𝐑𝐞𝐟𝐥𝐞𝐤𝐬𝐢 𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐛𝐚𝐧𝐠𝐤𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝟏𝟗𝟎𝟖–𝟐𝟎𝟐𝟓: 𝐌𝐞𝐧𝐢𝐧𝐣𝐚𝐮 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐣𝐮𝐚𝐧, 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐮𝐫𝐚𝐢 𝐊𝐞𝐠𝐚𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧, 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐧𝐜𝐚𝐧𝐠 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐡 𝐑𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥.

Breaking News

- Advertisement -

𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐂𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧: 𝐁𝐨𝐞𝐝𝐢 𝐎𝐞𝐭𝐨𝐦𝐨 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐦𝐛𝐢𝐯𝐚𝐥𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧

Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah.Ch.Cht

Mudanews.com- OPINI |  Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei, yang berakar pada pendirian Boedi Oetomo (1908), sering diromantisasi sebagai simbol persatuan melawan kolonialisme.

Namun, refleksi kritis harus menyoal: sejauh mana semangat intelektual dan moral organisasi ini terinternalisasi dalam praktik berbangsa hari ini?

Boedi Oetomo lahir dari elit terdidik, dan ironisnya, Indonesia modern masih bergulat dengan kesenjangan akses pendidikan dan representasi inklusif.

Pada 2025, 117 tahun setelahnya, pertanyaannya bukan hanya bagaimana “mengenang” sejarah, tetapi bagaimana merekonstruksi makna kebangkitan di tengah ketimpangan struktural yang menggerus cita-cita kemandirian.

𝐊𝐞𝐦𝐚𝐣𝐮𝐚𝐧 𝟏𝟗𝟎𝟖–𝟐𝟎𝟐𝟓: 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐮𝐦𝐛𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢𝐟.

1. 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐔𝐫𝐛𝐚𝐧𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢: 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠.

Pembangunan MRT, LRT, dan Jalan Tol Trans-Jawa memang meningkatkan PDB (13,5% pada 2023), tetapi hanya 22% penduduk Indonesia yang menikmati akses penuh ke infrastruktur modern (World Bank, 2023).

Urbanisasi masif justru memperlebar jurang Jawa vs Luar Jawa: 65% investasi infrastruktur masih terpusat di Jawa (BPS, 2023), sementara Papua dan Maluku tertinggal dalam indeks konektivitas.

Bandara NYIA di Yogyakarta, misalnya, lebih banyak melayani pariwisata global ketimbang kebutuhan logistik lokal.

2. 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐨𝐯𝐚𝐬𝐢: 𝐄𝐤𝐨𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐄𝐥𝐢𝐭𝐢𝐬.

Kesuksesan Gojek dan Tokopedia sebagai *unicorn* patut diapresiasi, tetapi kontribusi mereka terhadap pemerataan ekonomi dipertanyakan.

Hanya 12% UMKM terintegrasi dalam platform digital (Kemenkop UKM, 2023), dan 78% pendapatan startup masih terkonsentrasi di Jakarta.

Prestasi sains seperti terapi kanker Dr. Warsito juga terhambat komersialisasi karena minimnya dukungan riset nasional—alokasi anggaran riset Indonesia hanya 0,3% PDB, jauh di bawah Vietnam (0,6%) atau Malaysia (1,1%) (UNESCO, 2023).

3. 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐭𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢: 𝐏𝐚𝐫𝐭𝐢𝐬𝐢𝐩𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢.

Pemilu 2014–2019 memang damai, tetapi sistem politik tetap didominasi oligarki. Hanya 18% calon legislatif perempuan yang terpilih (KPU, 2023), dan 70% anggota DPR berasal dari keluarga politikus atau pengusaha (Tempo, 2023).

Partisipasi 80% dalam pemilu tidak serta-merta mencerminkan kualitas demokrasi ketika kebebasan pers terus menurun (Indonesia peringkat 117/180 di Indeks Kebebasan Pers RSF, 2023).

𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝟏𝟗𝟎𝟖–𝟐𝟎𝟐𝟓: 𝐊𝐞𝐠𝐚𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐌𝐮𝐥𝐭𝐢𝐝𝐢𝐦𝐞𝐧𝐬𝐢  .

1. Korupsi: Epidemi yang Mengakar.

Korupsi di Indonesia bukan sekadar pelanggaran individu, melainkan kegagalan sistem.

Skandal Jiwasraya dan korupsi timah (2020–2024) menunjukkan kolusi antara birokrat, korporasi, dan partai politik.

Meski KPK aktif, revisi UU KPK 2019 melemahkan independensinya—Indonesia hanya naik 2 poin dalam Indeks Persepsi Korupsi (38/100) dalam 10 tahun terakhir, jauh di bawah Singapura (85/100) atau bahkan Ghana (43/100) (Transparency International, 2023).

2. 𝐃𝐞𝐠𝐫𝐚𝐝𝐚𝐬𝐢 𝐆𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐮𝐝𝐚: 𝐏𝐫𝐨𝐝𝐮𝐤 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐆𝐚𝐠𝐚𝐥.    .

Krisis karakter remaja adalah cermin kegagalan sistem pendidikan. Angka putus sekolah di daerah 3T (1,5%) dan rendahnya skor PISA (peringkat 66/81) tidak terlepas dari ketimpangan anggaran: 62% sekolah di kota memiliki fasilitas memadai, sementara di pedesaan hanya 23% (Kemendikbud, 2023).

Alih-alih membangun karakter, kurikulum nasional justru membebani siswa dengan hafalan—mirip dengan sistem pendidikan India pra-reformasi yang gagal menciptakan SDM kompetitif.

