Oleh : Nabila Syaqira dan Mira Barus mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pola perilaku konsumtif masyarakat. Hidup di era modernisasi menuntut masyarakat untuk terus beradaptasi dengan dinamika perubahan sosial yang dapat membawa dampak positif maupun negatif. Pertanyaannya, apakah kita saat ini tengah menikmati puncak kejayaan dari kemajuan teknologi yang begitu pesat, atau justru menuju fase kemunduran dalam dimensi sosial?
Dalam konteks perubahan sosial, salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji adalah perubahan perilaku konsumtif di era e-commerce. Transisi dari belanja di pasar tradisional ke belanja online bukan sekadar pergeseran bentuk transaksi, melainkan merupakan revolusi fundamental dalam cara kita berinteraksi dengan produk, merek, bahkan dengan konsep nilai itu sendiri.
Dulu, aktivitas belanja di pasar tradisional bukan hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang pengalaman sosial: tawar-menawar yang penuh kehangatan, melihat langsung kualitas produk, dan membangun kedekatan emosional dengan para pedagang. Kini, e-commerce telah menggantikan banyak unsur tersebut dengan kenyamanan yang luar biasa: kita dapat berbelanja kapan saja dan di mana saja tanpa perlu beranjak dari tempat duduk. Namun, efisiensi ini datang dengan konsekuensi. Interaksi manusia yang menjadi aspek esensial dalam pengalaman belanja perlahan memudar, menjauhkan kita dari nilai-nilai sosial dan budaya yang dulu menyertai aktivitas ekonomi masyarakat.
Lebih dari itu, belanja online kerap mendorong munculnya perilaku konsumtif yang berlebihan. Jika di pasar tradisional kita cenderung membeli barang sesuai kebutuhan, maka dalam e-commerce, dorongan belanja sering kali muncul karena tergoda oleh promosi, diskon, atau tren sesaat. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi sangat nyata, di mana konsumen merasa harus segera membeli sesuatu agar tidak ketinggalan penawaran atau tren terbaru, meskipun barang tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan.
Kemudahan akses dan gempuran iklan di platform digital telah mengubah psikologi konsumen dari pola belanja yang rasional menjadi impulsif. Hal ini tentu menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang kompleks. Di satu sisi, UMKM lokal dan pasar tradisional semakin sulit bersaing, terancam oleh dominasi platform digital besar. Di sisi lain, peningkatan volume pengiriman barang turut menyumbang pada meningkatnya jejak karbon melalui kemasan sekali pakai dan sistem logistik yang padat.
Dengan demikian, perubahan perilaku konsumtif di era e-commerce harus dipahami secara lebih kritis. Kita tidak bisa hanya melihat kemajuan teknologi sebagai pencapaian semata, tetapi juga perlu merefleksikan dampaknya terhadap nilai-nilai sosial, ekonomi lokal, dan keberlanjutan lingkungan. Sudah saatnya kita menyeimbangkan kenyamanan teknologi dengan kesadaran sosial, agar tidak kehilangan sisi manusiawi dalam proses konsumsi yang semakin digital. (*).
Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.