Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Mudanews.com- OPINI | Media sosial seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube tidak lagi sekadar platform hiburan atau komunikasi. Mereka telah menjadi “mesin uang” yang bergantung pada engagement, semakin lama pengguna tergulung (𝒔𝒄𝒓𝒐𝒍𝒍𝒊𝒏𝒈), semakin besar pendapatan iklan.
Untuk mencapai ini, platform menggunakan algoritma canggih yang mempelajari kebiasaan pengguna, lalu menyajikan konten yang paling mungkin membuat mereka berinteraksi (𝒍𝒊𝒌𝒆, 𝒌𝒐𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓, 𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆).
Masalahnya? Konten yang memicu emosi terutama kemarahan, ketakutan, atau kontroversi ternyata paling efektif mendorong 𝒆𝒏𝒈𝒂𝒈𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕. Ini memunculkan 𝘧𝘦𝘯𝘰𝘮𝘦𝘯𝘢 𝘰𝘶𝘵𝘳𝘢𝘨𝘦 𝘦𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺 (ekonomi kemarahan), di mana konten pemecah belah justru paling banyak dikonsumsi
𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐀𝐥𝐠𝐨𝐫𝐢𝐭𝐦𝐚 𝐌𝐞𝐦𝐢𝐜𝐮 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢?
𝙀𝙛𝙚𝙠 𝙍𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙂𝙚𝙢𝙖 (𝙀𝙘𝙝𝙤 𝘾𝙝𝙖𝙢𝙗𝙚𝙧)
Algoritma media sosial dirancang untuk menunjukkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Jika seseorang kerap mengklik berita konspirasi atau konten politik ekstrem, algoritma akan terus memperkuat pandangan itu dengan menyajikan konten serupa.
Akibatnya, pengguna terjebak dalam 𝘦𝘤𝘩𝘰 𝘤𝘩𝘢𝘮𝘣𝘦𝘳 ,ruang di mana mereka hanya mendengar pendapat yang sama, tanpa eksposur pada perspektif berbeda.
Contoh: Di Indonesia, isu SARA (Suku, Agama, Ras) seperti penistaan agama atau konflik etnis sering viral karena memicu debat panas. Algoritma kemudian memperbanyak distribusi konten serupa, memperdalam jurang polarisasi.
𝑷𝒓𝒊𝒐𝒓𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑲𝒐𝒏𝒕𝒆𝒏 𝑺𝒆𝒏𝒔𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍
Algoritma tidak dirancang untuk mempromosikan kebenaran atau nilai jurnalistik, melainkan engagement. Berdasarkan penelitian MIT, kabar palsu (𝘧𝘢𝘬𝘦 𝘯𝘦𝘸𝘴) menyebar 6 kali lebih cepat daripada berita faktual karena lebih provokatif (𝘝𝘰𝘴𝘰𝘶𝘨𝘩𝘪 𝘦𝘵 𝘢𝘭., 2018).
Analoginya: “Budi digigit anjing” tidak menarik. Tapi “Budi menggigit anjing” akan viral karena absurd dan memicu rasa penasaran.
𝙋𝙚𝙢𝙗𝙚𝙣𝙩𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙉𝙖𝙧𝙖𝙨𝙞 𝙋𝙖𝙡𝙨𝙪
Banyak isu kontroversial sengaja dibesar-besarkan oleh 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘦𝘯𝘵 𝘧𝘢𝘳𝘮𝘴 (produsen konten sampah) demi monetisasi.
Beberapa contoh yang terjadi :
“𝐕𝐚𝐤𝐬𝐢𝐧 𝐂𝐎𝐕𝐈𝐃-𝟏𝟗 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐌𝐢𝐜𝐫𝐨𝐜𝐡𝐢𝐩”
• Isu: Klaim palsu bahwa vaksin COVID-19 disuntikkan dengan microchip untuk melacak masyarakat.
• Sumber: Beredar di WhatsApp, Facebook, dan TikTok sejak 2021.
• Fakta: Dinyatakan hoax oleh Kemenkes dan BPOM. Vaksin tidak mengandung bahan pelacak.Algoritma: Konten ini viral karena memanfaatkan ketakutan publik, sehingga mendapat banyak shares dan komentar emosional.
