Mudanews.com OPINI | Konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) merupakan ancaman laten bagi stabilitas bangsa, terutama di masyarakat multikultural.
Sejarah menunjukkan bahwa perpecahan berbasis identitas sering menjadi pemicu kehancuran peradaban besar. Konflik ini tidak jarang sengaja dipolitisasi oleh kelompok tertentu untuk menguasai sumber daya atau kekuasaan.
Tulisan ini menganalisis keruntuhan bangsa-bangsa akibat SARA, strategi pencegahan, serta referensi akademis terkait.
𝐊𝐞𝐫𝐮𝐧𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚 𝐀𝐤𝐢𝐛𝐚𝐭 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐒𝐀𝐑𝐀: 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡 𝐇𝐢𝐬𝐭𝐨𝐫𝐢𝐬
𝟏. 𝐊𝐞𝐤𝐚𝐢𝐬𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐎𝐭𝐭𝐨𝐦𝐚𝐧 (𝟏𝟐𝟗𝟗–𝟏𝟗𝟐𝟐)
Kekuasaan Ottoman, yang mengintegrasikan beragam kelompok seperti Turki, Arab, Kurdi, Armenia, dan Yunani, runtuh akibat kebangkitan nasionalisme etnis dan ketegangan agama.
Pembantaian terhadap minoritas Armenia (1915–1917) yang didorong oleh sentimen Turkifikasi dan kecurigaan politik mempercepat disintegrasi. Kebijakan “Persatuan Islam” gagal meredam tuntutan kemerdekaan dari kelompok Kristen dan Arab, yang dimanfaatkan oleh kekuatan Eropa pasca-Perang Dunia I (Quataert, 2005).
𝟮. 𝗬𝘂𝗴𝗼𝘀𝗹𝗮𝘃𝗶𝗮 (𝟭𝟵𝟰𝟱–𝟭𝟵𝟵𝟮)
Yugoslavia, negara multietnis dengan enam republik dan lima agama utama, hancur akibat kebangkitan sentimen nasionalis pasca-kematian Tito. Elite politik seperti Slobodan Milošević memanipulasi retorika etno-nasionalis Serbia untuk mempertahankan kekuasaan, memicu perang saudara antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Genocide Srebrenica (1995) menjadi puncak dari politik “pembersihan etnis” (Ramet, 2006).
𝟑. 𝐑𝐰𝐚𝐧𝐝𝐚 (𝟏𝟗𝟗𝟒)
Genocide Rwanda dipicu oleh polarisasi ekstrem antara etnis Hutu dan Tutsi, yang dipelihara selama era kolonial Belgia.
Propaganda radio dan milisi Hutu menggambarkan Tutsi sebagai “kecoak” yang harus dimusnahkan. Dalam 100 hari, sekitar 800.000 orang tewas (Gourevitch, 1998).
𝗞𝗼𝗻𝗳𝗹𝗶𝗸 𝗦𝗔𝗥𝗔 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗔𝗹𝗮𝘁 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸
Konflik SARA sering diprovokasi oleh aktor politik untuk:
1. Mengalihkan Isu: Menyembunyikan korupsi atau kegagalan kebijakan dengan menciptakan musuh bersama (e.g., penguasa otoriter yang menyalahkan minoritas).
2. Divide et Impera : Strategi kolonial seperti Belanda di Indonesia yang memisahkan pribumi, Tionghoa, dan Eropa untuk melemahkan perlawanan.
3. Mobilisasi Massa: Retorika agama/etnis digunakan untuk menggalang dukungan elektoral, seperti kasus Myanmar dengan persekusi Rohingya (ICG, 2017).
𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐜𝐞𝐠𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐒𝐀𝐑𝐀
1. Pendidikan Multikultural: Kurikulum yang menekankan nilai kebhinekaan (e.g., Pancasila) dan sejarah inklusif.
2. Kerangka Hukum Anti-Diskriminasi**: UU yang menjamin kesetaraan dan menghukum provokator SARA (e.g., UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis).
3. Kebijakan Inklusif : Kuota politik untuk minoritas dan afirmasi ekonomi di daerah marginal.
4. Peran Media : Membatasi konten provokatif dan mempromosikan narasi perdamaian (Varshney, 2002).
5. Dialog Antarumat : Inisiatif seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Indonesia.
𝗣𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮
.
