𝐌𝐞𝐫𝐮𝐬𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐁𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚 𝐃𝐢𝐦𝐮𝐥𝐚𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐫𝐮𝐬𝐚𝐤 𝐆𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐧𝐲𝐚

Breaking News
- Advertisement -

Oleh Drs. Muhammad Bardansyah,Ch,Cht 

Mudanews.com-OPINI |  Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa masa depan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Generasi muda bukan hanya penerus estafet kepemimpinan, tetapi juga tulang punggung moral, intelektual, dan budaya suatu masyarakat.

Oleh karena itu, menghancurkan suatu bangsa tidak selalu memerlukan invasi militer atau penjajahan fisik. Cukup dengan merusak generasi mudanya melalui dekadensi moral, penjajahan mental, atau eksploitasi sistemik.

Narasi ini akan mengulas strategi perusakan generasi muda sebagai senjata penghancur bangsa, dengan contoh kasus Candu di China abad ke-19 dan tantangan modern Korea Selatan, serta solusi berbasis pendidikan cinta tanah air dan disiplin ala militer yang dapat diadaptasi oleh Indonesia.

𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐇𝐢𝐬𝐭𝐨𝐫𝐢𝐬: 𝐊𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐂𝐚𝐧𝐝𝐮 𝐝𝐢 𝐂𝐡𝐢𝐧𝐚 (𝟏𝟖𝟑𝟗–𝟏𝟗𝟒𝟗)

Pada abad ke-19, Dinasti Qing di China mengalami kemerosotan drastis akibat Perang Candu (Opium Wars) yang dipicu oleh imperialisme Barat.

Inggris, melalui British East India Company, membanjiri China dengan opium dari India. Tujuannya jelas: melumpuhkan generasi muda China secara fisik, mental, dan sosial.

𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐅𝐢𝐬𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥

Opium menyebabkan ketergantungan massal, terutama di kalangan pemuda. Kecanduan ini melumpuhkan produktivitas, merusak kesehatan, dan mengikis semangat juang. Pemuda yang seharusnya menjadi garda terdepan pembangunan justru terjebak dalam sikap apatis dan hedonisme.

𝐃𝐚𝐦𝐩𝐚𝐤 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥-𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Kehancuran generasi muda melemahkan struktur sosial China. Keluarga berantakan, kemiskinan merajalela, dan korupsi merambah birokrasi.

Kekalahan dalam Perang Candu (1839–1842 dan 1856–1860) memaksa China menandatangani perjanjian tidak adil (seperti Perjanjian Nanking), yang membuka pintu imperialisme ekonomi dan budaya Barat. China memasuki Abad Penghinaan” (𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘏𝘶𝘮𝘪𝘭𝘪𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯), di mana kedaulatan bangsa direndahkan dan identitas budaya dihancurkan.

Seperti kata sejarawan Jonathan Spence: *“Opium bukan sekadar komoditas, melainkan senjata pemusnah massal yang mengubah China dari raksasa menjadi pasien sekarat.”

𝐊𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧: 𝐊𝐨𝐫𝐞𝐚 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐩𝐥𝐢𝐧

Berbeda dengan China abad ke-19, Korea Selatan modern menunjukkan bagaimana disiplin dan pendidikan yang terstruktur dapat membangkitkan bangsa dari keterpurukan.

Pasca Perang Korea (1950–1953), Korea Selatan hancur secara ekonomi dan sosial. Namun, melalui 𝐫𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 dan wajib militer, negara ini berhasil membangun generasi muda yang disiplin dan kompetitif.

𝐖𝐚𝐣𝐢𝐛 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐈𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐦𝐞𝐧 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫

Sistem wajib militer Korea Selatan (berlaku untuk pria usia 18–28 tahun) tidak hanya bertujuan mempertahankan negara, tetapi juga membentuk karakter pemuda.

Pelatihan fisik dan mental selama 18–21 bulan menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja sama, dan ketahanan menghadapi tekanan. Hasilnya, generasi muda Korea Selatan menjadi motor penggerak “Keajaiban Sungai Han” yang mengubah negara ini menjadi raksasa teknologi dan budaya global.

𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐧𝐚𝐤𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐦𝐚𝐣𝐚

Meski sukses secara ekonomi, Korea Selatan juga menghadapi masalah kenakalan remaja, seperti 𝘣𝘶𝘭𝘭𝘺𝘪𝘯𝘨 kecanduan 𝘨𝘪𝘮 𝘰𝘯𝘭𝘪𝘯𝘦, dan tekanan akademik ekstrem.

Pendidikan formal seringkali kewalahan menghadapi kompleksitas masalah ini. Di sinilah pendekatan alternatif diperlukan.

𝐏𝐞𝐫𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐝𝐚𝐩𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐧𝐬𝐩𝐢𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐂𝐡𝐢𝐧𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐞𝐚 𝐒𝐞𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧

Indonesia, sebagai bangsa dengan keragaman budaya dan dinamika sosial yang unik, dapat belajar dari dua contoh ekstrem ini. 𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 seperti tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, dan degradasi moral di kalangan remaja mencerminkan kegagalan sistem dalam membentuk karakter generasi muda.

Orang tua dan lembaga pendidikan seringkali kewalahan menghadapi kasus yang sudah melewati ambang batas, seperti remaja SMP/SMA yang terlibat geng motor atau perdagangan narkoba.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐦𝐛𝐢𝐥 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚

Indonesia tidak perlu menjiplak kebijakan wajib militer ala Korea Selatan, tetapi bisa merancang program khusus berbasis nilai lokal. Misalnya:

𝐏𝐫𝐨𝐠𝐫𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐢 𝐋𝐢𝐧𝐠𝐤𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫

Remaja dengan kenakalan berat (seperti tawuran atau narkoba) dapat dikirim ke barak militer untuk menjalani pelatihan mental dan disiplin selama 2–4 Minggu.

Program ini bukan untuk mencetak tentara, tetapi membentuk sikap hormat pada aturan, kerja sama tim, dan tanggung jawab. Kegiatan seperti 𝘰𝘶𝘵𝘣𝘰𝘶𝘯𝘥, simulasi kepemimpinan, dan konseling psikologis dapat diselipkan dalam kurikulum.

𝐊𝐨𝐥𝐚𝐛𝐨𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐚𝐫𝐢𝐟𝐚𝐧 𝐋𝐨𝐤𝐚𝐥

Integrasikan nilai-nilai budaya Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan pada orang tua, ke dalam program pelatihan. Misalnya, melibatkan tokoh adat atau ulama sebagai mentor untuk memperkuat identitas kebangsaan.

𝐏𝐞𝐧𝐝𝐚𝐦𝐩𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐬𝐜𝐚-𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧

Setelah program selesai, peserta harus didampingi oleh guru, orang tua, dan psikolog untuk memastikan reintegrasi ke masyarakat berjalan lancar. Sekolah bisa membentuk 𝘵𝘢𝘴𝘬 𝘧𝘰𝘳𝘤𝘦 khusus untuk memantau perkembangan mantan peserta.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐞𝐤𝐡𝐚𝐰𝐚𝐭𝐢𝐫𝐚𝐧

Program ini harus dijalankan secara transparan dan humanis. Pelatihan fisik tidak boleh bersifat kekerasan, dan hak-hak remaja sebagai anak di bawah umur harus dilindungi. Kolaborasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) diperlukan untuk memastikan program berjalan sesuai prinsip rehabilitasi, bukan hukuman.

𝐒𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢: 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫 𝐁𝐞𝐫𝐧𝐮𝐚𝐧𝐬𝐚

𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐓𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐀𝐢𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐞𝐤𝐬𝐭𝐮𝐚𝐥

Kurikulum harus mengintegrasikan nilai kebangsaan dengan tantangan zaman. Misalnya, mengajarkan sejarah kehancuran China akibat opium sambil memperkenalkan kesuksesan Korea Selatan melalui disiplin. Kegiatan seperti 𝘭𝘦𝘢𝘥𝘦𝘳𝘴𝘩𝘪𝘱 𝘤𝘢𝘮𝘱 atau simulasi krisis dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab.