“𝐆𝐞𝐦𝐩𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐥𝐚𝐰𝐬𝐢 𝐀𝐤𝐢𝐛𝐚𝐭 𝐔𝐣𝐢 𝐂𝐨𝐛𝐚 𝐒𝐞𝐧𝐣𝐚𝐭𝐚 𝐑𝐚𝐡𝐚𝐬𝐢𝐚 𝐀𝐒”
• Isu: Klaim gempa Palu 2018 disebabkan oleh proyek senjata HAARP milik AS.
• Sumber: Viral di Twitter dan grup Telegram.
• Fakta: BMKG menegaskan gempa terjadi karena pergeseran lempeng tektonik, bukan konspirasi.
• Algoritma: Narasi konspirasi menarik perhatian, sehingga algoritma mendorongnya ke explore page.
“𝐁𝐞𝐫𝐚𝐬 𝐒𝐢𝐧𝐭𝐞𝐭𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐥𝐚𝐬𝐭𝐢𝐤”
• Isu: Video palsu yang menunjukkan beras terbuat dari plastik.
• Sumber: TikTok (2017) dan Facebook.
• Fakta: Kementan membantah dan menjelaskan beras plastik tidak ekonomis untuk diproduksi.
• Algoritma: Video pendek dengan visual mengejutkan cepat tersebar di platform seperti TikTok
𝐁𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚 𝐭𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐤𝐨𝐦𝐮𝐧𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐚𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐀𝐥𝐠𝐨𝐫𝐢𝐭𝐦𝐚
𝗧𝗲𝗼𝗿𝗶 𝗥𝘂𝗮𝗻𝗴 𝗚𝗲𝗺𝗮 (𝗘𝗰𝗵𝗼 𝗖𝗵𝗮𝗺𝗯𝗲𝗿) 𝗱𝗮𝗻 𝗙𝗶𝗹𝘁𝗲𝗿 𝗕𝘂𝗯𝗯𝗹𝗲
Teori Ruang Gema (𝘌𝘤𝘩𝘰 𝘊𝘩𝘢𝘮𝘣𝘦𝘳) dan konsep Filter Bubble (Pariser, 2011) menjelaskan bagaimana algoritma media sosial membatasi eksposur pengguna terhadap perspektif yang berbeda.
Algoritma hanya menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga memperkuat bias konfirmasi dan memicu polarisasi.
Fenomena ini juga terkait dengan 𝘛𝘦𝘰𝘳𝘪 𝘈𝘨𝘦𝘯𝘥𝘢 𝘚𝘦𝘵𝘵𝘪𝘯𝘨 (𝘔𝘤𝘊𝘰𝘮𝘣𝘴 & 𝘚𝘩𝘢𝘸, 1972), di mana algoritma bertindak sebagai “penjaga gerbang” yang menentukan isu mana yang dianggap penting berdasarkan engagement, bukan nilai informasinya.
Contoh: Di Indonesia, isu SARA yang viral memanfaatkan Filter Bubble, di mana pengguna dengan kecenderungan tertentu hanya menerima narasi sepihak, dan ini memperdalam polarisasi sosial.
Prioritas Konten Sensasional
𝗧𝗲𝗼𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝘂𝗮𝘀𝗮 (𝗨𝘀𝗲𝘀 𝗮𝗻𝗱 𝗚𝗿𝗮𝘁𝗶𝗳𝗶𝗰𝗮𝘁𝗶𝗼𝗻𝘀)
Teori ini menjelaskan bahwa pengguna media sosial aktif memilih konten yang memenuhi kebutuhan psikologis mereka, seperti hiburan atau validasi emosional (Katz et al., 1973).
Algoritma memanfaatkan hal ini dengan memprioritaskan konten sensasional yang memicu rasa penasaran atau kemarahan, seperti hoaks “Budi menggigit anjing”.
Contoh: Hoaks “Gempa Sulawesi Akibat Senjata AS” menyebar cepat karena memenuhi kebutuhan pengguna akan penjelasan sederhana untuk peristiwa kompleks.
𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥 : 𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐋𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢
𝘛𝘦𝘰𝘳𝘪 𝘚𝘱𝘪𝘳𝘢𝘭 𝘒𝘦𝘣𝘪𝘴𝘶𝘢𝘯 (𝘚𝘱𝘪𝘳𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘚𝘪𝘭𝘦𝘯𝘤𝘦)
Teori Noelle-Neumann (1974) menyatakan bahwa individu cenderung menyembunyikan pendapat jika merasa minoritas. Di media sosial, algoritma memperkuat dominasi suara mayoritas (atau kontroversial), sehingga suara rasional sering tenggelam (cancel culture).
