Oleh: Ekaristi Agustina Tampubolon dan Elisa Insani Simanjuntak mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED
Beberapa tahun belakangan ini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) berkembang dengan sangat cepat dan sudah mulai merambat ke berbagai aspek kehidupan manusia termasuk dunia kerja. Dulu, AI sering dianggap sebagai teknologi masa depan yang hanya sebatas pengumpulan data dan mempermudah pekerjaan manusia saja. Sekarang? Everything can’t without AI.
Seiring dengan banyaknya manfaat yang dirasakan oleh manusia, muncul juga kekhawatiran yang semakin serius. Muncul berbagai pertanyaan apakah AI akan menggantikan peran manusia di tempat kerja. Kekhawatiran ini bukan sekadar asumsi. Dalam Future of Jobs Report 2023 dari World Economic Forum, disebutkan bahwa sekitar 83 juta pekerjaan di seluruh dunia bisa tergantikan oleh otomatisasi dan AI dalam lima tahun ke depan. Meski begitu akan ada juga 69 juta pekerjaan baru yang muncul terutama di bidang teknologi dan analisis data.
Hal ini tentunya didukung dengan maraknya berita akan pekerjaan guru. Diberitahukan pada Sindonews bahwa Inggris sedang memasuki era pendidikan dengan kelas pertama dibuka tanpa guru konvensional. Kecerdasan buatan atau ai mengambil alih tugas pendidik pada sekolah tersebut. Teknologi yang diterapkan ke dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam pendidikan memberikan proyek eksperimental pertama yang dapat mengubah pendekatan pengajaran di Inggris. David game college adalah sebuah sekolah swasta yang cukup bergengsi di London.
Sekolah ini pertama sekali membuka kelas tanpa guru konvensional di dalamnya. Kelas inovatif ini membuktikan peran guru akan digantikan oleh sistem kecerdasan buatan canggih atau ai yang dapat memantau kemajuan siswa dan menyesuaikan program dengan kebutuhan mereka. Ai akan mulai merevolusi pendidikan. Banyak ahli percaya bahwa ei ini dapat mengubah cara belajar dan penyampaian pengetahuan terhadap siswa yang ada di dalam kelas. Kelas tanpa guru, berdasarkan sistem ai canggih bertujuan tidak hanya untuk memudahkan proses pengajaran tetapi juga untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan individu siswa.
Hal ini juga memunculkan dampak serius yang didukung oleh pendapat Bill Gates yang mengatakan bahwa profesi guru dan dokter dapat digantikan seutuhnya oleh ai sekitar 10 tahun lagi. Hal ini memunculkan pro dan kontra tentang masa depan ai yang seutuhnya dapat menggantikan peran manusia dalam kehidupan. Apakah hal itu akan terjadi atau tidak?. Belum ada manusia yang dapat memecahkan permasalahan ini.
Di Indonesia efek serupa kemungkinan besar juga akan terasa. Pekerjaan yang bersifat rutin dan berulang seperti operator mesin, kasir, dan petugas administrasi menjadi yang paling rentan tergantikan. Tapi bukan berarti semuanya gelap. Justru, pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, empati, dan pemikiran kritis seperti guru, konselor, kreator konten, hingga pengembang teknologi justru akan semakin penting di masa depan.
Masalah utamanya adalah apakah tenaga kerja kita sudah siap untuk menghadapi perubahan besar ini? Sayangnya, jawabannya belum sepenuhnya. Laporan Indonesia Artificial Intelligence Outlook 2023 dari KORIKA menunjukkan bahwa penggunaan AI di Indonesia masih didominasi sektor industri besar. Pelaku UMKM dan pekerja informal belum banyak tersentuh teknologi ini, apalagi mendapatkan pelatihan digital yang memadai. Ditambah lagi, sistem pendidikan kita masih belum sepenuhnya menyiapkan anak muda dengan keterampilan penting seperti pemprograman, literasi data, atau etika digital. Akibatnya, kita menghadapi dua tantangan besar: kesenjangan keterampilan antara pekerja yang siap dan yang belum, serta ketimpangan akses digital antara kota dan desa. Tanpa langkah konkret, jurang ini akan semakin lebar.
Bagaimana cara menghadapi dan mengatasi keseriusan masalah ini? Langkah apa yang bisa kita lakukan? Pertama, sistem pendidikan perlu direformasi. Kurikulum harus lebih relevan dengan kebutuhan masa depan bukan hanya teori, tapi juga keterampilan praktis. Kedua, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) perlu digencarkan, terutama untuk kelompok yang paling rentan. Program seperti Digital Talent Scholarship dari Kominfo patut diapresiasi tapi ke depan harus menjangkau lebih luas lagi termasuk sektor informal. Ketiga pembangunan infrastruktur digital harus merata hingga ke pelosok agar semua orang punya kesempatan yang sama. pemerintah juga perlu membuat regulasi yang jelas soal penggunaan AI agar tetap etis, transparan, dan tidak merugikan hak-hak pekerja.
Indonesia memang belum sepenuhnya siap menghadapi disrupsi AI di dunia kerja. Tapi bukan berarti kita tidak bisa. Dengan arah kebijakan yang tepat dan keseriusan dalam membangun sumber daya manusia yang tangguh dan adaptif, AI justru bisa menjadi peluang besar. AI bukan musuh yang harus ditakuti, tapi alat yang bisa membantu kita menciptakan masa depan kerja yang lebih adil, produktif, dan manusiawi. (*)
Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.