Disrupsi Sosial Budaya di Era Digital-Rekonstruksi Identitas, Nilai, dan Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

Breaking News

- Advertisement -

Tulisan ini dibuat oleh Mahasiswa Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Medan (UNIMED) yakni: Rosania Krisda Prilyani Zebua, Donfordtigo Manalu, Nasywa Kamila Syam, Yunita Sabrina Br Tarigan, dan Nanda Yatira.

Mudanews.com – Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami percepatan perubahan sosial dan budaya yang bukan lagi bertahap, melainkan disruptif. Modernisasi, digitalisasi, dan globalisasi membentuk gelombang besar yang memaksa masyarakat untuk menegosiasikan ulang nilai-nilai tradisional yang selama ini membentuk identitas kolektif manusia.

Fenomena ini bukan sekadar peralihan gaya hidup atau adaptasi teknologi. Ia merembes hingga ke ranah relasi sosial, pola pikir, dan bahkan cara kita mewariskan harta, membentuk keluarga, hingga mengekspresikan diri secara politik. Lima studi akademik terbaru memberi gambaran bagaimana perubahan itu bekerja dalam diam namun dalam.

Artikel ini mencoba menganalisis lima studi akademik yang merepresentasikan berbagai aspek perubahan sosial-budaya di Indonesia, dengan menempatkan masing-masing fenomena dalam kerangka teoritis sosiologi modern dan post-modern.

  • Modernisasi dan Transformasi Praktik Waris Adat.

Masrur dan Rahayu (2023) menunjukkan bahwa modernisasi telah menggeser struktur normatif warisan dalam masyarakat Indonesia, terutama yang masih menganut sistem hukum adat. Dalam kerangka teori sistem sosial Parsons (1951), perubahan ini dapat dibaca sebagai gesekan antara subsistem budaya (nilai-nilai adat yang diwariskan) dan subsistem teknologi-modern (sistem hukum nasional, e-commerce warisan digital).

Praktik warisan tidak lagi sepenuhnya didasarkan pada hukum adat seperti pada masyarakat Minangkabau atau Bali. Sekarang, ada tuntutan untuk reformasi berbasis hukum nasional yang lebih fleksibel dalam menangani bentuk-bentuk kekayaan baru, seperti aset digital (dompet kripto, akun digital, NFT).

Proses ini menciptakan disonansi sosial antara generasi tua yang masih berpegang teguh pada adat istiadat, dan generasi muda yang pragmatis dalam memahami hak milik dan distribusinya.
Secara luas, konflik antara adat istiadat dan modernitas dalam sistem warisan mencerminkan transformasi relasi kekuasaan dalam masyarakat.

Jika sebelumnya kepala suku atau orang tua menjadi pengambil keputusan utama dalam pembagian warisan, kini kewenangan telah digeser oleh sistem hukum formal negara atau bahkan dideintermediasi oleh teknologi.

Contoh yang jelas adalah penggunaan layanan notaris digital berbasis blockchain yang kini banyak digunakan di masyarakat perkotaan. Di satu sisi, modernisasi mendemokratisasi akses dan kejelasan hukum. Namun di sisi lain, dapat mengikis institusi sosial yang membentuk solidaritas komunal berdasarkan kekerabatan. Di sinilah perlu untuk mengkonseptualisasikan ulang hukum warisan dari perspektif sosiologis dan bukan hanya legalistik.

  • Digitalisasi dan Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Urban.

Masrur dan Rahayu (2023) menunjukkan bahwa modernisasi telah menggeser struktur normatif warisan dalam masyarakat Indonesia, terutama yang masih menganut sistem hukum adat. Dalam kerangka teori sistem sosial Parsons (1951), perubahan ini dapat dibaca sebagai gesekan antara subsistem budaya (nilai-nilai adat yang diwariskan) dan subsistem teknologi-modern (sistem hukum nasional, e-commerce warisan digital).

Praktik warisan tidak lagi sepenuhnya didasarkan pada hukum adat seperti pada masyarakat Minangkabau atau Bali. Sekarang, ada tuntutan untuk reformasi berbasis hukum nasional yang lebih fleksibel dalam menangani bentuk-bentuk kekayaan baru, seperti aset digital (dompet kripto, akun digital, NFT). Proses ini menciptakan disonansi sosial antara generasi tua yang masih berpegang teguh pada adat istiadat, dan generasi muda yang pragmatis dalam memahami hak milik dan distribusinya.

Secara lebih luas, konflik antara adat istiadat dan modernitas dalam sistem warisan mencerminkan transformasi relasi kekuasaan dalam masyarakat. Jika sebelumnya kepala suku atau orang tua menjadi pengambil keputusan utama dalam pembagian warisan, kini kewenangan telah digeser oleh sistem hukum formal negara atau bahkan dideintermediasi oleh teknologi.

Contoh yang jelas adalah penggunaan layanan notaris digital berbasis blockchain yang kini banyak digunakan di masyarakat perkotaan. Di satu sisi, modernisasi mendemokratisasi akses dan kejelasan hukum. Namun di sisi lain, dapat mengikis institusi sosial yang membentuk solidaritas komunal berdasarkan kekerabatan.

Di sinilah perlu untuk mengkonseptualisasikan ulang hukum warisan dari perspektif sosiologis dan bukan hanya legalistik. GoMart atau Tokopedia. Perubahan ini bukan hanya tentang efisiensi, tetapi menggeser urutan interaksi sosial dari ekonomi berbasis hubungan ke ekonomi berbasis algoritma.