Contoh: Diskusi tentang isu perubahan iklim di Indonesia kalah viral dibanding debat sepele selebriti, karena algoritma tidak memberi ruang bagi topik “tidak populer”
𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥 : 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐇𝐨𝐚𝐤𝐬 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐊𝐫𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢
𝐌𝐞𝐥𝐞𝐦𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐢𝐬𝐤𝐮𝐬𝐢 𝐑𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥
Masyarakat terpecah menjadi kubu-kubu yang saling bermusuhan berdasarkan narasi media sosial. Diskusi sehat tergantikan oleh 𝘤𝘢𝘯𝘤𝘦𝘭 𝘤𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘦 dan perang komentar.
𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐢𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐮 𝐏𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠
Saat energi publik tersedot ke isu sepele (misalnya: perdebatan gaya hidup selebriti), isu krusial seperti perubahan iklim atau ketimpangan ekonomi justru tenggelam.
𝐄𝐤𝐬𝐩𝐥𝐨𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐑𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐋𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢
Negara dengan tingkat literasi digital rendah (seperti Indonesia) rentan jadi korban. Survei 𝘋𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘭 𝘊𝘪𝘷𝘪𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹 𝘔𝘪𝘤𝘳𝘰𝘴𝘰𝘧𝘵 (2020) menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara dalam kesopanan digital—banyak pengguna mudah percaya hoaks tanpa verifikasi.
Mengapa Algoritma Media Sosial Memprioritaskan Hoax?
1. 𝑬𝒏𝒈𝒂𝒈𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕-𝑫𝒓𝒊𝒗𝒆𝒏: Algoritma (Facebook, Instagram, TikTok) memprioritaskan konten yang memicu reaksi emosional (marah, takut, senang) karena lebih banyak likes, shares, dan komentar.
2. 𝑬𝒌𝒐 𝑪𝒉𝒂𝒎𝒃𝒆𝒓: Pengguna cenderung melihat konten yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hoax politik atau agama sering “dipersonalisasi” oleh algoritma untuk grup tertentu.
3. 𝘾𝙡𝙞𝙘𝙠𝙗𝙖𝙞𝙩 𝙅𝙪𝙙𝙪𝙡 : Judul provokatif (misal: “VIRAL! INI FAKTA MENGEJUTKAN…”) menarik klik, sehingga algoritma menaikkan reach-nya.
𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐝𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐇𝐨𝐚𝐱
1. Cek Sumber: Apakah informasi berasal dari media kredibel (Kompas, Detik, dll.) atau akun anonim?
2. Verifikasi di Situs Pemeriksa Fakta:
• Turnbackhoax.id
• Mafindo (Antihoax.id)
• Cekfakta.com
3. Waspada Konten Sensasional: Jika judul terlalu dramatis atau menjanjikan hadiah, curigai sebagai hoax.
4. Periksa Tanggal: Hoax sering menggunakan peristiwa lama yang dikemas seolah baru.
𝗦𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶: 𝗔𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗶𝘀𝗮 𝗗𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻?
1. 𝑹𝒆𝒈𝒖𝒍𝒂𝒔𝒊 𝑷𝒍𝒂𝒕𝒇𝒐𝒓𝒎
Pemerintah dan perusahaan media sosial harus bekerja sama memoderasi konten berbahaya. Contoh: UE menerapkan Digital Services Act (2023) yang mewajibkan transparansi algoritma.
2. 𝑳𝒊𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑫𝒊𝒈𝒊𝒕𝒂𝒍 𝑴𝒂𝒔𝒔𝒊𝒇
Edukasi kritis terhadap konten media sosial harus masuk kurikulum pendidikan. Masyarakat perlu diajarkan cara memverifikasi informasi (fact-checking).
3. 𝑷𝒆𝒓𝒂𝒏 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒂
– Kurangi interaksi dengan konten provokatif.
– Ikuti akun-akun berbasis data (misalnya: Turnback Hoax, Kominfo).
– Gunakan fitur “Saya tidak tertarik” untuk melatih algoritma.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Algoritma media sosial ibarat pisau bermata dua: di satu sisi menghubungkan manusia, di sisi lain membelah mereka lewat konten-konten emosional. Tantangan terbesar bukan hanya pada teknologi, tapi pada kesadaran pengguna untuk *tidak menjadi komoditas kemarahan.
Algoritma yang memicu masalah Algoritma media sosial (Facebook, TikTok, dll.) dirancang untuk memaksimalkan engagement (likes, komentar, shares) guna meningkatkan pendapatan iklan. Konten yang memicu emosi negatif (kemarahan, ketakutan, kontroversi) lebih diprioritaskan karena efektif menarik interaksi, menciptakan “ekonomi kemarahan” (outrage economy).