Indonesia adalah bangsa yang besar dalam arti besar secara penduduk, punya keragaman budaya dan kaya akan sumberdaya Alam.
Kenyataan ini secara geopolitik tentu sangat menarik bagi bangsa-bangsa lain untuk mengambil alih kekayaan alam tersebut.
Fakta sejarah, membuktikan bahwa persatuan dan semangat bahu membahu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan membuat bangsa ini terus ada sampai saat ini.
Kenyataan ini seharusnya menimbulkan kesadaran buat bangsa ini bahwa hanya dengan persatuan dan kesatuanlah kita akan bisa bertahan sebagai satu kesatuan Negara Republik Indonesia.
Kita harus mencermati bahwa hasrat untuk menaklukkan sebuah bangsa demi menguasai sumber daya alam dari anasir-anasir asing masih tetap ada.
Bangsa ini tidak akan bisa ditaklukkan sepanjang persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Dan satu lagi hal penting yang harus kita jaga yakni jangan sampai nama kita tercatat dalam sejarah kelam keruntuhan sebuah bangsa sebagaimana 𝘚𝘭𝘰𝘣𝘰𝘥𝘢𝘯 𝘔𝘪𝘭𝘭𝘰𝘤𝘦𝘷𝘪𝘤 yang dianggap sebagai pemicu runtunya negara Yugoslavia.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Bangsa yang besar hanya bertahan ketika keragaman dikelola sebagai kekuatan, bukan ancaman. Konflik SARA adalah ujian bagi solidaritas sosial, dan pencegahannya memerlukan komitmen kolektif dari pemerintah, masyarakat, hingga individu.
Referensi
1. 𝘎𝘰𝘶𝘳𝘦𝘷𝘪𝘵𝘤𝘩, 𝘗. (1998). 𝘞𝘦 𝘞𝘪𝘴𝘩 𝘵𝘰 𝘐𝘯𝘧𝘰𝘳𝘮 𝘠𝘰𝘶 𝘛𝘩𝘢𝘵 𝘛𝘰𝘮𝘰𝘳𝘳𝘰𝘸 𝘞𝘦 𝘞𝘪𝘭𝘭 𝘉𝘦 𝘒𝘪𝘭𝘭𝘦𝘥 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘖𝘶𝘳 𝘍𝘢𝘮𝘪𝘭𝘪𝘦𝘴. 𝘍𝘢𝘳𝘳𝘢𝘳, 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘶𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘎𝘪𝘳𝘰𝘶𝘹.
2. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘎𝘳𝘰𝘶𝘱 (𝘐𝘊𝘎). (2017). 𝘔𝘺𝘢𝘯𝘮𝘢𝘳’𝘴 𝘙𝘰𝘩𝘪𝘯𝘨𝘺𝘢 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘌𝘯𝘵𝘦𝘳𝘴 𝘢 𝘋𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘰𝘶𝘴 𝘕𝘦𝘸 𝘗𝘩𝘢𝘴𝘦. 𝘉𝘳𝘶𝘴𝘴𝘦𝘭𝘴.
3. 𝘘𝘶𝘢𝘵𝘢𝘦𝘳𝘵, 𝘋. (2005). *𝘛𝘩𝘦 𝘖𝘵𝘵𝘰𝘮𝘢𝘯 𝘌𝘮𝘱𝘪𝘳𝘦, 1700–1922. 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘳𝘪𝘥𝘨𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
4. 𝘙𝘢𝘮𝘦𝘵, 𝘚. 𝘗. (2006). 𝘛𝘩𝘦 𝘛𝘩𝘳𝘦𝘦 𝘠𝘶𝘨𝘰𝘴𝘭𝘢𝘷𝘪𝘢𝘴: 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦-𝘉𝘶𝘪𝘭𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘥 𝘓𝘦𝘨𝘪𝘵𝘪𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯, 1918–2005. 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢𝘯𝘢 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
5. 𝘝𝘢𝘳𝘴𝘩𝘯𝘦𝘺, 𝘈. (2002). 𝘌𝘵𝘩𝘯𝘪𝘤 𝘊𝘰𝘯𝘧𝘭𝘪𝘤𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘪𝘷𝘪𝘤 𝘓𝘪𝘧𝘦: 𝘏𝘪𝘯𝘥𝘶𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮𝘴 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘪𝘢. 𝘠𝘢𝘭𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.