𝐍𝐚𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐩𝐢 𝐊𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐯𝐢𝐭𝐚𝐬: 𝐀𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐢𝐟 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht

Mudanews.com-OPINI | Di era digital, media sosial menjadi panggung di mana suara kolektif masyarakat bergema—baik sebagai ruang dialog maupun arena konflik. Fenomena polarisasi, terutama di negara berkembang, sering kali mengubah diskusi kebijakan publik menjadi pertengkaran nasional yang sarat emosi.

Kasus terbaru seperti rencana memasukkan anak nakal atau pengguna narkoba ke barak militer untuk rehabilitasi menuai reaksi keras di media sosial, meski disetujui oleh orang tua yang khawatir akan masa depan anaknya.

Di balik riuhnya kritik, sering kali absen solusi alternatif. Situasi ini menggambarkan dilema budaya: bagaimana masyarakat merespons kebijakan yang kompleks tanpa terjebak dalam persepsi dikotomis?

𝐊𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐒𝐭𝐮𝐝𝐢: 𝐑𝐞𝐡𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐩𝐥𝐢𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫
Kebijakan mengirim anak bermasalah ke barak militer didasari niatan membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab. Orang tua yang setuju berargumen: intervensi ini lebih baik daripada membiarkan anak terjerumus dalam tawuran atau overdosis narkoba.

Namun, di media sosial, kebijakan ini dianggap sebagai bentuk “kekerasan negara” atau pelanggaran hak anak. Kritik kerap datang dari kelompok yang tidak terlibat langsung, sementara solusi konkret mereka minim. Pertanyaannya: mengapa kebijakan yang bertujuan baik justru memicu pertentangan tanpa akhir?

𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥

𝑺𝒐𝒄𝒊𝒂𝒍 𝑰𝒅𝒆𝒏𝒕𝒊𝒕𝒚 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚 (𝑻𝒂𝒋𝒇𝒆𝒍 & 𝑻𝒖𝒓𝒏𝒆𝒓, 1979)
Manusia cenderung membagi dunia menjadi “kita” vs “mereka” untuk memperkuat identitas kelompok. Di media sosial, kelompok pro-kebijakan dan kontra saling memperkuat narasi masing-masing, bahkan jika argumen mereka tidak berbasis data.

Kritik menjadi alat untuk menegaskan moral superiority, bukan mencari solusi.

𝑺𝒑𝒊𝒓𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝑺𝒊𝒍𝒆𝒏𝒄𝒆 (𝑵𝒐𝒆𝒍𝒍𝒆-𝑵𝒆𝒖𝒎𝒂𝒏𝒏, 1974)
Individu enggan menyuarakan pendapat jika merasa minoritas, sehingga opini yang dominan (seperti kritik keras) terasa lebih besar dari realitas.

Orang tua yang setuju dengan kebijakan mungkin memilih diam karena takut dianggap “otoriter”, sementara suara kontra mendominasi ruang digital.

𝑪𝒐𝒏𝒇𝒊𝒓𝒎𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝑩𝒊𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑬𝒇𝒆𝒌 𝑬𝒄𝒉𝒐 𝑪𝒉𝒂𝒎𝒃𝒆𝒓 (𝑺𝒖𝒏𝒔𝒕𝒆𝒊𝒏, 2017)
Pengguna media sosial cenderung mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Algoritma platform memperkuat ini, menciptakan ruang gema di mana persepsi dikotomis (baik/buruk, benar/salah) menjadi norma.

𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐒𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐞𝐤𝐬 𝐏𝐚𝐬𝐜𝐚-𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥
Di negara berkembang, warisan kolonial sering meninggalkan ketidakpercayaan terhadap institusi negara (Mbembe, 2001). Kebijakan apapun—meski bermaksud baik—mudah dicurigai sebagai bentuk represi. Namun, kritik yang muncul sering reaktif, tanpa alternatif sistemik, mencerminkan kegagalan membangun budaya deliberatif (Habermas, 1984).

