Fajar belum menyingsing, seorang kawan melalui pesan singkat ditelegram mengabarkan jika dirinya bersama dua orang kawannya telah tiba di semarang setelah 5 jam perjalanan dari Cianjur, azan subuh belum berkumandang melalui tangkapan gambar ,mereka menggoda kami dengan gambar soto bangkong khas semarang dan secangkir kopi hitam yang terlihat enak di stasiun tawang peninggalan kekejaman kolonial.
Keberangkatan mereka kesemarang bukan tanpa alasan, sebagai buruh perantauan dari ujung sumatera yang baru 6 bulan tinggal selepas tamat diploma , hari itu mereka menikmati cuti beberapa hari yang diberikan bos mereka, disatu sisi sebagai para individu yang masih mengaku aktivis dan masih memiliki ikatan emosional dengan gerakan buruh dan mahasiswa mereka terpanggil untuk ikut dalam solidaritas bersama kawan-kawan buruh, mahasiswa, dan rakyat miskin kota dalam demonstrasi buruh 1 mei yang rencananya diadakan di sekitaran semarang.
Sebagaimana kita ketahui ,hari buruh internasional setiap 1 mei bukan hanya menjadi cuti nasional tetapi juga menjadi hari untuk aksi menyuarakan kondisi dan situasi perburuhan.
Namun pada sore harinya, kabar mengejutkan datang dari mereka, teman dari teman saya tadi mengabarkan dengan mata merah dan bibir sedikit mengeluarkan darah jika demonstrasi damai mereka justru mendapatkan represifitas dari aparat, pentungan dan tembakan air mata mewarnai jalannya aksi, provokasi juga ditunjukkan pada masa aksi sementara disatu sisi Intel yang berada ditengah-tengah mereka sibuk memperkeruh situasi hingga pada akhirnya beberapa masa aksi yang kebanyakan berasal dari mahasiswa tertangkap.
Kabar represifitas aparat pada masa aksi hari buruh disemarang dengan cepat menyebar, melengkapi cerita dari kabar dari depan gedung para wakil rakyat yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pestapora para kumpulan serikat buruh bersama penguasa pro kapital yang bertindak seolah-olah ratu adil dalam pidatonya yang melengking, sayangnya pidato itu lupa t ditutup dengan teriakan “Hidup Jokowi “ .
Anggaplah pestapora tadi bentuk kepedulian penguasa meskipun prasangka terhadap penggembosan terhadap yang penting bagi buruh lebih kuat dan tentunya upaya penjilatan dengan gaya yang dilakukan oleh tokoh- tokoh serikat, rasanya sudah benar jika gerakan buruh harus membangkitkan kesadaran untuk tidak terjebak pada tokohisme, karena mereka seringkali memanfaatkan masa buruh untuk meraih kepentingan di depan penguasa.
Apalagi ditengah gelombang PHK yang semakin tinggi sementara lapangan kerja sebanyak 19 juta entah dimana, menjanjikan perbaikan bagi dunia perburuhan seakan-akan fatamorgana , rasa-rasanya pestapora tadi lupa untuk menyelipkan pembacaan puisi karya Oki madasari yang salah satu baitnya “ Aku mendengar 19 juta lapangan kerja, tapi aku melihat PHK dimana-mana “.
Kembali kepada persoalan represitas aparat yang anggaran pembelian gas air matanya selalu bertambah , di ruang maya kabar dengan cepat menyebar , solidaritas pun bermunculan namun penguasa melalui pion-pionnya yang kita sebut buzzer tidak tinggal diam, mereka bergerak massif mengcounter setiap solidaritas dengan memunculkan hantu-hantu anarko.
