Suatu Tinjauan Hukum : Transparansi dan Pertanggungjawaban Aset USU Sebagai Milik Publik

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)

Mudanews.com – Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) memiliki keistimewaan: otonomi dalam pengelolaan keuangan dan aset. Namun, keistimewaan ini kerap menimbulkan pertanyaan: sejauh mana transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset yang hakikatnya milik publik? Pertanyaan ini tak sekadar gugatan moral, tetapi juga desakan hukum. Apalagi, isu transparansi aset USU mencuat di tengah maraknya pemanfaatan lahan kampus untuk kepentingan komersial.

Aset PTNBH: Antara Otonomi dan Kepemilikan Publik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTNBH memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara. Artinya, aset USU tidak lagi tercatat dalam neraca pemerintah pusat, melainkan menjadi bagian dari kekayaan USU sebagai badan hukum. Meski demikian, pengertian “kekayaan yang dipisahkan” tak menjadikannya bebas dari pengawasan publik.

Dalam Pasal 65 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi, ditegaskan bahwa PTNBH tetap harus menjamin prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat. Sebab, universitas didanai sebagian besar oleh negara, menerima subsidi publik, serta mengelola aset berupa tanah dan bangunan yang berasal dari kekayaan negara sebelumnya.

Fakta hukum ini menunjukkan dualitas: USU berwenang penuh atas asetnya, tetapi publik tetap memiliki kepentingan hukum untuk memastikan pengelolaan aset dilakukan secara bertanggung jawab.

Aset USU dan Rawan Gugat Publik

Pengelolaan aset USU berada di persimpangan antara otonomi institusi dan kontrol publik. Posisi ini membuat pengelolaan aset kampus rawan gugat dari masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini terlihat dari beberapa kasus hukum yang menyeret universitas terkait klaim kepemilikan lahan, penggusuran, hingga perjanjian kerja sama yang dinilai tidak transparan.

Sebagai contoh, sengketa lahan antara USU dengan masyarakat adat di sekitar lahan kebun sawit USU luasnya sekitar 5.500 hektar persegi di kabupaten Mandailing Natal (Madina), dimana menunjukkan lemahnya penyelesaian berbasis partisipasi publik. Masyarakat menilai USU tidak cukup melibatkan mereka dalam proses klarifikasi batas tanah. Di sisi lain, universitas mengandalkan dokumen formal kepemilikan tanpa membuka ruang mediasi yang inklusif.

Selain itu, keberadaan aset komersial seperti rumah sakit, hotel, dan pusat bisnis di lingkungan kampus meningkatkan risiko gugatan hukum dari pihak ketiga. Gugatan bisa timbul akibat pelanggaran perjanjian, ketidaksesuaian izin pemanfaatan lahan, hingga potensi konflik kepentingan. Jika pengelolaan aset tidak dilakukan secara transparan, maka setiap keputusan yang menyangkut pemanfaatan aset berpotensi digugat karena dianggap mengabaikan kepentingan publik.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, tindakan badan publik yang tidak transparan dan tidak akuntabel dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, yang menjadi dasar aduan ke Ombudsman atau bahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kasus penyewaan lahan parkir tanpa lelang terbuka di kawasan kampus USU, misalnya, menjadi salah satu contoh yang berpotensi dipersoalkan secara hukum.

Oleh karena itu, pengelolaan aset USU harus memperhatikan prinsip kehati-hatian, keterbukaan informasi, dan partisipasi publik agar terhindar dari potensi gugatan yang bisa merugikan secara finansial maupun reputasi institusi.

Transparansi: Antara Tuntutan Publik dan Kewajiban Hukum

Transparansi pengelolaan aset publik tak hanya persoalan etika, tetapi juga diatur dalam berbagai regulasi. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTNBH mensyaratkan adanya laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

Namun, laporan keuangan USU kerap sulit diakses publik. Laman resmi universitas jarang memuat detail pengelolaan aset: misalnya daftar pemanfaatan lahan, mitra kerja sama, hingga hasil pendapatan dari aset non-akademik. Hal ini memunculkan kritik: bagaimana publik dapat mengawasi jika informasi dasar tak tersedia? Padahal, prinsip good governance menuntut adanya keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Data dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumut 2023 mencatat, setidaknya 12 hektar lahan USU dimanfaatkan oleh pihak ketiga melalui skema kerja sama. Namun, nilai kontrak dan kontribusi keuangan ke universitas tidak dipublikasikan secara rinci. Bahkan, beberapa kerja sama jangka panjang tidak memiliki dokumen analisis manfaat yang dipublikasikan. Ini menjadi alarm transparansi.

