Menakar Ulang Jejak Barisan Nasionalis di Sulawesi Selatan
Oleh : Ishadi Ishak, S.Kom.,M.M
(Wakil Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan periode 2018 – 2020)
Mudanews.com – OPINI, Sulawesi Selatan selalu menjadi sorotan dalam setiap perhelatan politik nasional pasca reformasi. Sebagai provinsi dengan kekuatan elektoral yang besar, Sulsel tidak hanya dilihat sebagai medan tempur bagi partai-partai besar, tetapi juga sebagai ladang bagi pemimpin-pemimpin potensial yang bisa mempengaruhi wajah politik Indonesia.
Salah satu partai yang tak bisa dipandang sebelah mata di Sulawesi Selatan adalah PDI Perjuangan. Partai yang kini dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri ini telah memperlihatkan performa yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir, baik di level nasional maupun daerah. Namun, meskipun sukses besar di Pilkada 2018 dengan mengusung pasangan Nurdin Abdullah–Andi Sudirman Sulaiman yang berhasil memenangkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur setelah pada 2 pemilu sebelumnya berhasil memenangkan pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang, tantangan PDIP kini pada Pemilu Legislatif (Pileg) masih cukup besar.
Tahun 2018 adalah tonggak sejarah bagi PDI Perjuangan di Sulawesi Selatan. Untuk pertama kalinya, partai berlambang banteng ini sukses mengantarkan pasangan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel. Kemenangan ini membawa harapan besar, bahwa PDIP akan menancapkan dominasinya di wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis kekuatan partai tengah dan kanan mengingat kala itu Nurdin Abdulah merupakan kader PDI Perjuangan serta mendapatkan rekomendasi partai B1-KWK langsung diserahkan oleh Ibu Megawati Soekarno Putri.
Sebagian kalangan menafsirkan kemenangan ini sebagai awal dari masa keemasan PDI Perjuangan di Sulsel. Tak hanya karena kemenangan itu sendiri, tetapi juga karena figur Nurdin Abdullah yang kala itu dipandang sebagai simbol pemimpin reformis, bersih, dan progresif. Publik berharap, kepemimpinan Nurdin menjadi etalase keberhasilan PDI Perjuangan di wilayah timur Indonesia.
Namun realitas politik ternyata bergerak lebih kompleks. Tak lama setelah menjabat, muncul gejolak di parlemen. Sinyal pemakzulan terhadap Gubernur mulai terdengar. Hampir seluruh fraksi di DPRD Sulsel kala itu menyuarakan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Nurdin Abdullah. Di titik inilah PDI Perjuangan menunjukkan komitmen membela kadernya, meski sendirian.
Upaya pemakzulan itu akhirnya gagal. Tetapi badai sesungguhnya datang kemudian. Pada awal 2021, Nurdin Abdullah ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus ini menjadi pukulan telak bagi PDI Perjuangan. Publik yang sebelumnya menaruh simpati, kini berubah arah. Kepercayaan mulai luntur, harapan atas lahirnya kepemimpinan bersih dari partai nasionalis ini mulai goyah.
Tertangkapnya Nurdin tak hanya merusak citra personal, tapi juga mencoreng reputasi partai pengusung. Skandal itu memberi ruang bagi rival-rival politik PDIP untuk merebut kembali simpati publik. Masa keemasan yang sempat disambut di 2018 mulai redup sebelum mencapai puncaknya di 2024.
Situasi ini memperlihatkan satu hal penting bahwa kemenangan figur di Pilkada tidak selalu berbanding lurus dengan penguatan struktur partai di akar rumput. Basis elektoral PDI Perjuangan di Sulawesi Selatan masih rapuh, dan terlalu bergantung pada kekuatan tokoh, bukan konsolidasi ideologis dan organisasi.
Apabila dihubungkan dengan teori dominasi dan hegemoni Antonio Gramsci situasi PDI Perjuangan di Sulawesi Selatan. Menurut Gramsci, kekuasaan tidak hanya diperoleh melalui dominasi fisik, tetapi juga dengan mengendalikan ideologi yang diterima masyarakat. PDI Perjuangan, dengan figur seperti Nurdin Abdullah, membangun hegemoni dengan menawarkan pemimpin yang bersih dan progresif. Namun, ketika Nurdin terjerat kasus korupsi, citra partai ikut runtuh, memperlihatkan bahwa hegemoni yang dibangun melalui figur dapat mudah rapuh.
