𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐚𝐲𝐚 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐥𝐚𝐦 (𝐒𝐃𝐀) 𝐉𝐮𝐬𝐭𝐫𝐮 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐞𝐥𝐚𝐤𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐞𝐤𝐬𝐩𝐥𝐨𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢?

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Drs.Muhammad Bardansyah.Ch.Cht

Mudanews.com-Opini | Banyak negara di dunia dikaruniai kekayaan alam melimpah—minyak, gas, emas, batu bara, hingga hasil hutan. Namun, anehnya, negara-negara ini justru sering tertinggal dalam pembangunan, miskin, dan rentan terhadap eksploitasi negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi?

Jawabannya tidak sederhana, tetapi ada pola sistematis di baliknya: “negara-negara imperialis (AS, Eropa, dan sekutunya) telah merancang sistem ekonomi dan politik global yang membuat negara kaya SDA tetap tergantung, terbelakang, dan mudah dikendalikan.” Mereka melakukan ini melalui kontrol kebijakan, intervensi politik, perang proxy, hingga perang informasi di media.

Mari kita bahas lebih dalam, dimulai dari teori-teori yang menjelaskan fenomena ini, kemudian mengungkap taktik licik negara-negara maju dalam mengeksploitasi, serta bagaimana kita bisa melawan dengan pendidikan dan kesadaran kolektif.

𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢-𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐞𝐥𝐚𝐬𝐤𝐚𝐧 “𝐊𝐮𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐃𝐚𝐲𝐚 𝐀𝐥𝐚𝐦

𝑫𝒖𝒕𝒄𝒉 𝑫𝒊𝒔𝒆𝒂𝒔𝒆 (𝑷𝒆𝒏𝒚𝒂𝒌𝒊𝒕 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒏𝒅𝒂)
Teori ini menjelaskan bahwa ketika suatu negara terlalu bergantung pada ekspor sumber daya alam (seperti minyak atau gas), nilai mata uangnya menguat. Akibatnya, sektor industri dan pertanian menjadi tidak kompetitif karena harga ekspornya mahal. Lama-kelamaan, negara itu hanya jadi pengekspor bahan mentah, tanpa industri pengolahan yang maju.

Contoh: Nigeria kaya minyak, tetapi industri manufakturnya lemah. Indonesia kaya nikel dan batu bara, tetapi masih impor produk turunannya seperti baterai lithium dan baja berkualitas tinggi.

𝑻𝒆𝒐𝒓𝒊 𝑲𝒆𝒕𝒆𝒓𝒈𝒂𝒏𝒕𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 (𝑫𝒆𝒑𝒆𝒏𝒅𝒆𝒏𝒄𝒚 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚)
Menurut teori ini, negara maju (pusat/core) sengaja mempertahankan negara berkembang (pinggiran/periphery) dalam keadaan tergantung.

Mereka menciptakan sistem di mana negara kaya SDA hanya menjadi pemasok bahan mentah, sementara negara maju menguasai teknologi, industri, dan pasar.

Contoh: Freeport di Papua mengeruk emas dan tembaga, tetapi hasil olahannya dijual ke AS dan Eropa. Indonesia hanya mendapat royalti kecil, sementara keuntungan besar dinikmati perusahaan asing.

𝑬𝒌𝒔𝒕𝒓𝒂𝒌𝒕𝒊𝒗𝒊𝒔𝒎𝒆 𝒅𝒂𝒏 𝑵𝒆𝒐-𝑲𝒐𝒍𝒐𝒏𝒊𝒂𝒍𝒊𝒔𝒎𝒆

Ekstraktivisme adalah sistem ekonomi di mana sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran untuk kepentingan asing, tanpa manfaat signifikan bagi rakyat lokal. 𝘕𝘦𝘰-𝘬𝘰𝘭𝘰𝘯𝘪𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮𝘦 adalah bentuk penjajahan modern di mana negara kuat 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗼𝗻𝘁𝗿𝗼𝗹 𝗻𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗹𝗲𝗺𝗮𝗵 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗹𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗱𝘂𝗱𝘂𝗸𝗶 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗳𝗶𝘀𝗶𝗸, 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗹𝘂𝗶 𝘂𝘁𝗮𝗻𝗴, 𝗸𝗼𝗿𝗽𝗼𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗺𝘂𝗹𝘁𝗶𝗻𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹, 𝗱𝗮𝗻 𝗶𝗻𝘁𝗲𝗿𝘃𝗲𝗻𝘀𝗶 𝗸𝗲𝗯𝗶𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻.

