika kita memilih untuk acuh, maka tradisi akan perlahan menghilang. Tapi jika kita memilih untuk merangkulnya, maka budaya lokal akan terus hidup—tidak hanya sebagai kenangan, tetapi sebagai bagian dari masa depan. (*)
Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.