𝐏𝐫𝐨𝐠𝐫𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐑𝐞𝐦𝐚𝐣𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡

Ketika pendidikan formal gagal mengatasi kenakalan, intervensi melalui pelatihan militer yang disesuaikan bisa menjadi solusi. Contohnya, program “𝘣𝘰𝘰𝘵 𝘤𝘢𝘮𝘱” di AS atau “𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘳𝘷𝘪𝘤𝘦” Singapura yang fokus pada pembentukan karakter, bukan sekadar fisik. Remaja dengan masalah perilaku dikirim ke lingkungan terstruktur untuk belajar disiplin, menghargai otoritas, dan bekerja sama.

𝐊𝐨𝐥𝐚𝐛𝐨𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚, 𝐒𝐞𝐤𝐨𝐥𝐚𝐡, 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐬𝐭𝐢𝐭𝐮𝐬𝐢 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫

Keluarga dan sekolah perlu bekerja sama dengan lembaga pelatihan militer untuk memantau perkembangan peserta. Program ini harus bersifat rehabilitatif, bukan punitif, dengan tujuan mengembalikan remaja ke jalur positif.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧

Sejarah China abad ke-19 dan transformasi Korea Selatan modern mengajarkan bahwa generasi muda adalah cermin masa depan bangsa. Jika China hancur karena generasi mudanya dilumpuhkan, Korea Selatan bangkit dengan membentuk pemuda yang disiplin dan visioner.

𝐁𝐚𝐠𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚, kedua contoh ini menjadi inspirasi untuk merancang solusi yang sesuai dengan akar budaya. Pelatihan militer terbatas bagi remaja bermasalah bukanlah jalan pintas, tetapi upaya sistematis untuk menyelamatkan generasi yang terancam hilang arah.

Dengan kolaborasi semua pihak, Indonesia dapat membentuk pemuda yang tidak hanya cinta tanah air, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan global. 𝐆𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐦𝐮𝐝𝐚 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐞𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐝𝐚𝐛𝐚𝐧, tetapi juga katalisator perubahan.**()

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢

1. 𝘓𝘰𝘷𝘦𝘭𝘭, 𝘑. (2011). 𝘛𝘩𝘦 𝘖𝘱𝘪𝘶𝘮 𝘞𝘢𝘳: 𝘋𝘳𝘶𝘨𝘴, 𝘋𝘳𝘦𝘢𝘮𝘴, 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘔𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘧 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢. 𝘗𝘪𝘤𝘢𝘥𝘰𝘳.

2. 𝘚𝘱𝘦𝘯𝘤𝘦, 𝘑. 𝘋. (2013). 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘧𝘰𝘳 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 (3𝘳𝘥 𝘦𝘥.). 𝘞.𝘞. 𝘕𝘰𝘳𝘵𝘰𝘯 & 𝘊𝘰𝘮𝘱𝘢𝘯𝘺.

3. 𝘒𝘪𝘮, 𝘚. (2017). 𝘛𝘩𝘦 𝘒𝘰𝘳𝘦𝘢𝘯 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺 𝘚𝘦𝘳𝘷𝘪𝘤𝘦: 𝘋𝘪𝘴𝘤𝘪𝘱𝘭𝘪𝘯𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘐𝘥𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘺. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘌𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴.

4. 𝘚𝘩𝘪𝘯, 𝘎. (2018). 𝘌𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘒𝘰𝘳𝘦𝘢. 𝘏𝘢𝘳𝘷𝘢𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

5. 𝘒𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘙𝘐. (2022). 𝘉𝘶𝘬𝘶 𝘗𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘗𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯𝘢𝘯: 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘎𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘔𝘶𝘥𝘢 𝘛𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩.

Disclaimer : saya tidak menyatakan bahwa tulisan ini adalah paling benar, saya hanya mengulik kasus-kasus di negara lain berdasarkan fakta historis dan kondisi terkini melalui sumber atau referensi baik artikel, buku maupun jurnal serta Video Youtube.

Tulisan ini juga tidak dimaksudkan sebagai bahan perdebatan, namun adalah untuk perenungan kita bersama bahwa jika Pendidikan formal sudah tidak lagi mampu menangani kenakalan para remaja yang merupakan harapan bangsa, di perlukan alternatif atau inovasi untuk mengatasinya . tentu ini harus dicermati dan dikaji bukan hanya di kritik tanpa solusi yang di tawarkan.**

Berita Terkini