Efek echo chamber dan filter bubble membuat pengguna terjebak dalam ruang gema yang hanya menampilkan pandangan serupa dengan keyakinan mereka, memperkuat bias konfirmasi dan polarisasi sosial. Contoh nyata adalah viralnya isu SARA di Indonesia.
Konten sensasional dan hoaks (misal: “Budi menggigit anjing”) menyebar 6 kali lebih cepat daripada berita faktual karena provokatif, sesuai dengan teori Uses and Gratifications yang menjelaskan kecenderungan pengguna memilih konten yang memenuhi kebutuhan psikologis.
Dampak Sosial yang Merisaukan antara lain : Polarisasi dan Krisis Demokrasi: Masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, sementara suara rasional tenggelam akibat dominasi narasi kontroversial (cancel culture).
Pengabaian Isu Penting: Energi publik tersedot ke isu sepele (e.g., gosip selebriti), mengabaikan masalah krusial seperti perubahan iklim atau ketimpangan ekonomi.
Eksploitasi Literasi Digital Rendah: Indonesia, dengan tingkat literasi digital rendah (peringkat 29 dari 32 negara dalam Digital Civility Index), rentan menjadi korban hoaks (e.g., klaim microchip dalam vaksin COVID-19 atau beras plastik).
Algoritma media sosial ibarat pisau bermata dua—menghubungkan sekaligus memecah belah masyarakat. Solusi tidak hanya bergantung pada regulasi teknologi, tetapi juga pada kesadaran pengguna untuk tidak terjebak menjadi “komoditas kemarahan”. Literasi digital dan keaktifan kritis pengguna menjadi kunci menghadapi era di mana kebenaran sering dikalahkan oleh sensasi.**()
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘝𝘰𝘴𝘰𝘶𝘨𝘩𝘪, 𝘚., 𝘙𝘰𝘺, 𝘋., & 𝘈𝘳𝘢𝘭, 𝘚. (2018). “𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘱𝘳𝘦𝘢𝘥 𝘰𝘧 𝘛𝘳𝘶𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘍𝘢𝘭𝘴𝘦 𝘕𝘦𝘸𝘴 𝘖𝘯𝘭𝘪𝘯𝘦.” 𝘚𝘤𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦, 359(6380), 1146-1151.
2. 𝘔𝘪𝘤𝘳𝘰𝘴𝘰𝘧𝘵 (2020). 𝘋𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘭 𝘊𝘪𝘷𝘪𝘭𝘪𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘥𝘦𝘹.
3. 𝘌𝘶𝘳𝘰𝘱𝘦𝘢𝘯 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘪𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯 (2023). 𝘋𝘪𝘨𝘪𝘵𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘳𝘷𝘪𝘤𝘦𝘴 𝘈𝘤𝘵.
4. 𝘗𝘢𝘳𝘪𝘴𝘦𝘳, 𝘌. (2011). 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘪𝘭𝘵𝘦𝘳 𝘉𝘶𝘣𝘣𝘭𝘦: 𝘏𝘰𝘸 𝘵𝘩𝘦 𝘕𝘦𝘸 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘰𝘯𝘢𝘭𝘪𝘻𝘦𝘥 𝘞𝘦𝘣 𝘐𝘴 𝘊𝘩𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘞𝘦 𝘙𝘦𝘢𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘏𝘰𝘸 𝘞𝘦 𝘛𝘩𝘪𝘯𝘬.
5. 𝘓𝘢𝘱𝘰𝘳𝘢𝘯 𝘒𝘰𝘮𝘪𝘯𝘧𝘰 (2023): 𝘏𝘰𝘢𝘹 𝘛𝘦𝘳𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘥𝘪 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘚𝘦𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 2022.
6. 𝘛𝘶𝘳𝘯𝘣𝘢𝘤𝘬𝘩𝘰𝘢𝘹.𝘪𝘥: 𝘋𝘢𝘧𝘵𝘢𝘳 𝘏𝘰𝘢𝘹 𝘗𝘰𝘱𝘶𝘭𝘦𝘳 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘊𝘖𝘝𝘐𝘋-19.
7. 𝘔𝘢𝘧𝘪𝘯𝘥𝘰: 𝘈𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘗𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘏𝘰𝘢𝘹 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘔𝘦𝘥𝘴𝘰𝘴.