𝐀𝐮𝐬𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚: 𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐮𝐤𝐚 𝐃𝐮𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐁𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐢 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah  Ch.Cht

Mudanews.com-OPINI | Hubungan Indonesia-Australia adalah kisah klasik tentang tetangga yang tak bisa memilih, tetapi terpaksa berdamai dengan ambivalensi.

Di balik retorika kemitraan dan kerja sama, Australia telah lama memainkan strategi politik bermuka dua yang halus namun sistematis terhadap Indonesia.

Dari isu integritas teritorial hingga pengaruh kekuatan global, Canberra kerap menari di antara dukungan terbuka dan sabotase terselubung, mengorbankan prinsip demi kepentingan nasionalnya.

Tulisan ini mengupas strategi realpolitik Australia yang kerap dianggap munafik oleh publik Indonesia, dengan fokus pada lima dimensi kritis: Timor-Leste, Papua, intelijen, kehadiran militer AS di Darwin, dan hubungan Indonesia-Rusia.

𝟏. 𝐓𝐢𝐦𝐨𝐫-𝐋𝐞𝐬𝐭𝐞: 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐚𝐦-𝐝𝐢𝐚𝐦 𝐤𝐞 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐯𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐌𝐨𝐫𝐚𝐥

Australia adalah aktor kunci dalam drama lepasnya Timor-Leste dari Indonesia, tetapi perannya sarat kontradiksi.

Pada 1975, ketika Indonesia menginvasi Timor Timur, Australia di bawah PM Gough Whitlam secara diam-diam mendukung aneksasi dengan alasan stabilitas regional.

Bahkan, pada 1989, Canberra menandatangani Timor Gap Treaty dengan Jakarta untuk mengeksploitasi cadangan minyak di perairan Timor Timur.

Ini adalah bentuk pengakuan de facto atas kedaulatan Indonesia.

Namun, pasca-Jatuhnya Soeharto (1998), Australia tiba-tiba berubah menjadi “juru kampanye HAM”.

PM John Howard mendorong referendum kemerdekaan Timor Timur melalui tekanan diplomatik ke PBB dan AS, sambil memimpin misi INTERFET (Pasukan PBB) pada 1999.

Pergeseran ini bukan didorong oleh moralitas, melainkan kalkulasi realpolitik:

1. Kepentingan Energi : Lepasnya Timor-Leste memungkinkan Australia merundingkan pembagian minyak 𝘎𝘳𝘦𝘢𝘵𝘦𝘳 𝘚𝘶𝘯𝘳𝘪𝘴𝘦 secara langsung dengan negara baru yang lemah, bukan dengan Indonesia yang lebih kuat.

2. Pencitraan Global : Australia ingin dipandang sebagai “penjaga demokrasi” di kawasan, meski mereka juga melakukan tindakan yang sama pada masyarakat Aborigin

Strategi ini membuktikan bahwa Australia siap mengorbankan Indonesia begitu kepentingan ekonominya terancam.

Jadi jelas bahwa Australia bukanlah teman yang baik bagi Indonesia

𝟐. 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚: 𝐃𝐮𝐤𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐬𝐞𝐥𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐑𝐞𝐭𝐨𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐍𝐊𝐑𝐈

Pemerintah Australia selalu menyatakan dukungan resmi terhadap integritas Papua dalam NKRI.

Namun, bukti sejarah menunjukkan sikap ambigu yang disengaja:

Visa Politik : Pada 2006, Australia memberikan visa perlindungan kepada 43 aktivis Papua, termasuk pemimpin separatis Herman Wanggai.

Meski Canberra mengklaim ini sebagai “alasan kemanusiaan”, langkah ini dipandang Jakarta sebagai legitimasi bagi gerakan separatis.

Dukungan LSM Pro-Kemerdekaan : LSM Australia seperti 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢 𝘞𝘦𝘴𝘵 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢 𝘈𝘴𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 (AWPA) dan 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘓𝘪𝘣𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘔𝘰𝘷𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘞𝘦𝘴𝘵 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢 (ULMWP) aktif berkampanye di forum internasional, sering kali dengan dukungan finansial tidak langsung dari politikus Australia.

Pemanfaatan Media : Media Australia seperti  ABC dan 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘺𝘥𝘯𝘦𝘺 𝘔𝘰𝘳𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘏𝘦𝘳𝘢𝘭𝘥 kerap memberitakan Papua dengan narasi “penindasan militer Indonesia”, memperkuat opini publik global yang meragukan legitimasi Jakarta di Papua.

Australia sengaja menjaga Papua sebagai 𝘭𝘦𝘷𝘦𝘳𝘢𝘨𝘦 politik: membiarkan isu ini tetap hidup untuk menekan Indonesia dalam negosiasi bilateral, seperti isu perdagangan dan keamanan maritim.

𝟑. 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐥𝐢𝐣𝐞𝐧: 𝐌𝐞𝐦𝐚𝐭𝐚-𝐦𝐚𝐭𝐚𝐢 𝐒𝐞𝐤𝐮𝐭𝐮 𝐝𝐞𝐦𝐢 𝐃𝐨𝐦𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢

Skandal penyadapan Australia terhadap Presiden SBY dan istri pada 2013 (𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘏𝘈𝘗𝘗𝘠𝘙𝘖𝘖𝘔) adalah bukti nyata  𝘥𝘶𝘱𝘭𝘪𝘤𝘪𝘵𝘺  𝘊𝘢𝘯𝘣𝘦𝘳𝘳𝘢.

Meski menjadi mitra dalam 𝘍𝘪𝘷𝘦 𝘌𝘺𝘦𝘴 𝘈𝘭𝘭𝘪𝘢𝘯𝘤𝘦 (jaringan intelijen AS, Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru), Australia secara aktif menyabotase kepercayaan Jakarta. Tujuan utama operasi ini adalah:

1. Mengumpulkan data strategis tentang kebijakan dalam negeri Indonesia, terutama terkait Papua dan aliansi dengan Tiongkok.

2. Memastikan dominasi Australia dalam dinamika kekuatan di kawasan Indo-Pasifik.

Yang ironis, Australia tetap menjual diri sebagai “mitra keamanan” Indonesia melalui kerja sama anti-terorisme dan latihan militer bersama.

𝟒. 𝐏𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫 𝐀𝐒 𝐝𝐢 𝐃𝐚𝐫𝐰𝐢𝐧: 𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐁𝐚𝐣𝐮 𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢

Sejak 2011, sekitar 2.500 marinir AS ditempatkan di Darwin sebagai bagian dari 𝘜𝘚 𝘗𝘪𝘷𝘰𝘵 𝘵𝘰 𝘈𝘴𝘪𝘢. Australia menjual ini sebagai “upaya menjaga stabilitas regional”, tetapi bagi Indonesia, ini adalah ancaman eksistensial:

Kedekatan Geografis : Darwin hanya berjarak 1.700 km dari Kupang (NTT), membuat Indonesia merasa dikepung oleh kekuatan militer asing.

Skenario Perang: Latihan militer AS-Australia seperti 𝘛𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮𝘢𝘯 𝘚𝘢𝘣𝘳𝘦 kerap mensimulasikan invasi ke wilayah kepulauan skenario yang mirip dengan geografi Indonesia.

𝘗𝘳𝘰𝘹𝘺 𝘞𝘢𝘳 : Kehadiran AS di Darwin adalah bagian dari strategi Washington untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok, tetapi Australia sengaja mengabaikan kekhawatiran Indonesia demi memuaskan patronnya, AS.

𝟓. 𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚-𝐑𝐮𝐬𝐢𝐚: 𝐊𝐞𝐭𝐚𝐤𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐀𝐮𝐬𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐚 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐠𝐞𝐬𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐀𝐥𝐢𝐚𝐧𝐬𝐢

Australia, sebagai “anjing penjaga” AS di Pasifik, selalu geram dengan kedekatan Indonesia-Rusia, terutama dalam kerja sama militer. Contohnya:

– Pembelian Sukhoi Su-35 (2018) dan rudal hipersonik (2023) oleh Indonesia menuai kritik tajam dari Canberra, dengan alasan “potensi ancaman keamanan regional”.

– Latihan militer bersama Indonesia-Rusia di Papua (2022) dianggap Australia sebagai upaya Moskow memperluas pengaruh di Pasifik Selatan.

– terbaru Australia bak cacing kepanasan merespons isu bahwa Rusia akan menempatkan pesawat pembon  strategis TU 95 atau Tupolev 95 (Туполев Ту-95) di tanah Papua

Padahal, Australia sendiri aktif membeli senjata dari AS dan Inggris. Sikap ini menegaskan standar ganda Canberra: mereka boleh memperkuat aliansi dengan Barat, tetapi Indonesia dilarang menjalin hubungan dengan pihak yang dianggap “musuh” AS.

𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬: 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐀𝐮𝐬𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐮𝐤𝐚 𝐃𝐮𝐚?

𝘊𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘹 𝘰𝘧 𝘚𝘶𝘱𝘦𝘳𝘪𝘰𝘳𝘪𝘵𝘺: Sebagai negara Barat di Asia, Australia memandang dirinya sebagai “penjaga nilai demokrasi” yang berhak mengintervensi kebijakan tetangganya.