Gramsci menekankan pentingnya ideologi dalam mempertahankan kekuasaan. Ketika ideologi yang diusung partai tidak lagi dipercaya, seperti yang terjadi pada PDI Perjuangan pasca-skandal Nurdin, kekuasaan bisa terancam. Selain itu, hegemoni juga harus memperhitungkan dinamika lokal dan perjuangan kelas. PDI Perjuangan di Sulawesi Selatan harus bisa mengkonsolidasikan ideologi yang mewakili berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya mengandalkan tokoh populer.
Tantangan PDI Perjuangan Pada Perhelatan Pemilu
Dalam Pemilu 2019, PDIP berhasil meraih 8 kursi di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Sayangnya, di Pemilu 2024, angka tersebut mengalami penurunan menjadi hanya 6 kursi. Ini menunjukkan bahwa meskipun PDIP punya pengaruh yang cukup besar dalam arena Pilkada, pengaruh di legislatif tidak bisa dianggap enteng. Lantas, mengapa ada perbedaan hasil yang signifikan antara Pilkada dan Pemilu Legislatif?
Data Pemilu 2019 memperlihatkan PDIP memperoleh 8 kursi di DPRD Provinsi Sulsel. Namun, pada Pemilu 2024, jumlah tersebut turun menjadi 6 kursi. Ini menjadi indikator bahwa PDIP belum sepenuhnya memanfaatkan momentum politik pasca-Pilkada. Penurunan ini mencerminkan jarak antara elektabilitas tokoh dan elektabilitas partai.
Sementara itu, partai lain seperti NasDem dan Gerindra berhasil mencatatkan pertumbuhan signifikan di Pemilu 2024. Namun bila ditelaah lebih dalam, banyak elite dan jaringan partai-partai tersebut berasal dari akar kekuasaan lama, yaitu Golkar. hal ini dapat tercermin dari ketokohan Surya Paloh dan Prabowo pasca hengkang dari Golkar dan mendirikan partai. Fenomena ini mengindikasikan bahwa dominasi Golkar di Sulsel masih bertahan dalam wajah dan bendera yang berbeda.
Golkar sendiri, meski secara jumlah kursi sempat tergerus, tetap menjadi kekuatan sentral. Warisan Orde Baru menjadikan struktur politik lokal tetap beririsan dengan jaringan Golkar, baik secara ideologis, kultural, maupun ekonomis. Di titik ini, PDIP harus menghadapi bukan hanya partai, tetapi juga kebiasaan politik yang sudah lama mengakar.
Namun demikian, PDIP memiliki kekuatan di beberapa titik strategis, khususnya di kota-kota seperti Makassar, Gowa, dan Takalar. Di wilayah-wilayah ini, kerja politik partai mulai tampak, baik melalui kaderisasi, kerja sosial, maupun kehadiran tokoh-tokoh muda yang mulai diterima publik. Peta politik Sulsel pasca-2024 menunjukkan adanya fragmentasi dan kompetisi yang semakin ketat. Ruang bagi partai ideologis tetap terbuka, asal mampu beradaptasi dengan realitas lokal dan kebutuhan generasi muda yang lebih kritis dan pragmatis.
Sulawesi Selatan memiliki basis pemilih yang heterogen. Di kota-kota besar seperti Makassar, Gowa, dan Takalar, PDIP memang cukup kuat, namun di daerah-daerah lainnya, seperti Luwu, Bone, atau Wajo, pengaruh partai ini masih terbatas. Untuk itu, PDIP perlu menambah dukungan di daerah-daerah ini dengan strategi yang lebih mendalam, mulai dari membangun jaringan yang solid hingga menjalin kedekatan dengan masyarakat melalui berbagai program sosial. Di tengah tantangan itu, PDIP juga menghadapi kompetisi antarpartai yang semakin ketat. Partai-partai lain seperti NasDem dan PKB mulai memperluas pengaruh di Sulsel. Sementara Gerindra dan Golkar tetap menjadi kekuatan mapan dengan jaringan struktural yang kokoh hingga ke desa-desa.
