Prof Henri Subiakto: “Katanya Kritik Jangan Dibatasi, Tapi Ditahan”

Breaking News

- Advertisement -

 

Penulis: Nurul Azizah

Acara DUA SISI tvOne pada hari Kamis, 15 Mei 2025 jam 20.00 WIB dengan tema ‘Meme Prabowo-Jokowi, Kebebasan atau Kebablasan’ sangat ramai sekali atau bahkan bisa dibilang ‘berisik’. Dua sisi menampilkan narasumber yang diundang tidak ada yang mau mengalah. Baik dari Prof Henri Subiakto pakar hukum komunikasi Universitas Airlangga Surabaya dan Andi Azwan Waketum Prabowo mania 08 – Jokowi Mania serta narasumber lainnya. Dalam siaran langsung tvOne Prof Henri ingin meluruskan kepada Bareskrim atas kesalahan asumsi Istana tentang UU ITE (Informasi dan Transaksi Eektronik).

Bareskrim Polri telah salah menerapkan UU ITE. Kalau hal ini terus diulang, publik mengira bahwa UU ITE diciptakan untuk membungkam kritik. Jadi siapapun yang mengkritik pemerintah di media sosial akan takut dengan UU ITE. Padahal UU ITE sudah berkali-kali di judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulang kali direvisi bahwa fitnah, pencemaran nama baik, atau penghinaan oleh seseorang di media sosial tidak bisa dilakukan penahanan oleh penegak hukum.

Pemberlakuan UU ITE mulai ramai dibahas setelah mahasiswi ITB pembuat meme ‘ciuman’ Prabowo Jokowi jadi tersangka. Menurut Prof Henri saat menjadi narasumber di acara tvOne mahasiswi Seni Rupa dan Desain berinisial SSS tidak memenuhi unsur pidana, karena kritik yang disampaikan mahasiswa memiliki pesan yang mengandung kecerdasan gaya baru (AI). Seharusnya pejabat bisa menanggapi kritik ini sebagai kritik gaya baru. Mengapa mahasiswi ini kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan pasal 51 ayat 1 UU ITE dengan ancaman hukuman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 1 Miliar.

Seakan-akan tersangka diduga melakukan tindak pidana memanipulasi atau menciptakan informasi atau mengunggah dokumen elektronik berupa gambar yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Kalau hal ini diterapkan, mengapa video pornografi dan pornoaksi yang vulgar di platform medsos dibiarkan merajalela dan tidak kena pelanggaran UU ITE. Sedangkan mahasiswi Seni Rupa hanya menggambar dengan tekhnologi Artificial Intelejen (AI) malah diduga melanggar UU ITE. Ini adalah sebuah kritik berupa meme yang dilakukan Gen Z kaum intelektual muda di era AI.

Narasumber Andi Azwan menganggap meme mahasiswi Seni Rupa ITB adalah penghinaan kepada pemimpin negara dan mantan pemimpin negara. Sesama laki-laki masak berciuman itu tidak pantas, apalagi diunggah di akun X, itu merupakan pelanggaran UU ITE. Andi mengingatkan kepada para mahasiswa kita boleh mengkritik tapi ingat punya rambu-rambu untuk mengkritik. “Berilah kritik, jangan sampai berhenti untuk mengkritik”.

Pernyataan dari Andi langsung dibalas oleh Prof Henri Subiakto, “Berilah kritik, jangan dibatasi tapi ditahan atas nama UU ITE. Kenapa sangsinya sampai pidana 12 tahun, mosok hanya merubah wajah menjadi ganteng atau sebaliknya mengapa kena sangsi 12 tahun. Hukuman itu untuk orang yang dikenakan pasal 35 yang sanksinya memang berat yaitu pidana 12 tahun. Pasal 35 merupakan bagian dari norma larangan perbuatan jahat pencurian data di laptop atau komputer kita, kemudian direkayasa dan merugikan pemilik secara ekonomi biasa dikenal computer crime”, ujar Prof Henri berapi-api.

Seru deh acara tersebut, cuma belum ada kesimpulan yang bisa diambil, karena ketika Prof Henri sebagai pakar hukum komunikasi dan juga pernah bergabung di kementerian Kominfo (Komdigi) selama 15 tahun faham betul apa itu UU ITE dan siapa yang bisa dipidana karena melanggar UU ITE, tidak didengar dulu, malah dibalas dengan adu argumen yang menjadikan suasana ramai.

“Kalau mengkritik pemerintah dengan kecerdasan buatan lalu dipidana, itu sama saja mematikan kreativitas mahasiswa dan generasi muda lainnya untuk memberi masukan kepada pemerintah,” jelas Prof Henri.

Dari kericuhan diskusi Kamis malam tersebut ada kabar gembira bahwa Bareskrim Polri menangguhkan penahanan mahasiswi ITB berinisial SSS pada Minggu (11/5/2025) atas dasar permohonan dari yang bersangkutan, orang tua, kuasa hukum, serta pihak ITB.

Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.

Berita Terkini