Mudanews.com OPINI – Di tengah sorotan publik kepada Rancangan Undang-Undang TNI, ada ancaman besar yang luput dari perhatian, yakni RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). RUU ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025 dan tak kalah kontroversial serta berbahaya dibandingkan dengan RUU TNI. Namun sayangnya, publik terkesan abai. Padahal, jika disahkan, RUU ini berpotensi mengubah wajah penegakan hukum dan keamanan di Indonesia ke arah yang lebih gelap.
Pakar hukum Dr. Roy T. Pakpahan dalam tulisan kritisnya “Analisis Hukum RUU Polri, Lebih Berbahaya Daripada RUU TNI?” https://www.law-justice.co/artikel/183993/analisis-hukum-ruu-polri-lebih-berbahaya-daripada-ruu-tni-/ secara tegas mengingatkan bahaya laten dari RUU Polri. Dan penulis sepenuhnya sependapat di beberapa poin dapat kita uraikan mengapa RUU ini perlu mendapatkan pengawasan ketat dari masyarakat sipil.
1. Rekam Jejak Polri dalam Penyalahgunaan Kekuasaan.
Dalam satu dekade terakhir, Polri berada dalam sorotan tajam atas berbagai kasus yang mencoreng institusinya. Dari skandal Satgassus Merah Putih hingga dugaan keterlibatan aparat dalam “partai coklat” saat Pemilu 2024. Semua ini menunjukkan pola penyimpangan kekuasaan yang sistemik. Bila RUU Polri disahkan dan menambah kewenangan institusi ini tanpa pengawasan memadai, bukan tidak mungkin penyalahgunaan kekuasaan akan semakin dilegalkan dan dilembagakan.
2. Militerisasi yang Mengaburkan Fungsi Sipil.
RUU Polri membuka celah terjadinya militerisasi lembaga kepolisian. Dalam berbagai operasi penanganan konflik dan unjuk rasa, Polri dan TNI kerap bekerja dalam wilayah abu-abu yang seharusnya jelas dibedakan. Jika fungsi dan peran tidak dibatasi secara tegas, konvergensi kedua institusi ini dapat mengancam tatanan demokrasi sipil dan berpotensi menciptakan negara yang represif terhadap warganya.
3. Represi terhadap Kritik dan Perbedaan Pendapat.
Selama masa pemerintahan sebelumnya, kecenderungan represif Polri terhadap aktivis, jurnalis, dan kelompok oposisi makin terlihat. RUU ini berisiko memperkuat kecenderungan tersebut, memperbesar peluang kriminalisasi terhadap kritik, dan membungkam ruang kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
4. Netralitas Polri dalam Bahaya.
Salah satu kegelisahan terbesar adalah potensi politisasi Polri. Sejumlah perwira tinggi diduga memainkan peran dalam kontestasi politik praktis selama pemilu. Bila RUU Polri memperkuat posisi politik institusi ini, maka independensi Polri sebagai penegak hukum yang netral bisa berubah menjadi alat kekuasaan semata.
5. Minimnya Mekanisme Pengawasan Publik.
Pengalaman menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas terhadap Polri masih sangat lemah. Kompolnas sebagai lembaga pengawas cenderung tidak independen, dan sistem internal Polri pun terbukti tidak efektif menangani pelanggaran. Jika RUU ini disahkan tanpa mekanisme pengawasan publik yang ketat, maka Polri berpotensi bertindak tanpa batas, lepas dari kontrol rakyat maupun lembaga negara lainnya.
Kritik Sepihak RUU TNI, Membiarkan RUU Polri Lolos?
Yang menjadi ironi hari ini adalah ketika gelombang protes hanya tertuju pada RUU TNI, sementara RUU Polri nyaris tidak tersentuh. Kritik keras yang datang dari segelintir kelompok, termasuk yang mengatasnamakan “koalisi masyarakat sipil” atau lembaga seperti Setara Institute, secara sepihak menyerang RUU TNI dengan narasi ancaman militerisme. Padahal, berdasarkan kajian dari banyak paka, justru RUU Polri lah yang lebih berbahaya secara struktural terhadap demokrasi, karena menyangkut pengawasan sipil, hukum, dan kebebasan masyarakat.
Subjektifnya, kekhawatiran ini muncul karena kritik terhadap RUU TNI tidak dibarengi dengan keberanian yang setara untuk menyoroti institusi Polri yang selama ini lebih aktif terlibat dalam ranah sipil, politik praktis, bahkan menjadi alat kekuasaan untuk membungkam oposisi. Mengapa ketimpangan ini dibiarkan? Apakah karena keberpihakan politis atau agenda tersembunyi dari para pengkritik?
Resiko Jika Kritik Ini Terus Berlanjut
Jika gerakan anti-RUU TNI terus digalakkan tanpa kesadaran akan ancaman yang lebih besar dari RUU Polri, maka Indonesia sedang dibawa masuk ke jebakan otoritarianisme yang lebih halus namun mematikan. RUU Polri yang tidak diawasi berpotensi merusak civil society secara perlahan, ruang sipil menyempit, kriminalisasi meluas, dan hukum digunakan sebagai alat represi.
Dengan diamnya masyarakat terhadap RUU Polri, artinya kita membiarkan Polri memiliki otoritas yang luas tanpa kontrol publik situasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi pascareformasi. Dalam jangka panjang, rakyat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum, dan kekuasaan akan semakin tidak terjangkau oleh mekanisme demokratis.
Penutup
RUU Polri bukan sekadar produk legislasi. Ia adalah ancaman sistemik terhadap tatanan sipil dan hukum yang demokratis. Kritik tajam terhadap RUU TNI boleh jadi sah, tetapi ketidakadilan dalam memperlakukan dua RUU ini mencerminkan cacat logika dalam gerakan masyarakat sipil itu sendiri.
Demokrasi tak boleh dibela setengah hati. Bila RUU Polri tidak dikawal dengan sungguh-sungguh, maka perlawanan terhadap RUU TNI hanya akan menjadi drama politik belaka, tanpa substansi membela rakyat. Masyarakat sipil sejati seharusnya jeli dan kritis terhadap semua bentuk ekspansi kekuasaan, baik militer maupun sipil. Jika tidak, maka kita sedang menabur benih kehancuran atas demokrasi yang diperjuangkan sejak 1998.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Kalibara, Jakarta Selatan, Rabu 14 Mei 2025, 14:36 Wib.