Meski begitu, PDIP tetap memiliki peluang besar untuk memperluas pengaruhnya di Sulsel, terutama jika partai ini lebih fokus pada penguatan kaderisasi dan pengorganisasian di tingkat desa dan kelurahan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperbanyak program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat, seperti pertanian, perikanan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Jika melihat ke belakang, sejarah PDIP di Sulsel bukan tanpa fondasi. Era H Zainal Basri Palaguna semasa menjabat Ketua PDI Perjuangan Sulawesi Selatan sekaligus mantan Gubernur Sulawesi Selatan, misalnya, menjadi contoh bagaimana kekuasaan bisa digunakan untuk membangun basis ideologis. Namun fondasi ini perlu diperbaharui dengan pendekatan yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Masalah utama PDIP di Sulsel tampaknya terletak pada sebaran kekuatan yang tidak merata. Konsentrasi suara PDIP masih bertumpu pada kawasan urban seperti Makassar, Gowa, dan sekitarnya. Sementara daerah-daerah seperti Bone, Luwu Raya, atau Bulukumba lebih dikuasai partai lain seperti Golkar, NasDem, atau Gerindra.
Ini adalah pekerjaan rumah bagi PDIP. Dibandingkan mengandalkan “gelombang pusat” atau tokoh populer, PDIP harus mulai berinvestasi dalam kaderisasi dan penguatan struktur partai di akar rumput. Tanpa upaya itu, partai akan terus bergantung pada koalisi dan tokoh semata, tanpa bisa membangun kekuatan mandiri yang berkelanjutan.Politik identitas dan patronase lokal masih sangat kuat. Banyak pemilih lebih percaya pada tokoh daripada platform partai. Dalam konteks ini, PDIP dituntut tidak hanya tampil sebagai partai nasional, tetapi juga sebagai kekuatan yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal.
Marhaenis Dinilai Tak Sejalan Perjuangan Kahar Muzakkar
PDI Perjuangan sebagai partai ideologis yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme, keadilan sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil atau biasa disebut Marhenis, menghadapi tantangan tersendiri dalam membumikan semangat kebangsaan di daerah-daerah dengan latar sejarah yang kompleks, termasuk di Sulawesi Selatan.
Marhaenisme bukan sekadar ajaran lama, tapi semangat yang terus hidup dalam denyut nadi rakyat kecil. Ia lahir dari pengalaman Bung Karno bertemu seorang petani miskin bernama Marhaen—bukan buruh upahan, bukan kapitalis, tapi pemilik alat produksi yang tetap hidup dalam kemiskinan.
Dari situlah lahir cita-cita besar: membangun Indonesia dari bawah, dari rakyat biasa. Bukan dari segelintir elite, bukan dari kekuasaan yang lupa pada suara terbawah.
Di Sulawesi Selatan terdapat refleksi Marhaenisme. Mereka melangsungkan hidup dengan berprofesi sebagai petani di Kabupaten Enrekang, nelayan di Kabupaten Pangkep, buruh di Kota Makassar, dan pedagang kecil di Kabupaten Bulukumba. Semua yang berjuang untuk hidup layak, untuk hak yang adil adalah Marhaen zaman kini.
Salah satu tantangan historis yang belum sepenuhnya selesai adalah warisan pemikiran dan perjuangan Kahar Muzakkar, tokoh kontroversial yang pernah menjadi bagian dari Republik, tetapi kemudian memilih jalan perlawanan melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mempunyai tujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Bagi sebagian kalangan di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar bukan hanya tokoh sejarah, tetapi simbol perlawanan terhadap apa yang ia anggap sebagai penyimpangan dari nilai-nilai Islam dimasa pemerintahan Ir. Soekarno.
Di antara kontroversinya, salah satu yang paling diingat adalah penolakan Kahar Muzakkar untuk mengakui Ir. Soekarno sebagai *kader Muhammadiyah* dan sebagai pemimpin sah umat. Penolakan ini tidak lahir dari kebencian pribadi, tetapi dari perbedaan ideologis yang dalam. Dan karena Soekarno adalah inspirator utama PDI Perjuangan hingga saat ini, narasi resistensi itu, dalam bentuk yang lebih lunak, masih terasa di sebagian wilayah Sulawesi Selatan.
Ir. Soekarno dan Kahar Muzakkar adalah Kader Muhammadiyah
Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, memiliki hubungan yang erat dengan Muhammadiyah. Selama masa pengasingannya di Bengkulu antara tahun 1938 hingga 1942, Soekarno resmi menjadi anggota Muhammadiyah dan menjabat sebagai pimpinan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah di daerah tersebut. Dalam pidatonya pada Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, Soekarno menyatakan bahwa dirinya telah menjadi anggota resmi Muhammadiyah sejak tahun 1938.
