(Sebuah Cermin bagi Transisi Kekuasaan Indonesia)
Mudanews.com OPINI | Tiga puluh tahun silam, pada tanggal 10 Mei 1994, dunia menyaksikan peristiwa yang mengubah arah sejarah umat manusia: Nelson Rolihlahla Mandela dilantik sebagai Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Hari itu bukan hanya milik Afrika Selatan, tetapi milik dunia. Dari tanah yang puluhan tahun dijajah rasa takut dan ketidakadilan, lahirlah secercah harapan bahwa demokrasi bukan hanya untuk segelintir, tetapi hak bagi seluruh umay manusia.
Di Union Buildings, Pretoria, Mandela berdiri tegak sebagai pemimpin terpilih hasil pemilu multiras pertama dalam sejarah Afrika Selatan. Ia membawa mandat rakyat, luka sejarah, dan harapan jutaan warga kulit hitam yang selama puluhan tahun hidup di bawah sistem apartheid debuah sistem politik rasis yang memisahkan dan menindas mayoritas demi kenyamanan minoritas.
Sejak 1948, apartheid menjadi hukum negara. Orang kulit hitam, meskipun mayoritas, tidak memiliki hak pilih, tidak bisa tinggal di wilayah tertentu, bahkan tidak bisa bersekolah atau dirawat di rumah sakit yang sama. Mereka dipisahkan dalam bus, toilet, taman, dan dijadikan sasaran kekerasan jika melawan.
Mandela adalah suara yang tak bisa dibungkam. Bersama African National Congress (ANC), ia memimpin perjuangan melawan ketidakadilan itu. Karena perjuangannya, ia dipenjara selama 27 tahun, mayoritas di Pulau Robben. Namun sejarah tak memihak pada tirani. Di tengah tekanan global dan perjuangan rakyat, Mandela dibebaskan pada 11 Februari 1990.
Alih-alih membalas dendam, Mandela menempuh jalan damai. Dalam empat tahun, ia memimpin proses transisi menuju pemilu demokratis, yang akhirnya digelar pada 27 April 1994. Lebih dari 22 juta rakyat memilih. Dan pada 10 Mei 1994, Mandela dilantik sebagai Presiden.
Dalam pidato pelantikannya, Mandela menyatakan,
“Kita berjanji akan membangun masyarakat di mana semua warga Afrika Selatan, baik kulit hitam maupun kulit putih, dapat berjalan dengan tegak, tanpa rasa takut di hati mereka, yakin akan hak mereka yang tak dapat dicabut untuk martabat manusia.”
Mandela mengerti bagaiman membangun bangsa, ia harus menyatukan, bukan memecah. Ia memilih memaafkan, bukan membalas. Ia membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional, melibatkan partai-partai lawan politik demi membangun bersama. Ia membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk membuka luka sejarah, bukan untuk mengorek kebencian, tapi untuk menyembuhkan dengan kejujuran.
Pelajaran Indonesia dalam Masa Transisi Kekuasaan
Hari ini, 10 Mei 2025, Indonesia sedang berada dalam masa transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Namun, transisi ini tidak berjalan dalam ruang hampa. Kita melihat gejolak politik, polarisasi tajam di masyarakat, serta bayang-bayang kuatnya pengaruh kekuasaan lama yang membelah publik. Situasi ini mengingatkan bahwa demokrasi kita masih rapuh bila tidak disandarkan pada nilai-nilai pemersatu dan semangat kenegarawanan.
Dalam konteks ini, warisan kepemimpinan Nelson Mandela menjadi cermin yang sangat relevan. Mandela mengajarkan bahwa pemimpin transisi harus lebih besar dari kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ia harus mampu menahan diri, menghindari pembalasan politik, dan yang terpenting, memulihkan kepercayaan rakyat pada negara.
Indonesia tidak kekurangan tantangan. Politik dinasti, dominasi oligarki, potensi kriminalisasi oposisi, dan upaya mempertahankan kekuasaan lewat “boneka politik” adalah masalah nyata. Jika transisi kekuasaan hanya menjadi pergeseran aktor tanpa perubahan paradigma, maka demokrasi hanya akan menjadi kulit luar dari praktik kekuasaan lama.
Mandela membuktikan bahwa demokrasi bukan sekadat pemilu, tapi proses rekonsiliasi yang tulus. Ia tidak menggunakan kekuasaan untuk menegaskan dominasi, tetapi untuk menghapus jejak ketakutan. Inilah yang Indonesia butuhkan hari ini, seorang pemimpin yang tidak hanya menang, tetapi juga mampu memulihkan kepercayaan bangsa yang terpecah.
Penutup
Tanggal 10 Mei bukan hanya milik Afrika Selatan, tetapi milik semua bangsa yang percaya bahwa keadilan, kesetaraan, dan perdamaian bisa diperjuangkan dan dimenangkan. Indonesia hari ini sedang menulis babak penting dalam sejarahnya. Akankah kita belajar dari Mandela dan menjadikan transisi kekuasaan sebagai momentum menyatukan kembali bangsa? Ataukah kita terus membiarkan demokrasi tersandera oleh dendam, ego, dan pengaruh kekuasaan yang tak rela berakhir?
“Tidak ada jalan mudah menuju kebebasan.” Nelson Mandela.
Kini saatnya bagi para pemimpin kita, khususnya Presiden terpilih Prabowo Subianto, untuk menunjukkan jiwa kenegarawanan sejati. Bukan dengan membalas, bukan dengan tunduk pada warisan kekuasaan, tetapi dengan merangkul dan menyembuhkan bangsa ini.
_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Sumber: Berbagai info terpercaya di jalur Google.
Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu 10 Mei 2025, 09:09 Wib.