Budaya Konsumtif Gen Z dan Gen Alpha: Duri Dalam Daging di Era Digital

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Firly Fijrina, Martin Marcellino Lumban Tobing, Elsa Maria Simatupang, Riri Putri Siwi, Siti Nurjannah, dan Wendamia Hafni Br Ginting.

Perubahan sosial budaya merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dunia terus bergerak maju, dan manusia ikut berubah mengikuti zaman. Generasi muda saat ini khususnya Gen Z dan Gen Alpha adalah generasi yang lahir dan tumbuh dalam era digital. Mereka sangat akrab dengan internet, media sosial, dan segala bentuk kemudahan teknologi. Namun, dari semua perubahan yang terjadi, ada satu hal yang patut kita waspadai yakni tumbuh suburnya budaya konsumtif.

Budaya konsumtif ini tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari kebiasaan yang terus menerus dipengaruhi oleh arus informasi, tren viral, serta gaya hidup layaknya selebriti dan influencer di media sosial. Sebagaimana halnya, baik itu di TikTok, Instagram, bahkan YouTube, kita bisa melihat betapa cepatnya suatu produk menjadi “wajib punya” hanya karena viral.

Generasi muda hari ini dengan mudah tergoda membeli skincare, baju branded, makanan kekinian, bahkan barang-barang yang belum tentu mereka butuhkan semata-mata agar dianggap tidak ketinggalan zaman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap dkk (2020) yang menunjukkan bahwa media sosial telah memicu perubahan signifikan dalam kebiasaan konsumsi masyarakat, terutama generasi muda yang dengan cepatnya terpengaruh oleh visual dan tren yang tersebar cepat di media digital.

Ironisnya, budaya ini justru sering dianggap sebagai hal yang lumrah, bahkan dibanggakan. Banyak yang merasa makin keren jika bisa mengikuti tren terbaru, tanpa peduli apakah barang tersebut benar-benar penting atau hanya sekadar ikut-ikutan. Lebih parah lagi, perilaku konsumtif ini difasilitasi oleh sistem paylater, cicilan digital, dan diskon dadakan yang membuat siapa pun bisa membeli tanpa berpikir panjang. Dalam jangka pendek, ini mungkin terasa menyenangkan. Akan tetapi, dalam jangka panjang, bisa menjerumuskan dalam masalah finansial dan kebiasaan hidup yang boros. Efendi dkk (2023) menegaskan bahwa digitalisasi turut mendorong pergeseran nilai sosial dan budaya, di mana orientasi hidup cenderung bergeser ke arah konsumtif dan materialistik.

Ironis juga ketika banyak dari mereka belum dibekali dengan pengetahuan keuangan dasar. Tak sedikit Gen Z dan Gen Alpha yang belum memahami pentingnya menabung, menyusun skala prioritas, atau merencanakan keuangan.

Sering kali, membeli sesuatu dilakukan hanya untuk terlihat keren atau agar sesuai dengan standar sosial yang terbentuk di dunia maya. Ketika status sosial diukur dari barang yang dimiliki atau tempat nongkrong yang dikunjungi, maka tekanan untuk tampil “sempurna” semakin kuat.

Hal ini tentu menjadi beban tersendiri, apalagi bagi mereka yang sebenarnya belum punya penghasilan tetap. Seperti dikatakan oleh Hidayatullah (2024), digitalisasi telah menciptakan standar hidup baru di masyarakat urban yang menekankan pada penampilan dan kepemilikan secara materi.

Budaya konsumtif ini ibarat duri dalam daging. Ia tidak terasa menyakitkan di awal, tetapi jika dibiarkan, lama-lama akan melukai. Generasi muda yang seharusnya tumbuh menjadi pribadi yang bijak, hemat, dan tahan terhadap tekanan sosial, justru terjebak dalam lingkaran konsumerisme yang tak ada habisnya.

Nilai-nilai kesederhanaan, rasa syukur, dan hidup secukupnya perlahan-lahan tergeser oleh keinginan untuk terus tampil sempurna di mata orang lain. Menurut Sarkawi (2016) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa media sosial telah mengubah fungsi sosial budaya, salah satunya dengan menggeser nilai kesederhanaan menjadi nilai kompetisi penampilan.

Tentu, mengikuti tren tidak selalu salah. Dunia terus berubah, dan generasi muda perlu beradaptasi. Tapi yang perlu ditegaskan adalah pentingnya memiliki kesadaran dalam mengatur gaya hidup. Tidak semua yang viral harus dimiliki. Tidak semua yang baru berarti penting. Kita perlu mengajarkan kepada anak-anak muda bahwa kebahagiaan tidak selalu bisa dibeli, dan bahwa nilai diri seseorang tidak ditentukan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki.

Peran keluarga, pendidikan, dan lingkungan sekitar sangat penting untuk membantu membentuk pola pikir ini. Edukasi tentang manajemen keuangan, pemahaman akan kebutuhan versus keinginan, serta kesadaran akan tekanan sosial di media digital perlu diperkuat. Kustiawan dkk (2023) juga menegaskan bahwa media berperan besar dalam membentuk persepsi publik dan pola konsumsi, sehingga perlu adanya edukasi yang baik terhadap pesan-pesan media.

Jika tidak, maka budaya konsumtif ini akan terus tumbuh, menjadi racun yang perlahan melemahkan daya tahan generasi muda terhadap godaan zaman. Pada akhirnya, menjadi generasi digital bukan berarti harus ikut arus terus-menerus. Justru dengan segala fasilitas yang ada, Gen Z dan Gen Alpha harus bisa menjadi lebih bijak dalam memilih, memilah, dan memutuskan apa yang benar-benar mereka butuhkan. Karena di tengah dunia yang serba cepat dan konsumtif ini, yang paling dibutuhkan bukan hanya kemampuan untuk membeli, tetapi juga kemampuan untuk menahan diri. (*)

Tulisan ini dibuat oleh mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi UNIMED.

Berita Terkini