Oleh: Ingrid Natalia M Br. Lumban Tobing dan Fedry Fransyah Sinurat.
Salah satu faktor penting yang mempercepat penyebaran gaya hidup hedonis di kalangan mahasiswa adalah eksistensi media sosial sebagai ruang aktualisasi diri.
Menurut Hidayati (2021), media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi terhadap gaya hidup karena pengguna cenderung memamerkan sisi terbaik dari kehidupannya, sehingga menimbulkan tekanan sosial yang mendorong orang lain untuk mengikuti. Dalam konteks mahasiswa, konten seperti “outfit of the day”, liburan mewah, atau aktivitas di tempat eksklusif tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga alat ukur keberhasilan sosial.
Fenomena ini menyebabkan standar hidup menjadi bias dan tidak lagi berbasis pada kebutuhan, tetapi pada pencitraan.
Pengaruh media sosial juga membuat mahasiswa lebih rentan terhadap perilaku konsumtif. Mereka sering merasa harus memiliki barang tertentu untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulan.
Berdasarkan temuan penelitian oleh Astuti dan Kurniawan (2022), mahasiswa yang aktif menggunakan Instagram dan TikTok cenderung memiliki intensi belanja yang lebih tinggi karena paparan terhadap konten promosi atau gaya hidup selebritas media. Dalam banyak kasus, konsumsi ini tidak disertai dengan pertimbangan rasional, tetapi lebih didorong oleh keinginan untuk eksis dan terlihat mampu secara ekonomi.
Tidak hanya itu, perubahan gaya hidup ini turut memengaruhi prioritas mahasiswa dalam kehidupan akademiknya. Beberapa dari mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk kegiatan non-akademik yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan belajar atau mengikuti organisasi kampus.
Damarjati (2020) menyebutkan bahwa mahasiswa dengan gaya hidup hedonistik cenderung memiliki motivasi akademik yang rendah karena lebih fokus pada pencapaian kenikmatan sesaat daripada tujuan jangka panjang. Hal ini tentu menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan tinggi yang idealnya mencetak generasi muda dengan karakter kritis dan tangguh.
Transformasi gaya hidup mahasiswa juga menimbulkan ketimpangan sosial antarindividu. Mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah sering merasa minder atau berusaha keras meniru gaya hidup mahasiswa lain yang berasal dari kalangan lebih mampu.
Akibatnya, mereka terdorong untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri seperti mengambil pinjaman online, bekerja paruh waktu berlebihan, atau bahkan terlibat dalam praktik ilegal hanya demi menjaga gengsi. Seperti dijelaskan oleh Sari dan Wibowo (2021), tekanan sosial akibat perbedaan gaya hidup di lingkungan kampus bisa menimbulkan stres, kecemasan, dan menurunnya kesejahteraan psikologis mahasiswa.
Dalam menghadapi fenomena ini, diperlukan pendekatan edukatif dan preventif dari pihak kampus dan keluarga. Kampus perlu memperkuat pendidikan karakter melalui kurikulum dan kegiatan yang menekankan pentingnya integritas, tanggung jawab, dan kesederhanaan. Sementara itu, keluarga perlu menanamkan nilai-nilai spiritual dan sosial sejak dini agar anak mampu mengontrol diri dan memiliki standar hidup yang realistis. Seperti disampaikan oleh Prasetyo (2022), membangun literasi konsumsi dan literasi digital pada generasi muda menjadi langkah penting untuk mencegah mereka larut dalam arus budaya konsumtif dan hedonis yang kian meluas. (*)
Tulisan ini dibuat oleh Mahasiswa Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.