Keterlibatan Soekarno dengan Muhammadiyah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga ideologis. Ia tertarik dengan pemikiran Islam berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah dan bahkan pernah dididik langsung oleh pendiri organisasi tersebut, KH Ahmad Dahlan. Meskipun demikian, Soekarno tidak segan mengkritik beberapa praktik dalam Muhammadiyah, seperti penggunaan tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan dalam pertemuan, menunjukkan sikap kritisnya terhadap organisasi yang ia cintai.
Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusinya, pada tahun 1965, Muhammadiyah menganugerahkan *Soekarno Bintang Muhammadiyah*, sebuah penghargaan tertinggi dari organisasi tersebut. Hubungan Soekarno dengan Muhammadiyah mencerminkan sinergi antara pemikiran nasionalisme dan Islam berkemajuan dalam sejarah Indonesia.
Fatmawati, istri Ir. Soekarno dan Ibu Negara pertama Indonesia, memiliki latar belakang yang kuat dalam organisasi Muhammadiyah. Sejak remaja, ia aktif di Nasyiatul Aisyiyah, organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah yang fokus pada pemberdayaan perempuan muda. Ayahnya, Hasan Din, adalah Sesepuh Muhammadiyah di Bengkulu, sementara ibunya, Siti Chadijah, merupakan aktivis Aisyiyah cabang Bengkulu.
Sedangkan Kahar Muzakkar pernah menempuh pendidikan di Sekolah Muallimin Muhammadiyah dan memiliki kedekatan dengan Soekarno pada masa awal kemerdekaan. Kahar bahkan pernah menjadi pengawal pribadi Soekarno dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, menunjukkan hubungan yang dekat di awal perjuangan.
Perubahan sikap Kahar terhadap pemerintah pusat, termasuk Soekarno, lebih disebabkan oleh kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil terhadap wilayah luar Jawa, terutama terkait penolakan terhadap pembentukan pasukan lokal seperti Brigade Hasanuddin. Kekecewaan ini mendorong Kahar untuk bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan memproklamasikan gerakan separatis di Sulawesi Selatan.
Dalam tulisan dan pidatonya, Kahar Muzakkar mengkritik keras dominasi Jawa dalam pemerintahan dan militer Indonesia, serta menolak ideologi Pancasila yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, sementara Ir. Soekarno kukuh memperjuangan Pancasila sebagai ideologi bangsa ini.
Soekarno Tawarkan Kahar Muzakkar Konsep Indonesia Sentris
Ir. Soekarno adalah sosok yang mendorong gagasan Indonesia-sentris, yaitu pembangunan yang tidak lagi bertumpu hanya pada Jawa. Wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan muncul dari keinginan untuk membangun keadilan regional, menggeser dominasi Jawa, dan mempersatukan Indonesia secara geopolitik.
Di sisi lain, Kahar Muzakkar, seorang tokoh perlawanan bersenjata asal Sulawesi Selatan, dikenal karena pemberontakannya lewat gerakan DI/TII di Sulawesi. Ia menolak sistem negara yang dipandang tidak adil dan sentralistik. Penolakannya terhadap pemindahan ibu kota ke Kalimantan bisa dibaca dalam kerangka resistensinya terhadap keputusan elite pusat yang tidak melibatkan atau menguntungkan kawasan luar Jawa, termasuk Sulawesi.
Konflik antara Soekarno dan Kahar bukan hanya konflik personal atau ideologis, tapi juga simbol tarik-menarik antara pusat dan daerah. Penolakan terhadap Brigade Hasanuddin oleh pemerintah pusat kala itu menjadi pemicu kekecewaan mendalam. Kahar merasa ditolak bukan hanya sebagai prajurit, tetapi juga sebagai bagian dari identitas kawasan timur yang ingin diakui.
Ibu Kota Nusantara dalam Konteks Sulawesi Selatan
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur bukanlah sekadar proyek pembangunan infrastruktur. Ia adalah simbol dari arah baru pembangunan nasional yang lebih adil dan merata. Di balik kebijakan strategis ini, PDI Perjuangan memainkan peran kunci, baik dalam tataran gagasan maupun eksekusi politik. Bagi partai berlambang banteng moncong putih ini, IKN adalah perwujudan dari cita-cita Indonesia sentris, sebagaimana diajarkan oleh pendiri bangsa, Ir. Soekarno.
Visi besar pemindahan IKN adalah membalik pola pembangunan yang selama ini terlalu terpusat di Jawa. Sejak era kolonial hingga masa modern, Jakarta selalu menjadi episentrum segalanya—politik, ekonomi, hingga budaya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antara kawasan barat dan timur Indonesia kian melebar. Inilah yang ingin diperbaiki oleh gagasan Indonesia sentris, sebuah pendekatan pembangunan yang tidak lagi bertumpu pada satu pulau, tetapi merangkul seluruh wilayah nusantara.