Contoh: IMF dan Bank Dunia memberi pinjaman ke Indonesia dengan syarat privatisasi BUMN dan liberalisasi ekonomi. Akibatnya, aset strategis seperti Pertamina, PLN, dan Telkom pelan-pelan dikuasai asing.

𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐈𝐦𝐩𝐞𝐫𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐞𝐤𝐬𝐩𝐥𝐨𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢: 𝐀𝐠𝐞𝐧t, 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐤𝐡𝐢𝐚𝐧𝐚𝐭, 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢

Negara-negara kuat tidak bekerja sendirian. Mereka punya taktik licik untuk memastikan negara kaya SDA tetap lemah dan mudah dikontrol.

𝑬𝒄𝒐𝒏𝒐𝒎𝒊𝒄 𝑯𝒊𝒕𝒎𝒂𝒏 (𝑬𝑯𝑴) 𝒅𝒂𝒏 𝑨𝒈𝒆𝒏 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓𝒖𝒉
John Perkins, dalam bukunya 𝘊𝘰𝘯𝘧𝘦𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘰𝘧 𝘢𝘯 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘏𝘪𝘵 𝘔𝘢𝘯, mengungkap bagaimana AS menggunakan “penghitam ekonomi” untuk:

• Membujuk pemimpin negara agar menerima proyek infrastruktur besar (dengan utang dari Bank Dunia/IMF).
• Menyuap elit lokal agar kebijakan menguntungkan korporasi asing.
• Menggulingkan pemimpin yang menolak (lewat kudeta atau pembunuhan).

Contoh:
Berikut contoh lain pemimpin atau negara yang menjadi target 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘏𝘪𝘵 𝘔𝘦𝘯 (𝘌𝘏𝘔) dan intervensi asing, sesuai skema John Perkins:

𝐌𝐨𝐡𝐚𝐦𝐦𝐚𝐝 𝐌𝐨𝐬𝐬𝐚𝐝𝐞𝐠𝐡 (𝐈𝐫𝐚𝐧, 𝟏𝟗𝟓𝟑)
• Kebijakan Kontroversial : Mossadegh menasionalisasi industri minyak Iran yang sebelumnya dikuasai British Petroleum (BP).
• Intervensi AS-INGGRIS : CIA dan MI6 melancarkan operasi “𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘈𝘫𝘢𝘹” untuk menggulingkannya, dengan dalih “mencegah komunisme”.
• 𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤: Shah Reza Pahlevi (pro-AS) dipasang, memberikan konsesi minyak ke perusahaan AS seperti Chevron dan Exxon.

Keterkaitan dengan EHM :

– Mossadegh dijatuhkan karena menolak dominasi korporasi asing, mirip Chavez.
– Elite lokal (militer dan keluarga Shah) disuap untuk mendukung kudeta.

𝐒𝐚𝐥𝐯𝐚𝐝𝐨𝐫 𝐀𝐥𝐥𝐞𝐧𝐝𝐞 (𝐂𝐡𝐢𝐥𝐢, 𝟏𝟗𝟕𝟑)
• Kebijakan Kontroversial : Nasionalisasi tambang tembaga (khususnya Anaconda Copper milik AS) dan reformasi agraria.
• Intervensi AS : CIA mendanai pemogokan, sabotase ekonomi, dan kudeta Augusto Pinochet.
• 𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 : Pinochet membuka keran investasi asing, menandatangani kontrak timpang dengan perusahaan AS seperti ITT Corporation.

Keterkaitan dengan EHM :
– Proyek utang IMF dipaksakan untuk melemahkan ekonomi Chili sebelum kudeta.
– Perusahaan AS seperti PepsiCo dan Ford mendapat hak istimewa pasca-Allende.

𝐏𝐚𝐭𝐫𝐢𝐜𝐞 𝐋𝐮𝐦𝐮𝐦𝐛𝐚 (𝐊𝐨𝐧𝐠𝐨, 𝟏𝟗𝟔𝟏)
• Kebijakan Kontroversial : Menolak kerja sama eksploitatif dengan perusahaan tambang Belgia (Union Minière) dan AS.
• Intervensi AS-BELGIA : CIA dan Belgia meracuni Lumumba, lalu mendukung diktator Mobutu Sese Seko.
• 𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤: Mobutu memberikan akses ke tambang kobalt dan tembaga ke perusahaan AS (Freeport-McMoRan).

Keterkaitan dengan EHM :
– Elite lokal (Mobutu) menjadi “agen pengaruh” untuk memuluskan eksploitasi SDA.
– Utang dari Bank Dunia digunakan untuk proyek infrastruktur fiktif yang menguntungkan asing.

