Korean Wave dan Transformasi Sosial Budaya Remaja Indonesia

Breaking News

- Advertisement -

Oleh: Livia Agresia Lumban Gaol dan William Jordan Nainggolan, mahasiswa program studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED.

Kebudayaan berdasarkan pandangan Edward Burnett Tylor (1832-19721) adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan- kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sementara itu, Bronislaw Malinowski (1884-1942) mendefinisikan kebudayaan sebagai penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan tradisi yang terbaik. Dalam hal ini, Malinowski menekankan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta dapat digeneralisasikan secara lintas budaya.

Transformasi sosial budaya dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai proses perubahan nilai, norma, dan praktik budaya yang terjadi akibat interaksi dengan budaya lain secara terus-menerus. Salah satu bentuk nyata dari transformasi sosial budaya saat ini adalah penyebaran industri hiburan Korea yang dikenal dengan istilah Korean Wave atau gelombang Korea. Korean Wave adalah gelombang budaya musik, film, drama, dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan korea, yang menyebar ke nyaris seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia (Akhmad, et al., 2018).

Musik K-Pop dikenal memiliki daya tarik visual yang kuat dan ciri khas tersendiri, sementara film Korea menawarkan alur cerita yang emosional dan relatable, sehingga mampu memikat perhatian remaja. Hal ini tercermin dari antusiasme mereka dalam menghafal lirik lagu, mengoleksi CD dan poster, hingga menghadiri konser. Penelitian oleh Islamiah et al. (2024) di Kota Samarinda menunjukkan bahwa sebagian responden pertama kali mengenal budaya Korea melalui musik dan film.

Selain hiburan, ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap Korea Selatan juga tercermin dalam konsumsi produk-produk komersial. Berdasarkan data dari laman Databoks tahun 2019, sekitar 53% responden di Indonesia menyatakan minat menggunakan produk dan layanan asal Korea, seperti kosmetik, pakaian, elektronik, hingga belajar bahasa dan berwisata ke Korea. Persentase ini menempatkan Indonesia di posisi keempat secara global, setelah Vietnam (63%), India (58,4%), dan Brasil (54,4%).

Tingginya minat ini turut mendorong gaya hidup konsumtif di kalangan remaja, terlihat dari banyaknya koleksi barang bertema K-pop, seperti aksesori, majalah, produk perawatan kulit, album fisik, hingga photo card idola. Menurut Auziq, et al., (2023) fenomena ini menunjukkan gejala konsumerisme di mana masyarakat menjadikan konsumsi barang sebagai bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, pengaruh budaya Korea juga tercermin dalam gaya berbusana dan tatanan rambut remaja yang meniru tren “Korean style” sebagai bentuk ekspresi identitas diri.

Fenomena tersebut tentunya tidak terlepas dari pengaruh pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Teknologi media memainkan peran penting dalam penyebaran budaya Korea dengan memanfatkan internet, platform streaming seperti YouTube dan Netflix, serta media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Lemon8 yang memungkinkan penggemar di seluruh dunia untuk mengakses dan berinteraksi dengan budaya Korea (Ahmad, et.al., 2024). Dampak dari masuknya budaya K-pop ini tidak dapat diabaikan, karena secara perlahan akan menggeser budaya Indonesia di kalangan remaja.

Generasi muda saat ini lebih cenderung menggemari budaya K-pop daripada budaya lokal mereka sendiri. Namun, pengaruh Korean Wave tidak hanya terbatas pada konsumsi media dan produk budaya populer, tetapi juga meresap ke dalam interaksi sosial dan partisipasi budaya remaja dan terlibat secara aktif dalam komunitas dan acara yang berkaitan dengan Hallyu. Misalnya, remaja di Samarinda membentuk atau bergabung dengan klub penggemar K-Pop, di mana mereka berbagi informasi, mengadakan pertemuan, dan menyelenggarakan acara seperti pesta dansa K-Pop atau proyek amal yang terkait dengan idola mereka (Ahmad, et al., 2024).

Fenomena ini mencerminkan pergeseran pola interaksi sosial, di mana budaya populer tidak hanya dikonsumsi secara pasif, tetapi juga menjadi medium bagi remaja untuk membangun jaringan sosial, mengekspresikan diri, dan membentuk identitas kolektif melalui komunitas-komunitas berbasis minat yang melampaui batas geografis dan budaya.

Berbicara mengenai dominasi kebudayaan Korea di Indonesia, Putri & Reese, 2018 dalam tulisannya yang berjudul The Impact of ‘Korean Wave ’ on Young Indonesian Females and Indonesian Culture in Jabodetabek Area, mengemukakan bahwa Korean Wave hadir di Indonesia melalui berbagai aspek, terutama di bidang K-Pop.

Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya konser artis Korea, tren mode berpakaian yang mengikuti gaya Korea, serta penggunaan produk kosmetik asal Korea. Selain itu, pengaruh budaya Korea juga tampak dalam dunia kuliner, dengan menjamurnya restoran-restoran Korea di berbagai kota. Pengaruh ini turut memperkenalkan nilai-nilai seperti identitas diri dan pendidikan karakter khas Korea. Selanjutnya, fenomena ini juga mendorong meningkatnya minat masyarakat untuk mengikuti kursus bahasa Korea serta melonjaknya penawaran pariwisata ke Korea Selatan sebagai bagian dari dampak globalisasi budaya Korea.

Dengan demikian, hal yang perlu kita lakukan ialah menjaga keseimbangan antara apresiasi terhadap budaya asing dengan pelestarian budaya lokal. Remaja perlu diberi ruang untuk mengeksplorasi budaya global sebagai bagian dari perkembangan zaman, namun tetap dibekali penguatan budaya lokal melalui pendidikan multikultural dan muatan lokal. Selain itu, penguatan budaya lokal melalui media, serta peran keluarga agar generasi muda tidak hanya menjadi konsumen budaya, tetapi juga pelaku yang sadar dan kritis dalam membentuk jati dirinya di tengah arus globalisasi yang semakin deras. (*)

Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.

Berita Terkini