Pertanggungjawaban Hukum: Celah Sengketa dan Maladministrasi

Dalam perspektif hukum administrasi negara, setiap tindakan badan publik harus memenuhi prinsip legalitas, akuntabilitas, dan pelayanan publik. Jika tidak, ada potensi terjadinya maladministrasi bahkan sengketa hukum. Ombudsman Sumatera Utara pada 2022 mencatat adanya dua laporan masyarakat terkait dugaan penyimpangan pemanfaatan aset kampus USU untuk kepentingan non-akademik. Salah satunya terkait penyewaan lahan parkir di area kampus yang tak melalui proses lelang terbuka.

Selain itu, sengketa tanah di sekitar kawasan rumah sakit USU antara pihak universitas dan masyarakat adat juga menunjukkan kerentanan pengelolaan aset. Dalam beberapa kasus, batas kepemilikan tanah masih bersinggungan dengan klaim adat, sehingga perlu kejelasan yuridis.

Jika transparansi lemah, pertanggungjawaban hukum menjadi semu. Hal ini berbahaya, sebab dapat membuka peluang penyalahgunaan aset yang berdampak pada hilangnya potensi pendapatan universitas dan menimbulkan kerugian negara.

Prinsip Good Governance di Perguruan Tinggi

World Bank (1992) mendefinisikan good governance mencakup transparansi, partisipasi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi. Semua prinsip ini relevan diterapkan dalam pengelolaan aset PTNBH. Namun, realitas di banyak PTNBH termasuk USU, menunjukkan sebagian besar masih berfokus pada otonomi akademik, bukan transparansi keuangan.

Hasil survei Transparency International Indonesia (2022) menunjukkan bahwa sektor pendidikan menempati peringkat ketiga sebagai sektor paling rentan korupsi di Indonesia. Ini sinyal kuat bahwa pengawasan pengelolaan aset perguruan tinggi harus diperkuat.

Transparansi aset bukan hanya soal dokumen laporan, tetapi keterbukaan informasi sejak perencanaan, pemanfaatan, hingga pelaporan. Publik berhak mengetahui: siapa mitra yang memanfaatkan aset kampus? Berapa nilai kontraknya? Bagaimana kontribusinya untuk kemajuan akademik?

Rekomendasi: Membangun Sistem Transparansi Berbasis Data

Pertama, USU perlu membangun portal khusus yang memuat data aset dan pemanfaatannya. Publik harus dapat mengakses informasi siapa penyewa, nilai sewa, dan durasi kerja sama. Hal ini sesuai amanat UU Keterbukaan Informasi Publik.

Kedua, perlu penguatan peran Satuan Pengawasan Internal (SPI) agar memiliki kewenangan lebih luas dalam mengaudit kerja sama pemanfaatan aset non-akademik. Temuan SPI harus dipublikasikan secara berkala.

Ketiga, perlunya forum tahunan akuntabilitas publik, di mana pimpinan universitas memaparkan laporan penggunaan aset kepada sivitas akademika dan masyarakat luas. Hal ini menegaskan posisi USU sebagai institusi publik, bukan entitas privat.

Kesimpulan

Aset USU adalah milik publik yang dikelola melalui mekanisme kekayaan yang dipisahkan. Otonomi yang dimiliki USU tak boleh memutus kewajiban transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat. Ketiadaan transparansi membuka potensi pelanggaran hukum, maladministrasi, hingga korupsi. Oleh karena itu, USU wajib membangun sistem pengelolaan aset yang transparan, akuntabel, dan terbuka bagi publik sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum dan moral.

Kita berharap, ke depan, USU menjadi contoh teladan pengelolaan aset publik di sektor pendidikan tinggi. Karena di sanalah letak integritas akademik diuji: bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam tata kelola aset yang berpihak kepada kepentingan rakyat.

Demikian

Penulis Koordinator Serikat Alumni USU dan tercatat sebagai alumni USU berasal dari Fakultas Hukum USU Stambuk’ 92.
________

Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTNBH.

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

4. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Sumatera Utara Tahun 2023.

5. Transparency International Indonesia. (2022). Survei Persepsi Korupsi Sektor Pendidikan.

6. Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara. (2022). Laporan Tahunan.

7. World Bank. (1992). Governance and Development.

8. Nasution, A. (2016). “Pengelolaan Aset Publik di Perguruan Tinggi: Kajian Hukum.” Jurnal Hukum Administrasi Negara, 12(1), 45-60.

Berita Terkini