Jaime Roldós (Ekuador, 1981)
– 𝘒𝘦𝘣𝘪𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘒𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘢𝘭: Menolak perpanjangan kontrak minyak dengan Texaco (AS) dan ingin merevisi utang luar negeri.
– 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐜𝐮𝐫𝐢𝐠𝐚𝐤𝐚𝐧 Roldós tewas dalam kecelakaan pesawat yang diduga direkayasa. John Perkins menyebutnya sebagai “target EHM”.
– 𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤: Penerusnya mengizinkan eksploitasi minyak Amazon oleh Chevron, yang menyebabkan bencana lingkungan (tumpahan 16 miliar galon limbah).
Keterkaitan dengan EHM :
– Proyek jalan raya dan bendungan (didanai Bank Dunia) digunakan untuk membuka akses ke SDA.
– Elite Ekuador disuap untuk mengamankan kepentingan AS.

Kasus-kasus di atas menunjukkan pola sistematis EHM: 𝐮𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐫𝐚𝐭, 𝐤𝐮𝐝𝐞𝐭𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐥𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠, 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐞𝐥𝐢𝐭 𝐥𝐨𝐤𝐚𝐥 untuk mengamankan dominasi asing atas SDA.

𝑴𝒆𝒎𝒃𝒊𝒏𝒂 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒌𝒉𝒊𝒂𝒏𝒂𝒕 𝑳𝒐𝒌𝒂𝒍 (𝑬𝒍𝒊𝒕 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒓𝒂𝒅𝒐𝒓)
Negara imperialis membayar politisi, pengusaha, dan akademisi di negara berkembang untuk memuluskan agenda mereka. Mereka biasanya:
– Mendukung UU yang mempermudah eksploitasi SDA oleh asing.
– Menjual BUMN strategis ke perusahaan asing.
– Menciptakan konflik internal agar rakyat sibuk bertengkar.

Contoh: Banyak pejabat di Afrika dan Amerika Latin yang punya rekening di Swiss atau Panama (dibocorkan dalam Panama Papers) karena menerima suap dari korporasi asing.

𝑷𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒏𝒇𝒐𝒓𝒎𝒂𝒔𝒊: “𝑫𝒊𝒗𝒊𝒅𝒆 𝒆𝒕 𝑰𝒎𝒑𝒆𝒓𝒂” 𝒅𝒊 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂 𝑺𝒐𝒔𝒊𝒂𝒍
Agar rakyat tidak sadar sedang dijajah, negara imperialis menciptakan isu-isu sepele yang memecah belah:
– Politik identitas (agama, suku, ras) diumbar di media.
– Hoaks dan propaganda menyebar untuk mengalihkan isu.
– Celebrity gossip dan konten sampah mendominasi agar pemuda tidak kritis.

Contoh:
• Isu SARA (seperti Ahok vs FPI) sengaja dipanas-panaskan agar rakyat sibuk bertengkar, sementara Freeport terus menambang emas.
• Media Barat seperti CNN dan BBC kerap memojokkan pemimpin negara berkembang (seperti Hugo Chavez atau Lula da Silva) jika kebijakannya tidak pro-AS.

𝑹𝒆𝒏𝒅𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝑹𝒂𝒌𝒚𝒂𝒕 𝑴𝒖𝒅𝒂𝒉 𝑫𝒊𝒑𝒆𝒄𝒂𝒉 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒉

Mengapa taktik ini berhasil? Karena tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat mudah percaya hoaks, tidak kritis, dan mudah diadu domba.

• Buta politik: Banyak orang tidak paham bagaimana kebijakan IMF atau WTO merugikan mereka.
• Tidak melek media: Mudah percaya berita palsu yang sengaja disebarkan.
• Tidak punya kesadaran kolektif: Lebih mementingkan kelompoknya (agama/suku) daripada persatuan melawan penjajahan ekonomi.

𝑺𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊: 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑴𝒆𝒎𝒃𝒆𝒃𝒂𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑮𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒍𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇
Untuk melawan eksploitasi ini, kita butuh:
1. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬
• Pelajaran ekonomi politik harus diajarkan sejak SMA agar pemuda paham siapa yang menjajah mereka.
• Melek media (𝘮𝘦𝘥𝘪𝘢 𝘭𝘪𝘵𝘦𝘳𝘢𝘤𝘺) agar bisa membedakan berita benar dan propaganda.
• Sejarah perjuangan bangsa harus diajarkan dengan benar, bukan versi yang dimanipulasi penjajah.

