Oleh: Jihan Risky Putri dan Septi Nabila Solin.
Mudanews.com – Globalisasi telah mengubah wajah masyarakat Indonesia. Ia hadir sebagai kekuatan besar yang membawa banyak kemudahan, namun sekaligus menjadi tantangan baru dalam mempertahankan identitas budaya dan nilai-nilai sosial kita. Di tengah derasnya arus global, generasi milenial menjadi kelompok yang paling terdampak bukan hanya karena keterbukaan informasi, tetapi juga karena keterbatasan pemahaman terhadap akar budaya sendiri.
Melalui media sosial dan internet, budaya asing masuk dengan bebas. Gaya hidup konsumtif, individualistik, dan hedonistik menjadi tren. Budaya lokal yang dulu begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, seperti gotong royong, sopan santun, dan kesederhanaan, perlahan mulai tersisih. Seperti yang dijelaskan oleh Rais dkk. (2018), kemajuan teknologi informasi berdampak pada generalisasi unsur sosial budaya bagi generasi milenial. Artinya, batas-batas identitas lokal semakin kabur, tergantikan oleh pola pikir dan perilaku yang seragam secara global.
Sayangnya, di balik keterbukaan ini, tersembunyi ancaman besar yaitu, krisis identitas.
Pemuda atau mahasiwa yang seharusnya menjadi agen perubahan, kini justru berisiko menjadi korban dari transformasi sosial yang tidak terkendali. Muqsith (2019) menyebut bahwa pemuda kerap terperangkap dalam budaya instan dan asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa. Mereka mengenal budaya Korea lebih dari kebudayaan lokal. Mereka lebih bangga tampil di media sosial daripada memahami makna simbol negara.
Di sisi lain, perubahan gaya hidup juga terlihat dalam keseharian. Saputri dkk. (2024) mencatat bahwa masyarakat Indonesia kini lebih menyukai makanan cepat saji, tren busana modern, dan hiburan digital yang banyak diadopsi dari budaya Barat dan Asia Timur. Fenomena ini mungkin terlihat sebagai bentuk kemajuan. Namun jika tidak dibarengi dengan kesadaran budaya, kita bisa kehilangan pijakan terlepas dari akar dan identitas bangsa sendiri.
Maka pertanyaannya: bagaimana kita bertahan?
Jawabannya ada pada nilai-nilai Pancasila. Hasan dkk. (2024) menegaskan bahwa pelestarian budaya lokal dan pendidikan karakter berbasis Pancasila adalah strategi utama untuk menghadapi tekanan globalisasi. Gotong royong, persatuan, keadilan sosial itu bukan sekadar slogan, melainkan nilai hidup yang harus kembali kita tanamkan dalam kehidupan generasi muda.
Tentu, ini bukan tugas sekolah saja. Keluarga, lingkungan sosial, hingga media massa memiliki peran besar. Kaswadi dkk. (2018) menyarankan perlunya komunikasi sosial budaya yang efektif sebagai jembatan untuk mentransmisikan nilai-nilai bangsa di tengah perubahan zaman. Artinya, kita tidak bisa membiarkan generasi muda berjalan sendiri di tengah gelombang digital. Mereka butuh bimbingan, ruang dialog, dan keteladanan nyata.
Globalisasi memang tidak bisa ditolak. Ia seperti arus besar yang akan tetap mengalir. Tapi bangsa yang cerdas bukan yang melawan arus secara membabi buta, melainkan yang mampu mengarahkan perahu identitasnya agar tetap kokoh di tengah gelombang.
Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan: ikut larut tanpa arah atau bangkit dengan kesadaran akan siapa kita sebenarnya.
Masa depan budaya Indonesia ada di tangan generasi muda. Mari kita pastikan bahwa tangan itu tidak kosong melainkan menggenggam erat nilai-nilai yang telah diwariskan para pendiri bangsa.
Tulisan ini dibuat oleh Mahasiswa Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan tidak mewakili pandangan redaksi Mudanews.com.