_Oleh; Abi Rekso (Penyuluh Rakyat Akal Sehat)_
Mudanews.com OPINI | “Paling tidak dalam membahas pengelolaan perusahaan BUMN, kita perlu memahami konsep hukum bisnis dan tata negara. Banyak hasut diedarkan bahwa UU BUMN 2025 ini membuat jajaran direksi dan komisaris BUMN menjadi kebal hukum. Tuduhan ini sama sekali keliru, karena semangat pemberantasan korupsi tidak bergeser sedikitpun dengan adanya Undang-undang baru ini.”_
Kita harus memulai dari sebuah doktrin yang dikenal Business Judgment Rules (BJR). Sebuah prinsip legal yang menjadi pedomaan perlindungan Direksi dalam menjalankan sebuah bisnis yang rentan. Namun, bukan berarti BJR secara doktriner dapat melindungi tindak pidana korupsi dalam BUMN- Kurang lebih, BJR bisa berlaku sebagai sebuah perlindungan Direksi apabila semua pra-syaratnya terpenuhi.
Apabila seorang direksi secara terang-terangan dengan bukti dan saksi yang kuat melakukan korupsi maka secara otomatis doktrin BJR tidak bisa dijalankan.
Kita juga perlu mendudukan 3 aspek udang-undang dalam melihat pengelolaan BUMN. UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Keempat BUMN, UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang selanjut kita kenal dengan; UU PT, UU BUMN, UU Tipikor. Ketiga undang-undang ini menjadi satu-kesatuan dalam merujuk pengelolaan BUMN.
Ketiga aspek undang-undang diatas saling memperkuat, sebagai kontrol dalam pengelolaan kekayaan negara. Kita juga perlu memahami genus dari masing-masing perundangan. UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN boleh kita kategorikan pada genus keperdataan, sedangkan genus UU Tindak Pidana Korupsi masuk pada genus kepidanaan. Hal inilah yang perlu kita letakan pada tempat dan porsinya masing-masing. Sehingga tidak tumpang-tindih dalam pemahaman.
Banyak terjadi salah tafsir terhadap Undang-Undang No.1 Tentang Perubahan Keempat BUMN 2025 yang cukup fatal. Adalah mengeneralisir kegiatan usaha BUMN sama seperti kegiatan serap anggaran birokrasi pengguna kuasa anggaran negara.
Padahal, kegiatan usaha BUMN membutuhkan improvement dan pengelolaan risiko. Dalam kegiatan usaha risiko tidak bisa dinegasikan dalam sebuah pertimbangan pengambilan keputusan. Yaitu artinya dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan BUMN selalu mengandung risiko.
Kita perlu memahami dan memilah, bahwa modal perusahaan BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Merujuk berdasarkan UU Perseroan Terbatas, modal telah diatur pada *BAB III Modal dan Saham*. Artinya, kekayaan negara yang telah dipisahkan menjadi tunduk pada definisi modal pada UU Perseroan Terbatas. Itulah, salah satu dasar kuat mengapa Direksi dan Komisaris BUMN bukan penyelenggara negara.
Dalam banyak kasus, Direksi Perusahaan BUMN tidak berani mengambil keputusan oleh karena selalu dibayangi ancaman pidana korupsi. Hambatan ini juga perlu dijawab, agar perusahaan BUMN mampu melakukan improvement dan taking risk dalam pengelolaan permodalan perusahaan BUMN.
Disisi lain, kelompok penghasut yang menuduh bahwa UU BUMN 2025 menjadikan Direksi dan Komisaris kebal hukum. Bisa dimengerti karena mereka hanya memiliki pemahaman terbatas pada rezim Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Satu-satunya yang digunakan adalah, pasal 5 UU Tipikor. Yang mana, pasal tersebut mendefinisikan bahwa Direksi dan Komisaris adalah penyelenggara negara.
Jika kelompok hasut ini mau membuka pikiran lebih maju lagi, *pertimbangan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor bisa menjerat siapapun yang terbukti melakukan tindakan korupsi*. Jelas sekali dalam pasal 2&3 UU Tipikor, diberlakukan klausul kepada *”setiap orang”*. Artinya apa? Meski dalam UU BUMN 2025 Direksi dan Komisaris bukan lagi penyelenggara negara. Jika masing-masing individu itu melakukan tindak pidana korupsi, maka pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor tetap bisa diproses secara hukum pidana korupsi.
Tetapi, jika seorang Direksi BUMN sejak awal sudah menunjukan itikad baik dan tidak memiliki konflik kepentingan pada pengelolaan perusahaan BUMN. Meskipun terjadi kerugian, yang bersangkutan tidak bisa dituduh merugikan kekayaan negara. Terlebih, jika faktor utama terjadinya kerugian perusahaan akibat diluar kendali para pemegang saham.
Secara prinsip, kita perlu percaya dan yakin bahwa pemerintahan Presiden Prabowo tetap memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, pemerintahan Prabowo-Gibran melalui Menteri BUMN Erick Thohir terus melakukan pendampingan hukum dan kerjasama, baik melalui Kejaksaan RI maupun KPK.
Berserta catatan kita atas situasi ekonomi global yang begitu dinamis dan fluktuatif. Kita membutuhkan sebuah portofolio perusahaan Negara dengan valuasi kekayaan yang besar sebagai penjamin fiskal negara di Internasional. Secara konsekuensi logis, kita perlu mendorong perusahaan BUMN kita untuk lebih lincah dan transparan menuju reputasi serta profesionalisme.
Suka tidak suka, mendorong prinsip Business Judgment Rule (BJR) ke dalam BUMN adalah keniscayaan. Untuk meningkatkan daya saing manajemen dan investasi. Di waktu yang sama kita juga mendorong agar aparat penegak hukum secara profesional membuka konsideran prinsip BJR dalam melihat pengelolaan perusahaan terkhusus BUMN.
Wabil akhir kita perlu secara objektif meletakan semangat UU BUMN 2025 ini sebagai stimulus. Harapannya agar perusahaan BUMN bisa memiliki daya saing Global. Selain itu, UU BUMN 2025 juga punya semangat tata kelola bisnis yang lebih responsif dalam dinamika global. Yang pada ujungnya dapat membuka lapangan pekerjaan domestik dan pertumbuhan positif ekonomi nasional.
Salam Akal Sehat,