Kepentingan Ekonomi vs. Ideologi : Australia ingin mengeksploitasi pasar Indonesia (misalnya melalui perdagangan senilai $18 miliar pada 2023), tetapi tidak mau kehilangan posisi sebagai “wakil Barat” di kawasan.

Ketergantungan pada AS : 70% kebijakan luar negeri Australia tunduk pada kepentingan AS, sehingga sering kali mengorbankan hubungan dengan Indonesia.

𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐀𝐩𝐚?

Australia tidak akan pernah menjadi mitra sejati Indonesia selama kepentingan nasionalnya bertabrakan dengan ambisi Jakarta. Untuk menghadapi diplomasi bermuka dua ini, Indonesia perlu:

– Memperkuat Pertahanan Asimetris : Investasi dalam teknologi pertahanan mandiri (seperti rudel hipersonik dan satelit intelijen) untuk mengurangi ketergantungan pada pihak asing.

– Diplomasi Offensif : Mengekspos hipokrisi Australia di forum internasional, seperti dukungannya terhadap pelanggaran HAM di Palestina atau keterlibatan dalam perang Irak.

– Memperdalam Aliansi Non-Barat : Memperkuat kerja sama dengan negara-negara Global South (BRICS, ASEAN) untuk menyeimbangkan tekanan Australia-AS.**()

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢

1. B𝘪𝘳𝘮𝘪𝘯𝘨𝘩𝘢𝘮, 𝘑. (2001). 𝘈𝘱𝘱𝘦𝘢𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢: 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢’𝘴 𝘊𝘰𝘮𝘱𝘭𝘪𝘤𝘪𝘵 𝘙𝘰𝘭𝘦 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘌𝘢𝘴𝘵 𝘛𝘪𝘮𝘰𝘳 𝘛𝘳𝘢𝘨𝘦𝘥𝘺. 𝘘𝘶𝘢𝘳𝘵𝘦𝘳𝘭𝘺 𝘌𝘴𝘴𝘢𝘺.

2. 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘊𝘰𝘶𝘯𝘤𝘪𝘭 𝘙𝘦𝘴𝘰𝘭𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯 1264 (1999).

3. 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘤 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (2020). 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢: 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘊𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯𝘨𝘦.

4. 𝘓𝘰𝘸𝘺 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (2010). 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢-𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘙𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢 𝘐𝘴𝘴𝘶𝘦.

5. 𝘛𝘩𝘦 𝘎𝘶𝘢𝘳𝘥𝘪𝘢𝘯 (2013). 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢 𝘵𝘳𝘪𝘦𝘥 𝘵𝘰 𝘮𝘰𝘯𝘪𝘵𝘰𝘳 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘯𝘵’𝘴 𝘱𝘩𝘰𝘯𝘦.

6. 𝘊𝘚𝘐𝘚 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 (2019). 𝘛𝘩𝘦 𝘎𝘦𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘰𝘧 𝘜𝘚 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘪𝘯 𝘋𝘢𝘳𝘸𝘪𝘯.

7. 𝘙𝘦𝘶𝘵𝘦𝘳𝘴 (2022). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘥𝘴 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺 𝘋𝘳𝘪𝘭𝘭 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘙𝘶𝘴𝘴𝘪𝘢 𝘈𝘮𝘪𝘥 𝘞𝘦𝘴𝘵𝘦𝘳𝘯 𝘊𝘳𝘪𝘵𝘪𝘤𝘪𝘴𝘮.

8. 𝘜.𝘚. 𝘋𝘦𝘱𝘢𝘳𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘴𝘦 (2011). 𝘜.𝘚.-𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢 𝘍𝘰𝘳𝘤𝘦 𝘗𝘰𝘴𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘈𝘨𝘳𝘦𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵.

9. 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘉𝘳𝘰𝘢𝘥𝘤𝘢𝘴𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘊𝘰𝘳𝘱𝘰𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 (2006). 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢 𝘎𝘳𝘢𝘯𝘵𝘴 𝘗𝘳𝘰𝘵𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘝𝘪𝘴𝘢𝘴 𝘵𝘰 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢 𝘈𝘴𝘺𝘭𝘶𝘮 𝘚𝘦𝘦𝘬𝘦𝘳𝘴.

10. 𝘋𝘦𝘱𝘢𝘳𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘪𝘨𝘯 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘦 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢 (2023). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘊𝘰𝘶𝘯𝘵𝘳𝘺 𝘉𝘳𝘪𝘦𝘧.

Berita Terkini