Dedi Bukan Jokowi, Mulyadi Bukan Mulyono

Breaking News

- Advertisement -

 

 

Zezen Zaenal Mutaqin
(Alumni HMI Ciputat, Pituin Kuningan)

Mudanews.com OPINI – Saya hanya sekali menemui KDM. Sudah lama sekali. Saya lupa waktu tepatnya. Saat itu dia menjabat sebagai wakil bupati di Purwakarta dan saya koordinator riset Jawa Barat untuk Lembaga Survei Indonesia (LSI). KDM ingin tahu tentang survei. Lewat jaringan HMI, sesesorang yang disuruhnya menghubungi saya.

Kami bergegas dari Menteng dengan kendaraan seorang kawan. Mobil jip Suzuki tua yang kami naiki tidak bisa berlari. Berjalan lebih mirip kura-kura. Padahal kami dikejar waktu janjian setelah jam makan siang untuk bertemu KDM di kantornya.

Akhirnya kami bertemu di ruangannya. Kami duduk bertiga dan obrolan tentang survei mengalir begitu saja. Saya ingat, KDM ingin naik jadi bupati dan karena itu bertanya kepada beberapa lembaga survei, termasuk kepada LSI.

Setelah obrolan siang itu, saya ingat, tidak ada kelanjutan rencana penelitian dan konsultansi karena rupanya dia memilih lembaga survei lain yang lebih ekonomis. Dan karena itu tidak ada lagi perjumpaan saya dengannya.

KDM kini menjadi sensasi politik baru di Indonesia. Saya hanya mengikutinya dari sosial media yang begitu populer. Juga dari obrolan beberapa kawan yang lumayan dekat dengannya. Minggu ini Tempo secara khusus menurunkan sebuah laporan tentang KDM.

Tulisan ini respons terhadap tulisan Tempo dan juga unggahan yang berseliweran di sosial media. Ada kecenderungan orang menyamakan KDM dengan Jokowi. Mereka mirip dalam hal: menuai popularitas lewat populisme. Masuk ke gorong-gorong dan datang ke pasar adalah dua ikon yang selalu disamakan. Juga turun ke bawah atau blusukan: pasar dan warga, selokan dan bendungan, sekolah hingga barak militer.

Terlepas dari kesamaan keduanya dalam hal mendulang popularitas dari populisme, saya melihat ada beberapa hal membuat keduanya berbeda secara kontras. Pertama, KDM tidak berpura-pura lugu, polos dan bodoh. KDM malah berani frontal, terlihat cukup pandai. Jago berpidato dan beretorika, juga menguasai teknik panggung. Sesekali ia juga menjadi dalang dan bernyanyi. Bahkan menciptakan lagu.

Sebagai orang Sunda, saya secara pribadi kagum pada KDM dalam hal penguasaan falsafah, tradisi dan budaya Sunda. Sebagai mantan aktivis HMI, saya juga kagum pada usahanya membumikan penafsiran Islam yang terbuka, mendialogkannya dengan budaya. Dia tak khawatir dicap sebagai tidak Islami hanya karena memiliki perbedaan penafsirkan. Dalam dialognya dengan Akbar Faisal KDM secara terbuka mengatakan pemahaman keislamannya dipengarhui oleh orang seperti Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.

Coba anda baca bait ini:

Kawung mabur sarulukeunna
Samak leungit jeung pandana
Ciamis tinggal pahitna
Ciherang tinggal kiruhna
Resi leungiteun ajina
Pandita leungit komarana
Kaduruk ku hawa nafsuna
Bangkong dikongkorong kujang
Ka cai mawa cameti.

Bapak saya dikampung dulu dianggap sebagai sesepuh yang cukup dalam mengetahui syair, falsafah, pitutur dan tradisi Sunda. Tapi saya belum pernah mendengar ayah saya menurutkan falsafah ini dalam pidato dan ceramahnya. KDM dengan lancar menjelaskan makna falsafah itu ketika dia mengkritik falsafah pendidikan modern. Dia mengatakan, falsafah pendidikan Sunda itu harus bertumpu pada pencapaian lima tujuan. Falsafah itu disebut Panca Waluya: Ceger, Bager, Bener, Pinter, Singer (Sehat, Baik, Jujur dan benar, Pandai dan Cekatan).

Silahkan anda cek kembali video-videonya untuk melihat kedalaman KDM dalam falsafah budaya. Ini yang setidaknya tidak ada dalam penampilan Mulyono. Mulyono mungkin mengetahui falsafah politik Jawa. Tapi dia tidak menuturkannya.

Kedua, KDM matang sekali sebagai politisi karena memiliki riwayat organisasi yang panjang. Dia adalah pendiri HMI Cabang Purwakarta. Cabang yang didirikannya kini sudah mapan dan memiliki banyak komisariat. Setelah itu dia masuk politik dan merintis dari bawah: menjadi anggota DPRD, wakil Bupati, Bupati, Calon Gubernur dan Gubernur. Sebagai teknokrat dia matang. Dia berani berdebat tentang teknokrasi karena dia mengetahuinya dengan baik.

Mulyono tidak demikian. Memang ia merintis dari bawah dengan memulai di Solo. Namun kemunculannya terlalu tegesa-gesa. Itu yang menjelaskan kenapa dia begitu mentah ketika menjadi presiden pada periode pertama. Memaang dia pembelajar politik yang cukup baik dan berhasil menjadi ‘raja jawa’ diakhir masanya. Dia cenderung menghindar ketika ditanya isu-isu teknokratik. Dia akan menyerahkannya pada para pembantunya.

Ketiga, KDM memiliki kapital pribadi yang mendukungnya menjadi semacam ‘sinterklas polotik’ lewat dana iklan. Media sosialnya diikuti jutaan pengikut. Juga jutaan, jika tidak milyaran, kali diputar. Bayangkan berapa banyak uang perbulan dia dapatkan. Kapital ini yang membuat dia bisa dengan mudah memotong jalan jika jalur formal birokrasi terlalu berbelit. Ia akan gunakan uang pribadinya.

Kita tahu Jokowi tidak demikian. Ia tak cakap membuat konten. Karena itu tak punya uang adsense.

Kenapa ini penting? Di era ketika semua orang memegang hp dan aktif di sosial media, popularitas di media sosial media akan memotong secara radikal dana politik. Selama ini biaya politik sangat mahal. Butuh trilyunan untuk membeli iklan di media baliho, billboard, videotron atau iklan di televisi. KDM melakukannya dengan cuma-cuma, dibayar pula.

Mimpi dari semua politisi adalah popularitas. Itu fakta yang jelas dengan sendirinya. Jokowi, Dedi, Mulyadi maupun Mulyono akan melakukan hal-hal yang akan membuatnya populer. Tapi ingat, semua politisi pada dasarnya akan melakukan itu. Soalnya hanya pada kemampuan: yang lain tidak sepopuler KDM karena tidak bisa melakukannya. Itu saja.

Jadi, menyamakan KDM dengan Jokowi hanya karena sama-sama populer, menurut saya, tidak tepat. Fakta bahwa mereka sama-sama populer karena blusukan memang jelas dengan sendirinya. Tapi karena faktor-faktor yang saya sebutkan itu, menurut saya Dedi bukanlah Jokowi, Muyono juga bukan Mulyadi.

Berita Terkini