Berikut contoh konkrit teori-teori tersebut dalam konteks negara dunia ketiga yang mirip Indonesia:

𝐁𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐩𝐚 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐭𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐝𝐢 𝐚𝐭𝐚𝐬

𝑺𝒐𝒄𝒊𝒂𝒍 𝑰𝒅𝒆𝒏𝒕𝒊𝒕𝒚 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚 (𝑻𝒂𝒋𝒇𝒆𝒍 & 𝑻𝒖𝒓𝒏𝒆𝒓, 1979)
Negara : Filipina
Contoh Kasus : Polarisasi politik selama kampanye anti-narkoba Presiden Duterte (2016–2022).
• “Kita vs Mereka” : Pendukung Duterte (pro-“perang melawan narkoba”) dan oposisi (anti-kekerasan negara) saling mempolitisasi identitas kelompok.
• Moral Superiority: Kelompok pro-Duterte menggunakan hashtag #SolidDuterte untuk menegaskan “patriotisme”, sementara oposisi menggunakan #StopTheKilling sebagai simbol perlawanan HAM.
• Fakta vs Emosi : Kedua kubu menyebarkan video kekerasan polisi (pro-Duterte: “pembersihan kriminal”; oposisi: “pelanggaran HAM”) tanpa analisis konteks struktural (kemiskinan, korupsi sistemik).

𝑺𝒑𝒊𝒓𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝑺𝒊𝒍𝒆𝒏𝒄𝒆 (𝑵𝒐𝒆𝒍𝒍𝒆-𝑵𝒆𝒖𝒎𝒂𝒏𝒏, 1974)
Negara : Nigeria
Contoh Kasus : Protes #EndSARS melawan kekerasan polisi (2020).
• Dominasi Suara Kontra : Aktivis muda mendominasi Twitter dengan narasi anti-polisi, sementara kelompok yang mendukung reformasi bertahap (atau takut anarki) memilih diam.
• Self-Censorship : Banyak orang tua/pekerja enggan kritik polisi secara terbuka karena takut dicap “pro-kekerasan” atau dipecat.
• Efek Bias Persepsi : Media internasional hanya menyoroti kekerasan polisi, memperkuat ilusi bahwa “seluruh Nigeria menentang pemerintah”, padahal survei lokal menunjukkan 40% publik masih netral.

𝑪𝒐𝒏𝒇𝒊𝒓𝒎𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝑩𝒊𝒂𝒔 & 𝑬𝒄𝒉𝒐 𝑪𝒉𝒂𝒎𝒃𝒆𝒓 (𝑺𝒖𝒏𝒔𝒕𝒆𝒊𝒏, 2017)
Negara : Myanmar
Contoh Kasus : Eskalasi konflik Rohingya di Facebook (2017–kini).
• Algoritma Pemecah Belah : Facebook merekomendasikan konten kebencian anti-Rohingya kepada kelompok Buddhis nasionalis (misalnya, postingan palsu tentang “Rohingya merebut tanah”).
• Echo Chamber : Pengguna Buddhis hanya mengikuti halaman ultra-nasionalis (seperti MaBaTha), sementara aktivis HAM internasional hanya melihat narasi korban Rohingya.
• Dikotomi Simplistik : Isu kompleks (sejarah kewarganegaraan, kemiskinan Rakhine) direduksi jadi “Buddhis baik vs Muslim jahat”.

𝑩𝒖𝒅𝒂𝒚𝒂 𝑲𝒓𝒊𝒕𝒊𝒌 𝑻𝒂𝒏𝒑𝒂 𝑺𝒐𝒍𝒖𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝑲𝒐𝒏𝒕𝒆𝒌𝒔 𝑷𝒂𝒔𝒄𝒂𝒌𝒐𝒍𝒐𝒏𝒊𝒂𝒍
Negara : Afrika Selatan
Contoh Kasus : Protes #FeesMustFall (2015–2017) menuntut pendidikan gratis.
• Warisan Kolonial**: Aktivis menuduh pemerintah ANC (partai pembebasan anti-apartheid) “mengkhianati rakyat” dengan kebijakan pendidikan mahal, mencerminkan ketidakpercayaan terhadap institusi pascakolonial.
• Kritik Reaktif : Tuntutan “gratis sekarang!” tidak disertai proposal pendanaan konkrit (misalnya, pajak progresif untuk korporasi), sehingga pemerintah menganggapnya tidak realistis.
• Deliberasi yang Gagal : Diskusi di media sosial dipenuhi slogan emosional (#DecolonizeEducation), sementara debat teknis (anggaran, kualitas pengajar) diabaikan.

𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐊𝐨𝐦𝐩𝐚𝐫𝐚𝐭𝐢𝐟 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚
• Social Identity & Polarisasi : Mirip dengan polarisasi Jokowi vs Prabowo (2014–2019) di Twitter, di mana hashtag #2019GantiPresiden dan #JokowiLuwes mencerminkan dikotomi “pro-reformasi vs pro-stabilitas”.
• Spiral of Silence : Kasus UU Cipta Kerja (2020) di Indonesia: pendukung diam karena takut dicap “anti-rakyat”, sementara suara kontra mendominasi.
• Echo Chamber : Algoritma TikTok/YouTube Indonesia memperkuat narasi agama tertentu (misalnya konten konservatif vs liberal).
• Kritik Pascakolonial : Sikap skeptis terhadap investasi asing (misalnya UU Minerba) sering dianggap “neo-kolonialisme”, tanpa solusi alternatif untuk kemandirian ekonomi.

𝐃𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐞𝐭𝐢𝐬 𝐓𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 :
• Postcolonial Trap (Achille Mbembe): Negara bekas jajahan terjebak dalam mentalitas “korban”, sehingga kebijakan apapun dilihat sebagai reproduksi penindasan.
• Deliberative Democracy (Habermas): Media sosial gagal jadi “ruang publik rasional” karena didominasi oleh 𝐥𝐨𝐠𝐢𝐜 𝐨𝐟 𝐬𝐩𝐞𝐜𝐭𝐚𝐜𝐥𝐞 (𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐚𝐥𝐨𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐬𝐢𝐬 𝐟𝐚𝐤𝐭𝐚).

Contoh di atas menunjukkan bagaimana dinamika media sosial di negara berkembang sering memperdalam fragmentasi, bukan menyelesaikan masalah struktural.

𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐃𝐢𝐚𝐥𝐨𝐠 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐢𝐟: 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐉𝐞𝐦𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐞𝐩𝐬𝐢
Polarisasi bukanlah akhir cerita. Beberapa langkah bisa diambil:
Partisipasi Publik dalam Perumusan Kebijakan
Melibatkan semua pemangku kepentingan (termasuk orang tua dan anak) dalam dialog terstruktur mengurangi kesenjangan persepsi (Arnstein, 1969).

𝐋𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐫𝐢𝐭𝐢𝐬
Edukasi tentang bias kognitif dan etika berdiskusi di ruang digital membantu masyarakat membedakan antara kritik konstruktif dan respons destruktif.

𝐌𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐭 𝐍𝐚𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐄𝐦𝐩𝐚𝐭𝐢
Mengalihkan fokus dari “siapa yang salah” ke “bagaimana memperbaiki” memerlukan empati. Kisah sukses rehabilitasi, misalnya, bisa menjadi contoh konkret.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Ketegangan antara kritik dan dukungan terhadap kebijakan adalah cerminan dinamika demokrasi. Namun, ketika diskusi direduksi menjadi pertarungan persepsi, yang hilang adalah esensi dari tujuan bersama: 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗷𝗮𝗵𝘁𝗲𝗿𝗮𝗮𝗻 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁.

Di negara berkembang, tantangannya adalah membangun kepercayaan dan kapasitas untuk berdialog tanpa jatuh ke dalam jurang polarisasi. Seperti kata John Dewey, “Demokrasi haruslah diperbarui setiap generasi”—dan pembaruan itu dimulai dari cara kita merespons perbedaan. **()

𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢

1. 𝑨𝒍𝒍𝒑𝒐𝒓𝒕, 𝑮. 𝑾. (1954). “𝑻𝒉𝒆 𝑵𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝒐𝒇 𝑷𝒓𝒆𝒋𝒖𝒅𝒊𝒄𝒆”. 𝑨𝒅𝒅𝒊𝒔𝒐𝒏-𝑾𝒆𝒔𝒍𝒆𝒚.
2. 𝑨𝒓𝒏𝒔𝒕𝒆𝒊𝒏, 𝑺. 𝑹. (1969). 𝑨 𝑳𝒂𝒅𝒅𝒆𝒓 𝒐𝒇 𝑪𝒊𝒕𝒊𝒛𝒆𝒏 𝑷𝒂𝒓𝒕𝒊𝒄𝒊𝒑𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏. “𝑱𝒐𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝒕𝒉𝒆 𝑨𝒎𝒆𝒓𝒊𝒄𝒂𝒏 𝑷𝒍𝒂𝒏𝒏𝒊𝒏𝒈 𝑨𝒔𝒔𝒐𝒄𝒊𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏”, 35(4), 216–224.
3. 𝑯𝒂𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒔, 𝑱. (1984). “𝑻𝒉𝒆 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚 𝒐𝒇 𝑪𝒐𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒄𝒂𝒕𝒊𝒗𝒆 𝑨𝒄𝒕𝒊𝒐𝒏”. 𝑩𝒆𝒂𝒄𝒐𝒏 𝑷𝒓𝒆𝒔𝒔.
4. 𝑴𝒃𝒆𝒎𝒃𝒆, 𝑨. (2001). “𝑶𝒏 𝒕𝒉𝒆 𝑷𝒐𝒔𝒕𝒄𝒐𝒍𝒐𝒏𝒚”. 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒕𝒚 𝒐𝒇 𝑪𝒂𝒍𝒊𝒇𝒐𝒓𝒏𝒊𝒂 𝑷𝒓𝒆𝒔𝒔.
5. 𝑵𝒐𝒆𝒍𝒍𝒆-𝑵𝒆𝒖𝒎𝒂𝒏𝒏, 𝑬. (1974). 𝑻𝒉𝒆 𝑺𝒑𝒊𝒓𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝑺𝒊𝒍𝒆𝒏𝒄𝒆: 𝑨 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚 𝒐𝒇 𝑷𝒖𝒃𝒍𝒊𝒄 𝑶𝒑𝒊𝒏𝒊𝒐𝒏. “𝑱𝒐𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝑪𝒐𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒄𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏”, 24(2), 43–51.
6. 𝑷𝒖𝒕𝒏𝒂𝒎, 𝑹. 𝑫. (2000). “𝑩𝒐𝒘𝒍𝒊𝒏𝒈 𝑨𝒍𝒐𝒏𝒆: 𝑻𝒉𝒆 𝑪𝒐𝒍𝒍𝒂𝒑𝒔𝒆 𝒂𝒏𝒅 𝑹𝒆𝒗𝒊𝒗𝒂𝒍 𝒐𝒇 𝑨𝒎𝒆𝒓𝒊𝒄𝒂𝒏 𝑪𝒐𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒕𝒚”. 𝑺𝒊𝒎𝒐𝒏 & 𝑺𝒄𝒉𝒖𝒔𝒕𝒆𝒓.
7. 𝑺𝒖𝒏𝒔𝒕𝒆𝒊𝒏, 𝑪. 𝑹. (2017). #𝑹𝒆𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒄: 𝑫𝒊𝒗𝒊𝒅𝒆𝒅 𝑫𝒆𝒎𝒐𝒄𝒓𝒂𝒄𝒚 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒆 𝑨𝒈𝒆 𝒐𝒇 𝑺𝒐𝒄𝒊𝒂𝒍 𝑴𝒆𝒅𝒊𝒂. 𝑷𝒓𝒊𝒏𝒄𝒆𝒕𝒐𝒏 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒕𝒚 𝑷𝒓𝒆𝒔𝒔.
8. 𝑻𝒂𝒋𝒇𝒆𝒍, 𝑯., & 𝑻𝒖𝒓𝒏𝒆𝒓, 𝑱. 𝑪. (1979). 𝑨𝒏 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒈𝒓𝒂𝒕𝒊𝒗𝒆 𝑻𝒉𝒆𝒐𝒓𝒚 𝒐𝒇 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒈𝒓𝒐𝒖𝒑 𝑪𝒐𝒏𝒇𝒍𝒊𝒄𝒕. 𝑰𝒏 𝑾. 𝑮. 𝑨𝒖𝒔𝒕𝒊𝒏 & 𝑺. 𝑾𝒐𝒓𝒄𝒉𝒆𝒍 (𝑬𝒅𝒔.), “𝑻𝒉𝒆 𝑺𝒐𝒄𝒊𝒂𝒍 𝑷𝒔𝒚𝒄𝒉𝒐𝒍𝒐𝒈𝒚 𝒐𝒇 𝑰𝒏𝒕𝒆𝒓𝒈𝒓𝒐𝒖𝒑 𝑹𝒆𝒍𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒔” (𝒑𝒑. 33–47). 𝑩𝒓𝒐𝒐𝒌𝒔/𝑪𝒐𝒍𝒆.

Narasi ini ditulis untuk mengajak refleksi tentang pentingnya empati dan kehati-hatian dalam merespons kebijakan, dengan harapan mengurangi polarisasi yang kontraproduktif, jangan hanya mengkritik namun tanpa solusi atau dengan kata lain orang lain selalu salah dan kitalah yang paling benar.

Jakarta, Minggu 04 Mei 2025

Berita Terkini