Oleh: Supiani, Umy Wulandari Br Pasaribu, Diajeng Saharani, Feby Aulia Siregar, Octavia Girsang dan Natasya Hutauruk.
Di era digital saat ini perkembangan terjadi sangat pesat, perubahan yang terjadi mengubah pola perilaku masyarakatnya. Salah satu perubahan, yakni akses berbelanja online melalui aplikasi berupa shopee, Lazada, dan Tokopedia.
Aplikasi ini mempermudah aktivitas jual beli lebih praktis, sehingga pembeli tidak harus langsung ke toko penjualan. Kemudahan berbelanja yang diberikan, nyatanya aplikasi ini juga menyediakan fitur paylater di dalamnya. Fitur ini menciptakan pembelian yang tidak harus mengeluarkan biaya disaat itu juga.
Hal ini serupa dengan apa yang dungkapkan oleh Maryani & Maya (2021) di dalam penelitiannya, bahwa fitur paylater ini mengubah gaya hidup bak seorang debitor dan hutang menjadi hobby baru. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik selain menjadi solusi, ternyata fitur ini juga bumerang bagi penggunanya.
Diungkapkan Elvi (2025) di dalam penelitiannya, bahwa PayLater merupakan metode pembayaran yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk melakukan pembelian terlebih dahulu dan menyelesaikan pembayarannya di kemudian hari. Saat ini, layanan pembayaran tertunda ini semakin populer di Indonesia dan menjadi salah satu produk keuangan favorit, khususnya di kalangan generasi muda.
Paylater dianggap mempermudah mereka yang membutuhkan, dikarenakan fitur ini menyediakan pembelian dalam kondisi darurat. Hal ini menciptakan kebiasaan baru masyarakat, bahwa membeli tidak harus menunggu mempunyai uang. Akan tetapi, masyarakat dengan basic manajemen finansial yang awam, akan menumpuk hutang.
Perubahan penggunaan transaksi kredit di fitur belanja online mengubah keinginan menjadi prioritas, sebab seseorang tidak perlu pusing memikirkan uang yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh implusive buying, keadaan ini terjadi secara spontan dan dadakan. Hal ini dideskripsikan Sari (2020) yang diungkapkan Baumester (2002) bahwa Impulsive buying merupakan perilaku pembelian yang muncul secara spontan, di mana seseorang memutuskan untuk membeli suatu produk tanpa perencanaan atau niat sebelumnya.
Keputusan ini didorong oleh keinginan sesaat dan biasanya dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak atau konsekuensi jangka panjang dari pembelian tersebut. Implusive buying terjadi didukung oleh paylater, sebab keadaan ini menjadikan individu tidak terkontrol. Paylater sendiri bak dua sisi mata uang yang berbeda, satu sisi dapat memberikan dampak positif dan sisi lainnya memberikan dampak negatif.
Sementara itu, apakah penggunaan paylater mempengaruhi perilaku konsumtif masyarakat? Berdasarkan nilai fungsi paylater, penggunaan paylater tidak menjadi suatu hal buruk, sebab fitur ini didesain untuk pengguna yang tidak memiliki uang, akan tetapi membutuhkan suatu barang, maka ini sangat membantu.
Hal yang tidak baik ialah reaksi atau respon berlebihan dalam mendeskripsikan nilai fungsi paylater sendiri. Oleh karena itu, paylater dapat menjadi solusi bahkan payleter dapat menciptakan kebiasaan buruk, akibat dalam salah mengartikan.
Jadi, apakah sebenarnya paylater sebagai solusi atau menabung kredit?
Dapat dikatakan berdasarkan fenomena yang terjadi sebaiknya dibarengi dengan penggunaan yang terkontrol. Paylater mempermudah situasi bagi mereka yang membutuhkan dan kebiasaan baru bagi mereka yang tidak memfilter kebutuhan atau keinginan.
Oleh sebab itu, bagaimana agar perubahan dapat diadaptasi tanpa adanya kebablasan penggunaan? Maka, diperlukan kebijakan sebagai benteng pertahanan agar perubahan yang terjadi tidak membawa hal buruk kedepannya. Perlu ditegaskan setiap perkembangan, apalagi diera digitalisasi tujuannya untuk membantu kemajuan bukan menciptakan kebiasaan baru negatif, melainkan kontrol diri sebagai filterisasi perubahan. (*)
Tulisan ini dibuat oleh mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED, dan tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.