PDI Perjuangan, sebagai partai nasionalis-kerakyatan, mendukung penuh pemindahan IKN sebagai bagian dari rekonstruksi keadilan geografis. Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri menyuarakan pentingnya pemerataan pembangunan dan penguatan kedaulatan nasional di seluruh pelosok Indonesia. Ide ini sejalan dengan semangat Soekarno yang memimpikan bangsa yang merdeka bukan hanya secara politik, tapi juga secara sosial dan ekonomi.
Dukungan PDI Perjuangan terhadap UU IKN menunjukkan komitmen nyata. Fraksi PDIP di DPR menjadi tulang punggung pengesahan UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Melalui kerja legislasi yang intensif, PDI Perjuangan menjamin bahwa proses pemindahan ibu kota tidak hanya memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi juga mengusung nilai-nilai keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan partisipasi masyarakat.
Pemindahan IKN juga menjadi ajang pembuktian bagi PDI Perjuangan untuk menunjukkan bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi soal tanggung jawab sejarah. Ketika sebagian pihak masih terjebak dalam romantisme politik sektoral dan kepentingan jangka pendek, PDI Perjuangan tampil dengan agenda besar : menciptakan pusat peradaban baru yang inklusif, hijau, dan berbasis teknologi. IKN bukan sekadar kota pemerintahan, tetapi laboratorium masa depan Indonesia.
Dalam konteks Sulawesi Selatan dan kawasan timur Indonesia, pemindahan IKN selain menjawab akan keinginan Ir Soekarno terhadap Kahar Muzakkar, juga memberikan kemaslahatan masyarakat bagian timur Indonesia menjadi peluang strategis. Konektivitas antarwilayah akan meningkat, investasi akan lebih tersebar, dan pembangunan SDM akan menjadi prioritas nasional. Ini adalah momentum yang harus dimanfaatkan oleh seluruh elemen, termasuk kader PDIP di daerah, untuk memperkuat peran dan kontribusi mereka dalam pembangunan nasional.
Sejarah akan mencatat bahwa PDI Perjuangan tidak hanya menjadi saksi, tapi juga aktor utama dalam babak baru perjalanan bangsa. Dari cita-cita Soekarno tentang Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Jika proyek IKN sukses, maka Indonesia akan memiliki pusat gravitasi baru yang lebih setara dan inklusif. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mengingat bahwa PDI Perjuangan ada di barisan paling depan dalam mewujudkannya.
Meski demikian pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur merupakan proyek ambisius yang tak hanya menyangkut relokasi administratif, tetapi juga upaya membentuk poros baru kekuasaan yang lebih merata secara geografis. Gagasan ini lahir dari semangat Indonesia-sentris yang ingin menggeser beban pembangunan dari Jawa ke luar pulau. Namun hingga hari ini, sinyal dukungan penuh dari elite politik—baik eksekutif maupun legislatif—di Sulawesi Selatan dan lima provinsi lainnya di pulau Sulawesi belum sepenuhnya tampak.
Jika kita memakai kaca mata pemikiran Antonio Gramsci, proyek IKN adalah bentuk dominasi yang belum mencapai tahapan hegemoni. Dalam teori Gramsci, hegemoni baru tercapai jika kekuasaan tidak hanya memaksakan kehendak, tetapi mampu membangun konsensus kultural dan ideologis di tengah masyarakat. Artinya, kekuasaan menjadi common sense, diterima bukan karena paksaan, tapi karena diyakini sebagai kebaikan bersama.
Minimnya respons positif dari daerah menunjukkan bahwa IKN masih menjadi “proyek pusat” yang belum berhasil mengartikulasikan kepentingan lokal. Banyak elite daerah yang belum melihat IKN sebagai peluang bersama, melainkan sebagai simbol kekuasaan yang terpisah dari realitas keseharian masyarakat Sulawesi.
Dalam konteks ini, tantangan pemerintah bukan hanya pada aspek teknokratis seperti infrastruktur dan anggaran, tetapi juga pada kerja ideologis: membangun narasi inklusif yang bisa diterima dan diyakini oleh daerah-daerah penyangga sebagai bagian dari mereka. Tanpa itu, IKN bisa saja berdiri secara fisik, tapi gagal menjadi pusat kekuasaan yang hegemonik secara nasional.(*)