3. 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤: 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐬𝐚𝐧𝐝𝐞𝐫𝐚 𝐈𝐝𝐞𝐧𝐭𝐢𝐭𝐚𝐬.

Politik identitas pasca-2019 tidak hanya memicu kerusuhan, tetapi juga mengerdilkan isu substantif seperti ketimpangan dan lingkungan.

Di Jawa Tengah, misalnya, 40% kampanye pilkada 2023 menggunakan narasi SARA (Setara Institute, 2023). Fenomena ini paralel dengan kecenderungan global di Brasil dan India, di mana polarisasi mengorbankan kebijakan berbasis bukti.

4. 𝐋𝐢𝐧𝐠𝐤𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧: 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐯𝐬 𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐃𝐮𝐤𝐮𝐧𝐠 𝐄𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬..

Pembangunan infrastruktur sering mengabaikan keberlanjutan.

Deforestasi untuk proyek jalan tol di Kalimantan meningkat 15% per tahun (KLHK, 2023), sementara polusi udara di Jakarta menjadi penyebab 12.000 kematian dini/tahun (Greenpeace, 2023).

Indonesia gagal belajar dari kesalahan Nigeria, yang mengorbankan lingkungan untuk industrialisasi cepat hingga menghadapi krisis air bersih.

𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢: 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥 𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐬𝐢𝐬 𝐁𝐮𝐤𝐭𝐢 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥

 

1. Membongkar Oligarki: Transparansi sebagai Keharusan.

– Adopsi 𝘖𝘱𝘦𝘯 𝘎𝘰𝘷𝘦𝘳𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘗𝘢𝘳𝘵𝘯𝘦𝘳𝘴𝘩𝘪𝘱 seperti di Korea Selatan, dengan membuka data anggaran dan kepemilikan aset pejabat secara real-time.

– Memberikan kekuatan penuh kepada KPK untuk menyelidiki pejabat tanpa izin presiden, sebagaimana “𝘐𝘯𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘵 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘪𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯 𝘈𝘨𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 (𝘐𝘊𝘈𝘊)” 𝘥𝘪 𝘏𝘰𝘯𝘨 𝘒𝘰𝘯𝘨.

 

2. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢𝐟: 𝐑𝐞𝐯𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐩𝐬

 

– Alokasi 25% APBN untuk pendidikan dengan fokus pada pelatihan guru berbasis STEM dan kurikulum kritis, mirip model Finlandia.

– Program beasiswa afirmatif untuk siswa 3T, diadopsi dari skema “𝘈𝘧𝘧𝘪𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘈𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯” di Afrika Selatan.

3. 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐭𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢: 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐦𝐩𝐚𝐮𝐢 𝐉𝐚𝐰𝐚-𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐢𝐬.

 

– Pajak progresif untuk perusahaan teknologi dan realokasi 30% investasi infrastruktur ke wilayah timur, belajar dari kebijakan 𝘋𝘦𝘤𝘦𝘯𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘙𝘦𝘧𝘰𝘳𝘮 di Filipina.

– Membangun pusat inovasi di luar Jawa (misalnya di Sulawesi dan Papua) berbasis potensi lokal, seperti 𝘚𝘪𝘭𝘪𝘤𝘰𝘯 𝘝𝘢𝘭𝘭𝘦𝘺 di AS atau 𝘉𝘪𝘰 𝘝𝘢𝘭𝘭𝘦𝘺 di Malaysia.

4. 𝐆𝐫𝐞𝐞𝐧 𝐍𝐞𝐰 𝐃𝐞𝐚𝐥 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚: 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐚𝐧.

 

– Moratorium izin tambang di hutan primer dan alihkan subsidi BBM ke energi terbarukan, mengikuti jejak Kosta Rika yang mencapai 99% listrik hijau pada 2023.

– Sanksi tegas untuk perusahaan perusak lingkungan, diadopsi dari model 𝘌𝘯𝘷𝘪𝘳𝘰𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘭 𝘗𝘳𝘰𝘵𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘈𝘨𝘦𝘯𝘤𝘺 (𝘌𝘗𝘈) AS.

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Kebangkitan atau Keterpurukan?

Indonesia di persimpangan: menjadi contoh 𝘮𝘪𝘥𝘥𝘭𝘦 𝘪𝘯𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘵𝘳𝘢𝘱 atau pelopor transformasi Global South.

Kebangkitan kedua haruslah revolusi struktural—bukan retorika. Sebagai pembanding, Rwanda pasca-genosida membangun tata kelola transparan hingga PDB-nya tumbuh 7% per tahun (World Bank, 2023).

Indonesia perlu berani mencontoh langkah radikal ini. Jika tidak, pesan Bung Karno tentang “10 pemuda” hanya akan menjadi nostalgia, bukan cetak biru perubahan.

Referensi:

1. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘉𝘢𝘯𝘬 (2023). 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘐𝘯𝘧𝘳𝘢𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘈𝘤𝘤𝘦𝘴𝘴𝘪𝘣𝘪𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵.

2. 𝘜𝘕𝘌𝘚𝘊𝘖 (2023). 𝘚𝘤𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵: 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢.

3. 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘤𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (2023). 𝘊𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘦𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹.

4. 𝘚𝘦𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (2023). 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘐𝘥𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘗𝘪𝘭𝘬𝘢𝘥𝘢 2023.

5. 𝘎𝘳𝘦𝘦𝘯𝘱𝘦𝘢𝘤𝘦 (2023). 𝘈𝘪𝘳 𝘘𝘶𝘢𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘏𝘦𝘢𝘭𝘵𝘩 𝘐𝘮𝘱𝘢𝘤𝘵 𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢.

 

Tulisan ini menganalisis tantangan Indonesia melalui lensa kebijakan global, menekankan solusi berbasis bukti dan pembelajaran dari negara lain dengan Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum .

Berita Terkini