2. 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐒𝐃𝐀 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐬𝐭𝐫𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢- Stop ekspor bahan mentah! Bangun industri pengolahan.
• Nasionalisasi tambang dan energi (seperti yang dilakukan Norwegia dengan minyaknya).
• Tolak utang IMF/Bank Dunia yang merugikan.

3. Persatuan Rakyat Melawan Imperialisme
• Stop pertengkaran sepele di media sosial. Fokus pada musuh bersama: korporasi asing dan elit komprador.
• Dukung pemimpin yang berani melawan hegemoni Barat.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Negara kaya SDA seperti Indonesia bukan “tertinggal” karena nasib, tapi sengaja dibuat tertinggal oleh sistem ekonomi global yang dirancang negara maju. Mereka menggunakan agen, utang, media, dan pengkhianat lokal untuk memastikan kita tetap jadi pemasok bahan mentah.

Generasi muda harus bangun!, Pelajari siapa musuh sebenarnya, Tolak perpecahan, Perjuangkan kedaulatan ekonomi. Fokus pada Pendidikan dan pengetahuan serta moral, jangan malah ikut menyebarkan berita bohong dengan menyebarkan berita-berita sampah atau mengarang-ngarang cerita yang menyebabkan pertengkaran nasional karena kebodohan kita sendiri .

Belajarlah untuk memahami sebuah issue dengan literasi yang cukup terutama jika membuat konten.

Hanya dengan pendidikan dan persatuan , kita bisa bebas dari penjajahan gaya baru ini. Hal ini harus dipahami bersama oleh generasi muda sebagai 𝒂𝒈𝒆𝒏𝒕 𝒐𝒇 𝒄𝒉𝒂𝒏𝒈𝒆 harapan bagi kemajuan sebuah bangsa.**()

 

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘗𝘦𝘳𝘬𝘪𝘯𝘴, 𝘑. (2004). “𝘊𝘰𝘯𝘧𝘦𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘰𝘧 𝘢𝘯 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘏𝘪𝘵 𝘔𝘢𝘯”. 𝘉𝘦𝘳𝘳𝘦𝘵𝘵-𝘒𝘰𝘦𝘩𝘭𝘦𝘳 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘦𝘳𝘴.
2. 𝘍𝘳𝘢𝘯𝘬, 𝘈. 𝘎. (1967). “𝘊𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮 𝘢𝘯𝘥 𝘜𝘯𝘥𝘦𝘳𝘥𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘓𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘈𝘮𝘦𝘳𝘪𝘤𝘢”. 𝘔𝘰𝘯𝘵𝘩𝘭𝘺 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
3. 𝘚𝘢𝘤𝘩𝘴, 𝘑. 𝘋., & 𝘞𝘢𝘳𝘯𝘦𝘳, 𝘈. 𝘔. (2001). “𝘛𝘩𝘦 𝘊𝘶𝘳𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘕𝘢𝘵𝘶𝘳𝘢𝘭 𝘙𝘦𝘴𝘰𝘶𝘳𝘤𝘦𝘴”. 𝘌𝘶𝘳𝘰𝘱𝘦𝘢𝘯 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸, 45 (4-6), 827–838.
4. 𝘊𝘩𝘰𝘮𝘴𝘬𝘺, 𝘕. (1999). “𝘗𝘳𝘰𝘧𝘪𝘵 𝘖𝘷𝘦𝘳 𝘗𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦: 𝘕𝘦𝘰𝘭𝘪𝘣𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮 𝘢𝘯𝘥 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳”. 𝘚𝘦𝘷𝘦𝘯 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘪𝘦𝘴 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
5. 𝘏𝘢𝘳𝘷𝘦𝘺, 𝘋. (2005). “𝘈 𝘉𝘳𝘪𝘦𝘧 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘕𝘦𝘰𝘭𝘪𝘣𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮”. 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
6. 𝘙𝘰𝘣𝘪𝘯𝘴𝘰𝘯, 𝘞. 𝘐. (2004). “𝘈 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭 𝘊𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮: 𝘗𝘳𝘰𝘥𝘶𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯, 𝘊𝘭𝘢𝘴𝘴, 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘪𝘯 𝘢 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥”. 𝘑𝘰𝘩𝘯𝘴 𝘏𝘰𝘱𝘬𝘪𝘯𝘴 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
7. Kinzer, S. (2003). All the Shah’s Men: An American Coup and the Roots of Middle East Terror.
8. Blum, W. (2003). Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II.
9. Klein, N. (2007). The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism.

Berita Terkini