Dalam konteks ini, digitalisasi tidak hanya mengubah “apa” yang dilakukan orang, tetapi “bagaimana” mereka hidup bersama dan membentuk nilai-nilai sosial. Sehingga tidak mengherankan jika banyak kelompok masyarakat perkotaan yang kini kehilangan ruang komunal seperti balai komunitas, dan menggantinya dengan forum digital sporadis dan sementara.

  • Media Sosial dan Budaya “Alone Together”.

Mujianto dan Nurhadi (2023) mengungkapkan paradoks besar dalam penggunaan media sosial: semakin tinggi intensitas konektivitas digital, semakin rendah kualitas hubungan sosial yang sebenarnya. Mengacu pada teori “Alone Together” dari Sherry Turkle (2011), Fenomena ini menggambarkan masyarakat yang secara teknis selalu terhubung, tetapi secara emosional dan eksistensial terasa terputus. Pengguna aktif media sosial mengalami keterasingan, karena komunikasi yang mereka bangun bersifat permukaan dan tidak mengarah pada kedekatan psikologis. Studi tersebut menggarisbawahi bahwa 67,5% pengguna media sosial menunjukkan gejala kesepian kronis – jumlah yang signifikan dalam konteks perubahan identitas sosial generasi muda.

Misalnya, dalam penelitian terhadap siswa di Surabaya, ditemukan bahwa mereka lebih nyaman mengekspresikan emosinya melalui status media sosial daripada berbicara langsung dengan keluarga atau teman. Fenomena ini berimplikasi pada penurunan empati sosial dan meningkatnya keterasingan.

Dalam sudut pandang Durkheim (1897), situasi ini dapat dibaca sebagai bentuk anomie-suatu kondisi ketika norma-norma sosial melemah dan individu kehilangan ikatan sosial yang bermakna. Media sosial yang awalnya dirancang sebagai sarana konektivitas, justru memperkuat segmentasi psikologis dan polarisasi sosial di masyarakat.

  • Perubahan Sosial Budaya dalam Proses Pembelajaran.

Rizqi (2023) menyoroti transformasi mendalam dalam sistem pembelajaran yang dipicu oleh digitalisasi. Dengan menggunakan pendekatan Vygotsky (1978) terhadap konstruktivisme sosial, perubahan ini tidak hanya bersifat teknis (beralih dari papan tulis ke Zoom), tetapi juga budaya: cara belajar, berinteraksi, dan membangun makna dalam pendidikan telah didefinisikan ulang oleh media digital.

Peran guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan mulai digantikan oleh peran fasilitator yang mendampingi eksplorasi mandiri siswa di lingkungan digital. Hal ini terlihat dari peningkatan penggunaan platform e-learning seperti Google Classroom dan Moodle, dan munculnya identitas siswa sebagai “pencari informasi” daripada “penerima informasi”.

Contohnya adalah penggunaan metode flipped classroom di berbagai sekolah menengah di kota-kota besar. Siswa mempelajari materi melalui video online sebelum diskusi tatap muka di kelas. Akibatnya, proses kognitif beralih dari hafalan ke pemahaman reflektif. Namun, perubahan ini juga menciptakan kesenjangan baru antara siswa dari keluarga yang mampu dan tidak mampu dalam mengakses perangkat dan koneksi internet.

Di sinilah paradoks digitalisasi pendidikan muncul: alih-alih mendemokratisasi, ia mereproduksi ketidaksetaraan sosial baru. Oleh karena itu, transformasi pendidikan berbasis teknologi harus diiringi oleh kebijakan afirmatif agar tidak meninggalkan kelompok rentan secara sistemik.

  • Media Sosial dan Perubahan Budaya Politik.

Prasojo (2021) menganalisis dampak penggunaan media sosial terhadap budaya politik, dan menemukan pergeseran dari budaya politik pasif ke budaya politik partisipatif. Dalam kerangka teori ruang publik Habermas (1962), media sosial berfungsi sebagai ruang diskursif alternatif yang melampaui batas geografis dan hierarki sosial.

Orang-orang yang sebelumnya enggan menyuarakan pendapatnya kini menggunakan Twitter, TikTok, atau Instagram sebagai media artikulasi politik. Proses ini menghasilkan aktivisme digital (clicktivism) yang signifikan dalam mobilisasi massa dan pembentukan opini publik – seperti yang terlihat dalam gerakan #ReformasiDikorupsi atau protes #SahkanRUUPKS.

Namun, perubahan ini juga menimbulkan ancaman baru: polarisasi politik, disinformasi, dan munculnya digital “echo chamber”.

Alih-alih menciptakan pertimbangan rasional, media sosial sering memperkuat bias kognitif dan narasi populis yang dangkal. Misalnya, dalam pemilihan presiden 2019, terjadi pemisahan opini politik yang tajam antara dua kubu besar yang sebagian besar dibentuk oleh algoritme platform.

Dalam konteks ini, perubahan budaya politik tidak hanya tentang peningkatan partisipasi, tetapi juga pergeseran cara berpolitik yang lebih reaktif, emosional, dan kurang reflektif. Oleh karena itu, literasi politik digital diperlukan untuk memastikan bahwa partisipasi tidak berakhir dengan manipulasi massa, tetapi dalam penguatan demokrasi deliberatif.

DAFTAR PUSTAKA.

Berita Terkini