Anarko disinyalir menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam kerusuhan hari buruh,rasa-rasanya polisi harus kembali mencari dan menangkap siapa Ketua anarko ini sebagaimana yang dahulu pernah mereka lakukan meskipun bagi mereka yang sudah memahami atau setidaknya mencoba mencari tahu, praksis dari anarko bukan bersifat ketokohan yang artinya anarko sebagai ideologi yang menjadi gerakan menolak segala bentuk kepemimpinan individual, alih-alih diksi kolektif lebih banyak dipakai oleh kelompok anarko dengan berbagai bentuknya itu.
Phobia bendera hitam kembali dihidupkan sebagaimana phobia terhadap komunis dan radikalisme , lupa mereka jika lagu internasionale yang juga dipakai kaum komunis terdengar pada pestapora bersama penguasa di stadion yang pernah dipakai memperingati hari ulang tahun PKI.
Buzzer adalah praktik yang merusak demokrasi, mereka bisa berbentuk robot maupun manusia yang mengalihkan isu represitas aparat menjadi kesalahan masa aksi, logika mereka sederhana “ tidak akan ada api kalau tidak asap”, padahal asapnya sendiri seringkali bukan berasal dari masa aksi, lagipun pada setiap aksi, akan ada upaya-upaya provokasi yang dimainkan oleh aparat sendiri.
Tertangkapnya intel oleh kelompok mahasiswa di semarang yang kemudian direspon dengan penangkapan terhadap dua mahasiswa yang membongkar penyamaran intel yang tertangkap itu adalah bukti yang memperlihatkan kemungkinan tersulutnya kerusuhan dari pihak aparat sendiri.
Berbicara seputar solidaritas, bukan hanya datang dari seantero Indonesia namun juga dari Negeri serumpun, Malaysia yang di Kuala Lumpur juga mengadakan aksi serupa, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam liga mahasiswa Malaysia dan beberapa eksponen yang menyertainya membuat video yang berisi kecaman terhadap kekerasan aparat.
Mereka menuntut dibebaskannya masa aksi yang tertangkap, sontak saja , para buzzer kembali merespon dengan tudingan jika aksi masa di Indonesia mendapatkan intervensi asing dan menyuruh para mahasiswa Malaysia itu itu fokus dengan Negara mereka, ejekan bernada fasis pun keluar, diksi “Harimaw harimaw “ menjadi bahan ejekan terhadap kawan- kawan Malaysia yang bersolidaritas.
Tapi apakah salah , jika solidaritas terhadap masa aksi datang dari Negara tetangga ? kalau bicara hukum dalam konteks Indonesia, tentu tidak ada satu pun pasal yang mempermasalahkan apalagi bicara dalam konteks Demokrasi, dimana setiap orang memiliki hak mengekspresikan dan menyebarkan pendapatnya meskipun berbeda bangsa.
Apalagi perihal kemanusiaan, toh kekerasan aparat terhadap masa aksi yang terekam memang menyebar amat cepat, setiap manusia yang berakal dan masih hidup empatinya terlepas dari identitas Negara dan bangsanya tentu akan menilai penanganan yang dipertontonkan oleh polisi Indonesia itu salah.
Sebagaimana kita mengutuki tragedi kemausiaan di Gaza, meskipun berbeda bangsa, bahasa, dan Negara begitupun dengan kawan-kawan luar yang ikut mengutuki represitas aparat Indonesia.
Logika dalam gerakan itu bukan semata-mata bergerak dalam aksi, namun juga bersolidaritas lintas batas artinya yang dilakukan oleh kawan-kawan liga mahasiswa Malaysia patut kita apresiasi sebagai bentuk kepedulian lintas gerakan dan sesama rakyat.
Dimanapun juga rakyat selalu menjadi objek penindasan penguasa, baik di Negara maju maupun di Negara berkembang, dari belahan bumi selatan sampai utara oleh karena itu dalam dunia gerakan di kenal istilah solidaritas lintas gerakan diatas dari itu ada kaloborasi yang berupaya mengangkat isu-isu yang sama meskipun dari wilayah territorial yang berbeda.***
Penulis : Adi Sekjen ISRI (Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia)