Anak Muda Bukan Reaktif, Tapi Produktif

Breaking News

- Advertisement -

Oleh : Revina Putri Sitorus & Cindy Agatta Br Sembiring.

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan informasi yang mengalir tanpa henti, generasi muda Indonesia menghadapi dilema yang tidak ringan. Di satu sisi, mereka memiliki akses terbuka terhadap pengetahuan, teknologi, dan jejaring global. Namun di sisi lain, banyak dari mereka terjebak dalam sikap reaktif mudah tersulut emosi oleh isu-isu viral, cepat memberi komentar, namun minim aksi nyata.

Fenomena ini menunjukkan adanya krisis orientasi di kalangan anak muda. Kita lebih sering melihat respons instan daripada refleksi mendalam; lebih banyak sorotan terhadap gaya hidup di media sosial ketimbang aksi nyata di lapangan. Padahal, masa depan bangsa ini sangat bergantung pada keberanian dan kapasitas generasi mudanya untuk menjadi pelaku perubahan yang produktif.

Suryadi (2019) menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial dapat membentuk karakter instan dan menurunkan minat generasi muda dalam aktivitas sosial berbasis komunitas. Hal ini memperkuat temuan bahwa keterlibatan anak muda dalam dunia digital belum sepenuhnya diimbangi dengan partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie, pernah berpesan: “Jadilah anak muda yang produktif, sehingga menjadi pribadi yang profesional dengan tidak melupakan dua hal, yaitu iman dan takwa.”
Pesan tersebut menjadi pengingat bahwa produktivitas bukan sekadar tentang bekerja keras atau sibuk secara fisik, tetapi tentang membangun diri menjadi pribadi utuh. Produktivitas yang sejati berpijak pada nilai spiritual dan moral. Tanpa dua fondasi itu, kerja keras hanya akan menjadi gerak kosong yang kehilangan arah.

Dalam situasi dunia yang kian kompleks mulai dari perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, krisis identitas hingga kemunduran etika generasi muda tidak bisa hanya menjadi penonton. Mereka harus menjadi agen perubahan: kritis, kreatif, dan kolaboratif. Bukan hanya berbicara tentang perubahan, tapi mewujudkannya lewat tindakan nyata.

Seperti yang dikemukakan Putri dan Hidayat (2020) “keterlibatan aktif pemuda dalam kegiatan sosial, seperti pengabdian masyarakat dan proyek pemberdayaan, secara signifikan meningkatkan empati, rasa tanggung jawab sosial, dan kapasitas kepemimpinan”. Ini menunjukkan pentingnya mendorong pemuda agar tidak hanya eksis di dunia maya, tetapi juga aktif di ruang-ruang nyata.

Anak muda yang produktif adalah mereka yang menyadari tanggung jawab sosialnya. Mereka tidak larut dalam euforia dunia digital, tetapi memilih jalan panjang pembangunan karakter dan penguatan kapasitas. Mereka hadir di tengah masyarakat, mendengar, memahami, dan bertindak. Baik melalui pengabdian di komunitas, pemberdayaan pendidikan, pelestarian budaya lokal, maupun inovasi sosial yang menjawab kebutuhan zaman.

Budaya instan yang menjanjikan popularitas cepat perlu dilawan dengan kesadaran akan pentingnya proses. Proses membentuk diri, memperkuat integritas, serta membangun jejaring yang sehat. Di sinilah letak pentingnya peran anak muda untuk tidak sekadar mengikuti arus, tetapi menciptakan gelombangnya sendiri yang membawa nilai, visi, dan harapan.

Kita semua tahu, menjadi muda adalah masa emas. Tapi masa ini akan cepat berlalu jika hanya diisi dengan reaksi tanpa refleksi, tren tanpa tujuan. Sudah saatnya energi muda diarahkan pada sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri: membangun bangsa yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan.

Indonesia tidak kekurangan pemuda yang cerdas. Tapi yang dibutuhkan hari ini adalah pemuda yang berani bertindak, mau belajar, dan terus menumbuhkan semangat untuk memberi. Karena pada akhirnya, sejarah hanya mencatat mereka yang memilih untuk bergerak dan berkontribusi. (*)

Tulisan ini dibuat Mahasiswa Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.

Berita Terkini