Oleh: Dahlia Noralita Pardede dan Lilis Veronika br Perangin-angin mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED
Di era digital yang terus berkembang, media sosial telah menjadi bagian yang sulit terpisahkan dari kehidupan remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menawarkan kemudahan berkomunikasi, mengekspresikan diri di dunia maya, serta menjalin koneksi lintas batas geografis.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, terselip persoalan serius yang mulai mencuat: krisis etika dalam interaksi sosial remaja. Menurut Harahap dkk. (2024), media sosial memengaruhi perilaku etis remaja secara signifikan. Mereka menunjukkan bahwa selain membuka akses informasi dan memperkaya keterampilan komunikasi, media sosial juga meningkatkan risiko penyebaran hoaks, ketergantungan teknologi, dan cyberbullying. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika bermedia sosial belum tertanam kuat dalam keseharian remaja.
Senada dengan itu, Sunni dkk. (2023) menyoroti bahwa komunikasi di media sosial sering kali mengabaikan norma sopan santun. Banyak remaja dari berbagai latar belakang, terlibat dalam debat panas yang berujung pada penghinaan dan konflik. Ini terjadi karena rendahnya kesadaran akan etika komunikasi, yang semestinya menjunjung tinggi nilai kesopanan dan tanggung jawab moral dalam menyampaikan pendapat.
Taib dkk. (2024) menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial berbanding lurus dengan perubahan interaksi sosial remaja. Banyak dari mereka lebih nyaman dalam komunikasi virtual daripada tatap muka, yang mengakibatkan menurunnya keterampilan sosial di dunia nyata. Tidak jarang pula ditemukan identitas digital yang bertolak belakang dengan jati diri sesungguhnya, memunculkan tekanan psikologis dan krisis identitas.
Fenomena krisis etika ini sejatinya mencerminkan belum siapnya sebagian besar remaja menghadapi derasnya arus digitalisasi. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang produktif untuk berbagi dan belajar, justru kerap disalahgunakan menjadi medan konflik, ajang pencitraan palsu, bahkan ladang kekerasan verbal. Melihat bahwa akar persoalannya bukan semata-mata pada teknologi, tetapi pada kurangnya pendampingan dan pembiasaan nilai-nilai moral dalam kehidupan digital.
Remaja saat ini tumbuh dalam budaya instan yang menekankan popularitas, likes, dan followers sebagai tolok ukur harga diri. Ketika validasi sosial lebih diprioritaskan dibanding integritas pribadi, maka nilai etika seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab menjadi terpinggirkan. Bahkan tidak sedikit remaja yang rela memanipulasi identitas, menyebarkan ujaran kebencian, atau membully demi mendapat perhatian. Ini sangat memprihatinkan.
Sering kali, masyarakat dewasa terlambat menyadari bahwa media sosial bukan sekadar alat hiburan, melainkan ruang sosial baru yang turut membentuk kepribadian. Kita terlalu sibuk melarang dan membatasi, tapi lupa membimbing dan memberi contoh. Kita tidak bisa terus berharap remaja akan tahu sendiri bagaimana bersikap bijak di ruang digital, sementara mereka tidak pernah diberikan bekal nilai yang cukup untuk menghadapi kompleksitas dunia maya.
Lebih dari itu, kita harus mengubah cara pandang terhadap remaja. Mereka bukan beban yang harus “diselamatkan”, melainkan aset yang bisa diberdayakan. Remaja punya kekuatan, kreativitas, dan energi besar. Jika diberi ruang, mereka bisa menjadi pelopor etika digital yang inspiratif. Sudah banyak contoh anak muda yang menginisiasi gerakan literasi digital, menyebarkan pesan positif, dan membela korban perundungan online. Mereka hanya butuh kepercayaan dan dukungan.
Krisis etika ini bukan alasan untuk memusuhi teknologi atau membatasi media sosial secara ekstrem. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk membangun sistem nilai yang kuat sejak dini baik dari keluarga, sekolah, hingga media. Dunia digital tak akan pernah netral, ia akan mencerminkan nilai dari orang-orang yang menggunakannya. Jika kita ingin masa depan etika digital yang lebih baik, maka kita semua harus menjadi bagian dari solusinya. Dengan demikian, meskipun media sosial menyimpan potensi krisis etika, hal itu bukan alasan untuk menolaknya secara mutlak.
Justru, ini menjadi tantangan bersama untuk membentuk generasi remaja yang tidak hanya cerdas digital, tetapi juga bijak dan bermoral dalam berinteraksi. Masa depan dunia maya ada di tangan mereka dan kita semua berkewajiban untuk memastikan tangan itu bersih, kuat, dan bertanggung jawab.
Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.